Mempertahankan
Indonesia
Sebagai sebuah negara modern, Indonesia “baru” ada sejak 72
tahun silam. Sebelum Proklamasi, imaji Indonesia masih abstrak dan mengawang. Sebelum
abad ke-20 yang ditandai dengan demam pergerakan nasional, yang ada, secara
sosiohistoris, hanyalah negara-negara tradisional, yang sebagian terkoyak oleh
kolonialisasi Belanda, sementara sisanya masih merdeka sebagai bangsa-bangsa
dalam bentuk yang paling kuno di hutan rimba pedalaman.
Archipelago ini—yang disebut “Nusantara” atau “Dwipantara”
oleh pujangga-pujangga Jawa kuno dulu—tak pernah dipersatukan oleh sebuah
kekuasaan tunggal seperti Jepang atau Cina di masa pra-modern. Pernah suatu
masa kepulauan ini (termasuk di dalamnya Semenanjung Malaya) dikuasai Majapahit
yang ingin menguasai jalur perdagangan rempah-rempah, namun tak langgeng. Tak
ada faktor x yang bisa mempersatukan negeri-negeri kepulauan di “Bawah Angin”
itu di bawah naungan sebuah imperium raksasa. Bahasa, agama, aksara, agama, dan
mentalitas masing-masing penduduk yang cenderung berlainan, menjadikan mereka
secara politis memilih hidup masing-masing sesuai pandangan hidup leluhurnya.
Yang terjalin secara alamiah hanyalah keakraban ekonomis. Dari gunung turun ke
laut. Dari hulu mengalir ke hilir. Dan sebaliknya. Masing-masing punya mitos,
legenda, dan sejarah sendiri—walau kadang saling bertautan dan punya kemiripan.
sumber foto: collectie tropen museum |
Hingga tibalah kapal-kapal layar Portugis, Belanda, juga
Prancis serta Inggris, buang sauh di pantai-pantai eksotis itu, agar
diperbolehkan membeli lada, pala, dan cengkih oleh sultan, raja, atau orangkaya setempat. Awalnya para
pedagang berkulit putih itu sukses mendirikan kantor dagang di pelabuhan
setempat. Namun kemudian, pertengkaran ekonomi terjadi, yang berakhir dengan
peperangan dahsyat dan acap berujung perjanjian yang menguntungkan pihak
kolonial. Panji-panji perang pun makin berkibar di abad ke-17, diperkobar oleh
sentimen keagamaan di abad ke-19. Setelah Perang Jawa (1825 – 1830) tumpas,
giliran Aceh yang perkasa dan Bali yang puputan
masuk kandang penjajahan Belanda. Sejarah bangsa yang penuh kekerasan dan berlumuran
merah darah. Indonesia lahir dari rahim ibu pertiwi yang terluka.
Musuh bersama! Itulah yang berhasil menggalang persatuan
anak-anak bangsa hingga terciptalah imaji sebuah republik imajiner yang patut
diperjuangkan hingga proses persalinannya. Musuh bersama itulah yang berhasil
merekatkan emosi orang Makassar dengan orang Banten di abad ke-17 guna melawan
monopoli VOC Belanda—si musuh bersama itu. Belanda pula yang mendorong Senton
Alibasha memilih bergabung dengan kaum Padri di Sumatra setelah perjuangan
Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa dinilainya sudah melenceng dari niat semula.
Memasuki abad ke-20, perasaan senasib dengan bangsa-bangsa
lain yang terjajah seperti Filipina, India, Cina, dan negeri-negeri terjajah
lainnya, menyatukan simpul-simpul rasa persatuan ke dalam sebuah himpunan
kekuatan yang lebih besar dan didasari kesatuan. Konsep “Ratu Adil” yang menjamur di pelbagai
tempat sebagai manifestasi dari keputusasaan terhadap nasib buruk kaum terjajah
di abad ke-19 namun akhirnya kandas jua, perlahan bertransformasi menjadi
gairah modern untuk sepakat hidup di bawah satu bendera, satu bahasa, dan
tanah-air yang sama. Pergerakan nasional pun mencapai titik didihnya setelah
Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, Agustus 1945.
