Laman

Senin, 01 Oktober 2018


Mempertahankan Indonesia


Sebagai sebuah negara modern, Indonesia “baru” ada sejak 72 tahun silam. Sebelum Proklamasi, imaji Indonesia masih abstrak dan mengawang. Sebelum abad ke-20 yang ditandai dengan demam pergerakan nasional, yang ada, secara sosiohistoris, hanyalah negara-negara tradisional, yang sebagian terkoyak oleh kolonialisasi Belanda, sementara sisanya masih merdeka sebagai bangsa-bangsa dalam bentuk yang paling kuno di hutan rimba pedalaman.

Archipelago ini—yang disebut “Nusantara” atau “Dwipantara” oleh pujangga-pujangga Jawa kuno dulu—tak pernah dipersatukan oleh sebuah kekuasaan tunggal seperti Jepang atau Cina di masa pra-modern. Pernah suatu masa kepulauan ini (termasuk di dalamnya Semenanjung Malaya) dikuasai Majapahit yang ingin menguasai jalur perdagangan rempah-rempah, namun tak langgeng. Tak ada faktor x yang bisa mempersatukan negeri-negeri kepulauan di “Bawah Angin” itu di bawah naungan sebuah imperium raksasa. Bahasa, agama, aksara, agama, dan mentalitas masing-masing penduduk yang cenderung berlainan, menjadikan mereka secara politis memilih hidup masing-masing sesuai pandangan hidup leluhurnya. Yang terjalin secara alamiah hanyalah keakraban ekonomis. Dari gunung turun ke laut. Dari hulu mengalir ke hilir. Dan sebaliknya. Masing-masing punya mitos, legenda, dan sejarah sendiri—walau kadang saling bertautan dan punya kemiripan.

sumber foto: collectie tropen museum

Senin, 17 September 2018

Sang Mayor yang Memerdekakan Budak-budaknya

Merdeka adalah hak setiap bangsa dan setiap insan. Juga merdeka dari perbudakan. Di dalam sejarah bangsa ini, yang penuh sembelit-konflik, intrik-picik, pengkhianatan, kudeta-picik, banjir darah, dan pengagungan kepada para jenderal perang, terselip sejumlah kisah lain yang membuat kita paham bahwa sejarah tak melulu berisi bentrokan politik, peperangan, dan amuk sosial. Salah satu kisah tersebut adalah pembebasan budak yang dilakukan oleh seorang mayor kaya raya bernama Augustijn Michiels.


Augustijn Michiels lahir 6 Januari 1769, sebagai anak ketiga dari Jonathan Michiels. Jonathan Michiels adalah Letnan Senior Kaum Papang, yang diangkat oleh pemerintah kolonial VOC-Belanda, yang lahir di sebuah pulau di negara yang kini bernama Filipina. Tahun 1776, Sang Letna membeli tanah di Cileungsi seharga 29.500 rijksdaalders.