Laman

Minggu, 05 Maret 2017

ANUGERAH KISWAH KEPADA RAJA BANTEN 4 ABAD LALU


Anugerah kain kiswah merupakan sesuatu banget bagi sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, termasuk Indonesia. Penganugerahan “kain suci” tersebut oleh Raja Salman kepada Presiden RI merupakan pengulangan dari apa yang terjadi empat abad lampau di Banten.

Tahun itu, 1638 M, menurut Sajarah Banten, Pangeran Ratu Raja Banten alias Pangeran Abdullah Kadir, beserta anaknya, memperoleh gelar sultan pemberian Sultan Mekah. Gelarnya: Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir, sementara anaknya: Sultan Abul Ma’ali Akhmad (ayah Sultan Ageng Tirtayasa). Penganugerahan ini diperoleh setelah dua utusan Banten, Lebe Panji dan Tisnajaya, pergi menunakan haji ke Mekah lantas kembali dengan membawa surat dari Sultan Mekah berikut kain kiswah. 

Begitu kapal yang membawa pulang kedua utusan tersebut tiba di Teluk Banten, maka perahu Ki Pekih dan sejumlah mantri Banten menuju kapal di mana para utusan dari Mekah itu menunggu. Setelah mendekat, Ki Pekih dan para mantri segera naik ke atas kapal. Dentuman meriam tanpa peluru ditembakkan dari kapal, hingga sebelas kali. Gelegar yang sama sebelas kali dari arah kubu-kubu tembok Kota Banten menyahuti sebelas dentuman dari kapal di lepas pantai itu. Selang berapa lama, perahu itu kembali ke dermaga. Setelah mendarat, Ki Pekih dan para mantri yang masing-masing membawa nampan-nampan perak indah berisi surat dan hadiah dari Sultan Mekah, memasuki kereta kuda yang telah didandani elok dengan kawalan prajurit. Lebe Panji dan Tisnajaya, dua utusan Banten yang baru pulang dari Mekah, ikut turun bersama Ki Pekih dan para mantri, memasuki kereta kuda yang berbeda. 

Di sekitar alun-alun Kota Banten yang dikelilingi pepohonan kenari dan beringin, di sisi selatan sebelah kiri alun-alun berdiri balai Sri Manganti di mana Raja Banten duduk dengan kuluk di kepala, berbaju sikapan lengan panjang dari beludru hitam, serta kaki berwiron, di singgasana, ditemani sanak keluarga yang bersila. Di samping Sri Manganti, duduk di atas tikar para mantri dan pemain gamelan. Di selatan alun-alun berdiri istana megah Surasowan. Di barat alun-alun berdiri Masjid Agung Banten beratap limas susun lima. Di utara alun-alun terlihat perumahan yang dipisahkan anak kali yang membelah Kota. Di sebelah timur berdiri gedung syahbandar di tepi barat terusan anak sungai Cibanten, sungai pembelah kota.

Ki Pekih (dari kata fiqih; semacam ketua pengurus Masjid Agung Banten), semua mantri, serta Lebe Panji dan Tisnajaya turun dari kereta, berjalan menuju Sri Manganti, terus bersila lalu menyembah sang raja. Setelah diberi restu, Ki Pekih berdiri dan menyerahkan baki kepada seorang pejabat, lalu mengambil surat dari baki dan membukanya, berdiri menghadap warga. Sementara Lebe Panji dan Tisnajaya duduk di antara Kiai Tumenggung Wirautama, menteri yang ditugasi mengatur jalannya upacara, dan para mantri yang membawa baki-baki. Ki Pekih membacakan surat dengan lantang, menyatakan penghargaan Sultan Mekah kepada Raja Banten atas keingintahuan Sang Raja mengenai tiga buah kitab tarekat yang dimiliki istana Surasowan (satu di antaranya Al Muntahi karya Syaikh Hamzah Fansuri). Juga bahwa Sultan Mekah, Sarip Jahed, menganugerahi Raja Banten nama dan gelar baru: Sultan Abul Mafakir Mahmud Abdulkadir; juga gelar bagi anaknya yang berusia 20-an, yakni Sultan Abul Ma’ali Akhmad (ayah Sultan Ageng Tirtayasa). Setelah pembacaan selesai, alunan gamelan kembali ramai. Penganugerahan ini bermakna penting bagi Banten. Dengannya, Banten makin percaya diri dan sungguh telah layak disejajarkan dengan Aceh. 

Ki Pekih melanjutkan pidato dalam Jawa (campur Sunda?), menyatakan bahwa Sultan Mekah belum berkenan mengirimkan seorang ahli fikih ke Banten guna menjelaskan isi ketiga kitab tersebut sesuai permintaan Raja Banten. Namun Sultan Mekah telah anugerahkan bendera suci peninggalan Kanjeng Nabi Ibrahim dan kiswah penutup Kabah kepada Kanjeng Sultan Banten.
Banten, kerajaan yang didirikan Maulana Hasanuddin (anak Sunan [Gunung] Jati), di zaman Sultan Abul Mafakir Mahmud Abdulkadir masih berstatus merdeka. Selain merupakan tujuan kapal-kapal Nusantara dan asing berlabuh, Banten merupakan salah satu pusat kegiatan umat Muslim termasuk tarekat di Indonesia saat itu. Ada dua kelompok tarekat di Banten, yakni Qadariyah dan Rifaiyah (yang ditandai dengan pameran debus). 

Pangeran Ratu alias Sultan Abul Mafakir Mahmud Abdulkadir sendiri naik takhta pada Januari 1624. Dia adalah putra mahkota yang naik takhta saat berusia 28 tahun, menggantikan Pangeran Arya Ranamanggala yang menjadi walinya. Ayahnya sendiri, Maulana Muhammad, wafat di Palembang tahun 1598. Ada pun turunnya Pangeran Arya Ranamanggala dari takhta Banten, menurut pendapat orang Inggris dan Prancis sezaman, akibat desakan para pedadang asing, terutama orang Pecinan Banten yang ingin menjadikan Banten sebagai pelabuhan bebas kembali. Persaingan antara “pedagang bebas” dengan “pedagang feodal” telah terjadi di Banten saat itu. Komoditas seperti lada dan gula pasir memang menjadi primadona bagi para pedagang asing.

Mengenai perdagangan gula putih di Banten banyak ditulis oleh orang Eropa yang punya loji di Banten kala itu. Seperti catatan orang Inggris bahwa pada Februari 1638, pembelian gula oleh orang loji Inggris di Banten dari orang Cina di Kelapadua (belasan km di selatan Kota Banten) dilaksanakan dan kontraknya ditulis dalam bahasa Jawa. Dinyatakan, 8 orang Cina produsen gula tebu di Kelapadua dan enam keluarga setuju untuk menjual seluruh produksi gula mereka selama tiga tahun kepada kepala loji Inggris saja di bawah pengawasan Pangeran Ratu. Tiga tahun sebelumnya, Desember 1635, pedagang loji Inggris di Banten pergi ke Kelapadua untuk membeli sebanyak mungkin gula tebu untuk dimuat di atas kapal mereka, dengan izin Pangeran Ratu Banten yang saat itu sering tinggal di Banten Girang (ibukota lama zaman pra-Islam). Orang Inggris sendiri sebelumnya mendirikan markas dagang di Pulau Lagundi di Selat Sunda setelah pindah dari Batavia sejak tahun 1623 akibat pembunuhan besar-besaran orang Inggris di Ambon oleh orang Belanda. Tahun 1928 merea memutuskan pindah kembali ke Banten. 

Pada tanggal 26 Agustus 1640, , dilaksanakan kembali kontrak-dagang antara orang loji Inggris di Banten dengan 8 orang serta enam keluarga penghasil gula di Kelapadua, Banten, juga di bahwa pengawasan Raja Banten. Di dalam kontrak dinyatakan: kepala loji Inggris akan membeli dari setiap keluarga 100.000 batang tebu setiap tahun, jadi 600.000 batang seluruhnya, yang kemudian diproses menjadi gula oleh orang-orang Cina bersangkutan. Dinyatakan pula oleh orang-orang Cina tersebut bahwa 100.000 batang tebu akan menghasilkan 450 pikul (2,8 ton) gula pasir yang bermutu tinggi. Disebutkan pula bahwa orang-orang Cina tersebut bersedia membantu Sultan Banten untuk menggarap tanahnya ketika diperlukan, menyediakan satu-dua kati gula kepada Sultan untuk konsumsi pribadi. Sebagai informasi, akhir tahun 1620-an, warga Banten lebih suka menanam tebu ketimbang lada yang di zaman Pangeran Atya Ranamanggala dilarang ditanam walau di tahun 1631 produksi gula di Banten masih sedikit. 

Tentang perdagangan lada, tahun 1636, Sultan Banten, Pangeran Ratu, memerintah warganya untuk menanam lada kembali—sebelumnya lada sengaja tak ditanam dengan alasan kerap terjadi persaingan antara bangsa-bangsa Eropa dalam memperoleh hak untuk membelinya melalui restu Raja Banten. Barulah setelah Perang Pailir di awal abad ke-17 usai, Banten memutuskan untuk kembali mempraktiikkan “perdagangan bebas”. Menurut Sajarah Banten, mengingat para bangsawan Banten juga memiliki lahan-lahan sawah, Pangeran Ratu menghapuskan kewajiban yang dibebankan kepada para pejabat Banten untuk menghadapnya ke istana (seba, sowan) setiap hari selama bulan Kapat (September-Oktober) agar mereka bisa mengawasi penggarapan sawah-sawah mereka. 

Empat tahun kemudian, 1640, mengetahui wilayah-wilayah jajahannya di Sumatra, seperti Lampung, Bengkulu, dan Silebar, menjual lada langsung ke pedagang-pedagang asing, Banten mengirimkan ekspedisi militer dan berhasil menangkap pengusa Bengkulu yang kemudian dipenjara di Banten. Setahun kemudian, dua kepala pemberontakan di Lampung masuk ke penjara Banten, sedangkan syahbandar Silebar diturunkan jabatannya secara tak terhormat. 
Lada, gula, kapal-kapal dagang, dan anugerah kiswah dari Sultan Mekah kepada Raja Banten, merupakan jejaring yang menggiurkan sekaligus bisa mengancam keutuhan Banten. Indikator sebuah kerajaan itu besar salah satunya adalah luasnya jejaring perdagangan, selain pengakuan (yang diikuti anugerah) negara lain terhadap negara yang mayoritas warganya memeluk agama yang sama. 


Ojel
4 Maret 2017