Tapi kemerdekaan hanya permulaan dari sebuah cerita baru yang
tak kalah sengit. Percikan Revolusi, kudeta, pertengkaran ideologis, gerakan
separatisme, kerusuhan sosial, pembantaian atas kaum kiri, dan pemilu yang
curang. Juga bahwa kemerdekaan itu ternyata cuma menyangkut peralihan
kekuasaan, garis teritorial, dan pekik merdeka. Sementara, mentalitas “amok”
yang kronis masih saja mengoyak-ngoyak persatuan, tak pernah disembuhkan. Mental
korupsi sudah mengalir ke tulang dan sumsum. Ritus-ritus keagamaan malah
memangkirkan spiritualitas. Sehingga yang merebak adalah sikap normatif yang
berlebih dan menumpulkan daya kritis. Sistem pendidikan bukannnya melahirkan
Individu-individu yang gemar bereksplorasi, melainkan mencetak orang-orang yang
takut kepada hari pembalasan di akhirat kelak. Identitas kebangsaan kalah oleh
identitas keagamaan.
Karena itu, budaya hanya diterjemahkan ke dalam parade
pakaian tradisional, pemakaian baju batik bagi PNS, festival wayang, dan
perlombaan pencak-silat, Ada yang luput dari perhatian bahwa warisan-warisan
leluhur itu merupakan hasil dialektika si pencipta dengan diri dan alam
sekitar—mikro dan makrokosmos. Kita hanya disuruh mengagumi bentuk, bukan
mengupas isi. Tak pernah anak-anak sekolah disandarkan pada pilar-pilar budaya etnisnya
sendiri. Yang ada, rasa risih dan penampikan terhadap karya-karya ciptaan nenek
moyangnya yang dinilai merupakan “produk jahiliyah”. Bahwa keberadaan patung
adalah cerminan masyarakat penyembah berhala, sehingga sikap yang timbul adalah
seperti Nabi Ibrahim yang menghancurkan patung-patung sesembahan Namrud. Jangan
heran jika mereka anggap sesaji sebagai “santapan jin”, bukan sebagai simbol
dari keberadaan semesta raya. Janganlah pula mereka ditanyai tentang makna dari
patung-patung orang Asmat atau falsafah motif-motif kain songket. Bangsa ini
sudah dijauhkan dari akarnya sejak puritanisme agama dicangkokkan pada
batang-tubuhnya.
Sejarah bagi bangsa ini cuma puing-puing masa lalu yang
hitam-putih. Jikapun berusaha direkonstruksi pasti dipenuhi oleh subjektivitas
atas heroisme yang maskulin atau romantisisme yang mendayu-dayu—dan itu
biasanya digembar-gemborkan saat kampanye politik oleh calon gubernur, calon
walikota, atau calon bupati yang serta-merta selalu tampil alim dan saleh di
baligo-baligo kota. Atau, bila pun diperbincangkan, cuma berkutat dengan
silsilah raja-raja tanpa tahu bahwa cakrawala sejarah itu mencakup semua
aspek—dari harga seorang budak wanita dari Benggali, pemberantasan perkebunan
lada demi ekspor beras oleh sultan Banten, penggunaan candu yang lazim di
masyarakat, korupsi pajak sawah di pedalaman Jawa yang agraris, pengaduan
seorang istri mengenai perlakuan buruk sang suami yang Mardjiker di kantor
notaris di Batavia, hingga perseteruan ideologis antara Agus Salim versus Tan
Malaka saat berpidato di depan anggota dan partisipan Sarekat Islam. Dengan
pemahaman sejarah yang ahistoris, kita pun berbondong-bondong mengamini teori
terkini yang mengklaim dengan entengnya bahwa Borobudur itu peninggalan Nabi
Sulaiman dan Gajah Mada itu seorang Muslim. Pelapukan intelektualitas.
Nenek moyang kita mungkin tak terlalu keras menerapkan
“disiplin budaya”. Berbeda dengan Jepang, misalnya, yang sejak dulu kaisar dan
para shogun-nya melihat dengan sangat
jeli bahwa pengaruh asing dari Portugis kemudian Belanda akan mengelupas
nilai-nilai tradisional mereka sehingga mereka pun mengusir semua misionaris
Nasrani dari Jepang yang juga kepulauan. Leluhur bangsa ini, terutama yang
hidup di wilayah-wilayah pesisr, cukup longgar dan terbuka terhadap pengaruh
agama dari seberang. Karena itu, pemenggalan terhadap suatu dinasti yang usang
dan ketinggalan zaman lazim terjadi di wilayah seperti itu demi keberlangsungan
dinasti baru dengan ajaran baru yang lebih menjanjikan dan menguntungkan secara
ekonomi. Maka, Iskandar Dzulkarnain pun tiba-tiba menjadi leluhur agung dari
raja Malaka, Palembang, dan Aceh. Tak ada nama Sriwijaya—kecuali nama Bukit
Seguntang—atau Kerajaan Darmasraya dalam hikayat-hikayat berbahasa Melayu.
Korupsi atas data-data sejarah sudah berlangsung lama di negeri ini. Yang
“kafir’ telah dihapuskan dari ingatan kolektif bangsa ini.
Kini, kawan, sudah saatnya kita membaca kembali anatomi
budaya sendiri, membaca lalu menafsirkan ulang dengan kritis sejarah bangsa sendiri.
Membahas kebangsaan berarti menggali kebudayaan yang selalu dinamis dan
berdialog dengan zaman sepanjang sejarahnya. Mari kita cari tahu mengapa orang
Nias dan Dayak memiliki tradisi rajah pada tubuh mereka sementara orang tetangga-tetangga
mereka tidak. Ayo kita lakukan riset supaya paham hubungannya Perang Padri
dengan islamisasi di Batak Selatan. Telitilah kenapa sejak abad ke-17 orang
Ambon yang Nasrani kerap tawuran dengan Ambon yang Muslim di Batavia, yang nota
bene bukan kampung halaman mereka, dan budaya tawuran itu kembali pecah di
Maluku di awal milenium dengan korban yang lebih masif. Pelajari pula kenapa
ada Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Manggarai, dan
Kampung Bali di Batavia, serta kaitannya dengan kelanggengan VOC yang berkantor
pusat di kota multiras tersebut.
Membaca sejarah dan budaya bukan berarti kembali hidup di
masa lalu. Justru dengan berbekal nilai-nilai warisan leluhur yang dinilai
masih patut dianut di masa kini, kita punya modal yang sangat besar untuk
bangkit dari permasalahan yang menggerogoti kebhinekaan yang kita miliki. Sepatutnya
mulai kita terapkan nilai-nilai tersebut dalam keseharian, dengan penuh
kesahajaan, bukan hanya dalam rangka upacara adat, HUT RI, atau serimoni-serimoni
lainnya.
Saya tak tahu apakah usia 72 tahun itu muda atau tua. Jika
dibandingkan Majapahit yang bernafas selama 2 abad lebih, jelas Republik ini
masih remaja. Namun, jika dibandingkan Kerajaan Pajang yang cuma berusia kurang
dari setengah abad (1549 – 1586), Indonesia jelas lebih panjang usianya. Dan
hanya melalui pemahaman yang komprehensif terhadap sejarah dan budayalah,
bangsa ini bisa ajeg lebih percaya diri, sentausa, dan panjang umur.
Ojel, 8 Agustus 2017
Catatan: tulisan ini awalnya untuk keperluan sayembara esai
yang diadakan portal Geotimes tahun lalu, tapi karena tak lolos maka esai ini
saya publikasikan sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar