Laman

Senin, 17 September 2018

Sang Mayor yang Memerdekakan Budak-budaknya

Merdeka adalah hak setiap bangsa dan setiap insan. Juga merdeka dari perbudakan. Di dalam sejarah bangsa ini, yang penuh sembelit-konflik, intrik-picik, pengkhianatan, kudeta-picik, banjir darah, dan pengagungan kepada para jenderal perang, terselip sejumlah kisah lain yang membuat kita paham bahwa sejarah tak melulu berisi bentrokan politik, peperangan, dan amuk sosial. Salah satu kisah tersebut adalah pembebasan budak yang dilakukan oleh seorang mayor kaya raya bernama Augustijn Michiels.


Augustijn Michiels lahir 6 Januari 1769, sebagai anak ketiga dari Jonathan Michiels. Jonathan Michiels adalah Letnan Senior Kaum Papang, yang diangkat oleh pemerintah kolonial VOC-Belanda, yang lahir di sebuah pulau di negara yang kini bernama Filipina. Tahun 1776, Sang Letna membeli tanah di Cileungsi seharga 29.500 rijksdaalders.



Karena kekayaannya, tahun 1778, Jonathan Michiels kembali membeli sebidang tanah, kali ini di Klapanunggal, di perbatasan Cileungsi, dari pemerintah Kompeni seharga 26.400 rijksdaalders (Klapanunggal dan Cileungsi saat itu disebut “gunung burung” karena banyak sarang burung [walet?] di sana). Di tahun yang sama, bulan April, Sang Letnan membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa istrinya merupakan ahli waris semua harta miliknya yang nantinya akan diberikan kepada dua anaknya, Andries dan Augustijn.

Waktu pun berlalu dan Augustijn Michiels remaja di rumah orangtuanya di mana segala keperluan tersedia. Dan yang pasti, ia memperoleh warisan dari sang ayah berupa rumah dan sejumlah tanah nan luas (di wilayah Bogor dan Depok sekarang). Seperti sang ayah, ia pun berkarier di miiter dalam pemerintah Hindia Belanda dan memperoleh gelar mayor hingga disebut Mayor Janjte. Tak hanya menikmati tanah warisan, tahun 1817 Sang Mayor berinisiatif membeli sebidang tanah di Citeureup (tanah ini tahun 1759 dibeli dari Raden Sake oleh Johan Andries Baron von Hohendorff).

Tersebutlah pada 29 Maret 1831, Mayor Jantje menulis surat wasiat yang menyebutkan bahwa kepada Agraphina Agustina Michiels, anak satu-satunya Sang Mayor dari istri pertama yang masih hidup, diserahkan Klapanunggal. Sementara, saudara2-saudara (tiri?) perempuannya, yakni Eizabeth dan Petronella Michiels, masing-masing diberi 4 ribu gulden. Titus Michiels, adik lelakinya, diberi 5 ribu gulden, sedangkan Frederik Michiels 5 ribu gulden. Ada pun seorang kemenakan perempuan, Geertruijda Frederica Michiels diberi 4 ribu gulden. Wilhem Julius 8 ribu gulden. Malah, sebagai orang Nasrani patuh, ia menghibahkan 5 ribu gulden kepada Rumah Yatim Piatu Gereja Reformasi di Batavia per tahun. Michiels Augustijn Michiels, anaknya yang lain, 16 tahun, menerima Cipamingkis dan Cimapag. Augustina Michiels dapat tanah Cileungsi dan Cibarusa. Andries Michiels, berumur 6 tahun, dapat tanah warisan Citeureup dan Nanggewer. Wilhelmina Michiels, berusia 1 tahun 4 bulan, diberi tanah Sukaraja. Malah, olehnya seorang wanita non Kristen bernama Yap Hok Nio (mungkin Cina peranakan) diizinkan mengelola tanah di Tanjung Priok. Tak cuma bagi-bagi warisan, surat wisatnya tersebut, yang padanya dibubuhkan keterangan rahasia di bawah tangan, menyatakan pula pembebasan budak-budaknya, yakni: Carlina dari Makassar, Hiankiauw (Antjie) dari Bugis, Geloan (Saartje) dari Bali, Wilhelmina (Klouwhoa) dari Batavia, Pamea (Rasima) dari Batavia.

Di surat wasiat lain, masih di tahun 1831, Mayor Jantje menyatakan bahwa budak-budaknya yang lain pun dibebaskan, yakni: Augustijn van Java, Seneen van Batavia, Kaijman van Batavia, Kornelis of Japaar van Batavia, metzijn vrouw Tjoenlien of Gambeer van Kloenkoeng en metzijn moeder Lasina van Batavia, Sumbawa van Sumbawa, Sina of Tjina van Eende, Redjab van Macasser metzinj vader Spadille van Mace Kasiem van Mandhar, Solo van Eende, Damon van Macasser, Arleking van Batavia, Basta van Maros metzijn vander Basso van Maros en zijn moder Paulina van Boegis en hare dogter Bitja van Batavia, Daud van Batavia, metzijn vrouw Sara of Sahia van Bima en hare zoon Eton van Batavia, Pallas van Magarij, Tjiauwtjing of Tjokjail van Rottie, Boesoek of Reiben van Batavia, Geluk of Bietjoe van Mangarij, July of Adonis van Doessong, Kodja van Batavia, Papoe van Ceram, Pluto van Ceram of Oedien van Batavia, Bietjoe van Pekalongan, Baroe van Mandhar, Sale van Batavia, metzijn moeder Roosya van Soembawa, Poassa van Batavia.

Tapi, wasiat Sang Mayor ternyata tak dipraktikkan. Pada kenyataannya, V.I. van de Wall menemukan bahwa kebanyakan budak-budak tadi dijual di depan umum dalam dua kelompok. Termasuk dalam kelompok pertama adalah de onderscheidene bekwame muzijkanten (para pemusik istimewa dan cakap), yakni: Mentor peniup klarinet, Seneen pemaik biola, Pluto peniup suling, Orpheus atau Alpheus peniup klarinet, Kitjiel atau Redjap peniup suling, Kommies atau Ame pemain biola (semua dari Batavia), Salasa dari Macassar peniup klarinet, Victor dari Bugis peniup suling, Tonking atau Colonetta dari Semarang pemain kecapi, Geluk atau Bietjoe dan Tollas (keduanya dari Manggarai) peniup trompet/klarinet dan peniup trompet tanduk, Kodja pemain biola, Kornelis atau Japaar peniup klarinet, Seneen peniup serunai, Kaijman pemain biola, Daoed peniup trompet tanduk, Mattij pemain bas, Boesoek atau Riebien peniup suling, Sieden atau Oedien pemain bas dan biola (semua dari Batavia), Papoe atau Basier dan Pluto (keduanya dari Ceram) peniup trompet tanduk dan trompet, Redjap dan Damon dari Makassar pemain biola, Sina atau Tjina dan Solo (keduanya dari Ende) peniup trombon dan pemain biola, Kassiem dari Mandhar pemain biola dan penabuh “drum Turki”, Jully atau Adonis dari Doessong pemain bas, Poassa pemain suling, Bietjoe dari Pekalongan pemain biola, dan Basta dari Maros peniup alat musik Cina.

Jika kita perhatikan nama-nama para budak itu, terlihatlah asal mereka. Selain dari Batavia, mereka datang dari Bugis, Makassar, Mandar, Manggarai, Seram, Ende, Roti, Maros, Sumbawa, Bali, Pekalongan, dan Semarang (kebanyakan dari wilayah Indonesia timur dan Jawa). Memang, sejak abad abad sebelumnya, masalah perdagangan budak merupakan hal lazim dipraktikkan, termasuk di Nusantara. Di Batavia sendiri, sejak abad ke-17 catatan dan arsip zaman VOC banyak mencatat seluk beluk perbudakan ini (dan memang mayoritas datang atau didatangkan dari Indonesia timur, selain dari India, Campa, dan kawasan Asia Tenggara lain).  Di Pasar Karangantu, Banten, pun, menurut catatan Belanda di akhir abad ke-16, terdapat kios khusus penjual budak.

Nasib Mayor Jantje sendiri? Sang Mayor yang disebut sebagai “Kolonel Titular Kaum Papang” alias “de rijkste grondeigenaar van Java” menghembuskan nafas terakhir pada 27 Januari 1833, di Semper Idem, Batavia. Dan budak-budak yang dibebaskannya (setidaknya menurut surat-surat wasiatnya)? Apa merdeka seterusnya atau kembali dibeli untuk dijadikan budak oleh orang kaya lain?
Sungguh sayang, sejarah hanya menyorotkan lampunya kepada sang bintang panggung pemilik lakon—tidak kepada yang lain.

Ojel, 17 Agustus 2018   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar