Laman

Senin, 01 Oktober 2018


Mempertahankan Indonesia


Sebagai sebuah negara modern, Indonesia “baru” ada sejak 72 tahun silam. Sebelum Proklamasi, imaji Indonesia masih abstrak dan mengawang. Sebelum abad ke-20 yang ditandai dengan demam pergerakan nasional, yang ada, secara sosiohistoris, hanyalah negara-negara tradisional, yang sebagian terkoyak oleh kolonialisasi Belanda, sementara sisanya masih merdeka sebagai bangsa-bangsa dalam bentuk yang paling kuno di hutan rimba pedalaman.

Archipelago ini—yang disebut “Nusantara” atau “Dwipantara” oleh pujangga-pujangga Jawa kuno dulu—tak pernah dipersatukan oleh sebuah kekuasaan tunggal seperti Jepang atau Cina di masa pra-modern. Pernah suatu masa kepulauan ini (termasuk di dalamnya Semenanjung Malaya) dikuasai Majapahit yang ingin menguasai jalur perdagangan rempah-rempah, namun tak langgeng. Tak ada faktor x yang bisa mempersatukan negeri-negeri kepulauan di “Bawah Angin” itu di bawah naungan sebuah imperium raksasa. Bahasa, agama, aksara, agama, dan mentalitas masing-masing penduduk yang cenderung berlainan, menjadikan mereka secara politis memilih hidup masing-masing sesuai pandangan hidup leluhurnya. Yang terjalin secara alamiah hanyalah keakraban ekonomis. Dari gunung turun ke laut. Dari hulu mengalir ke hilir. Dan sebaliknya. Masing-masing punya mitos, legenda, dan sejarah sendiri—walau kadang saling bertautan dan punya kemiripan.

sumber foto: collectie tropen museum


Hingga tibalah kapal-kapal layar Portugis, Belanda, juga Prancis serta Inggris, buang sauh di pantai-pantai eksotis itu, agar diperbolehkan membeli lada, pala, dan cengkih oleh sultan, raja, atau orangkaya setempat. Awalnya para pedagang berkulit putih itu sukses mendirikan kantor dagang di pelabuhan setempat. Namun kemudian, pertengkaran ekonomi terjadi, yang berakhir dengan peperangan dahsyat dan acap berujung perjanjian yang menguntungkan pihak kolonial. Panji-panji perang pun makin berkibar di abad ke-17, diperkobar oleh sentimen keagamaan di abad ke-19. Setelah Perang Jawa (1825 – 1830) tumpas, giliran Aceh yang perkasa dan Bali yang puputan masuk kandang penjajahan Belanda. Sejarah bangsa yang penuh kekerasan dan berlumuran merah darah. Indonesia lahir dari rahim ibu pertiwi yang terluka.

Musuh bersama! Itulah yang berhasil menggalang persatuan anak-anak bangsa hingga terciptalah imaji sebuah republik imajiner yang patut diperjuangkan hingga proses persalinannya. Musuh bersama itulah yang berhasil merekatkan emosi orang Makassar dengan orang Banten di abad ke-17 guna melawan monopoli VOC Belanda—si musuh bersama itu. Belanda pula yang mendorong Senton Alibasha memilih bergabung dengan kaum Padri di Sumatra setelah perjuangan Pangeran Diponegoro di Tanah Jawa dinilainya sudah melenceng dari niat semula.

Memasuki abad ke-20, perasaan senasib dengan bangsa-bangsa lain yang terjajah seperti Filipina, India, Cina, dan negeri-negeri terjajah lainnya, menyatukan simpul-simpul rasa persatuan ke dalam sebuah himpunan kekuatan yang lebih besar dan didasari kesatuan.  Konsep “Ratu Adil” yang menjamur di pelbagai tempat sebagai manifestasi dari keputusasaan terhadap nasib buruk kaum terjajah di abad ke-19 namun akhirnya kandas jua, perlahan bertransformasi menjadi gairah modern untuk sepakat hidup di bawah satu bendera, satu bahasa, dan tanah-air yang sama. Pergerakan nasional pun mencapai titik didihnya setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, Agustus 1945.

Tapi kemerdekaan hanya permulaan dari sebuah cerita baru yang tak kalah sengit. Percikan Revolusi, kudeta, pertengkaran ideologis, gerakan separatisme, kerusuhan sosial, pembantaian atas kaum kiri, dan pemilu yang curang. Juga bahwa kemerdekaan itu ternyata cuma menyangkut peralihan kekuasaan, garis teritorial, dan pekik merdeka. Sementara, mentalitas “amok” yang kronis masih saja mengoyak-ngoyak persatuan, tak pernah disembuhkan. Mental korupsi sudah mengalir ke tulang dan sumsum. Ritus-ritus keagamaan malah memangkirkan spiritualitas. Sehingga yang merebak adalah sikap normatif yang berlebih dan menumpulkan daya kritis. Sistem pendidikan bukannnya melahirkan Individu-individu yang gemar bereksplorasi, melainkan mencetak orang-orang yang takut kepada hari pembalasan di akhirat kelak. Identitas kebangsaan kalah oleh identitas keagamaan.

Karena itu, budaya hanya diterjemahkan ke dalam parade pakaian tradisional, pemakaian baju batik bagi PNS, festival wayang, dan perlombaan pencak-silat, Ada yang luput dari perhatian bahwa warisan-warisan leluhur itu merupakan hasil dialektika si pencipta dengan diri dan alam sekitar—mikro dan makrokosmos. Kita hanya disuruh mengagumi bentuk, bukan mengupas isi. Tak pernah anak-anak sekolah disandarkan pada pilar-pilar budaya etnisnya sendiri. Yang ada, rasa risih dan penampikan terhadap karya-karya ciptaan nenek moyangnya yang dinilai merupakan “produk jahiliyah”. Bahwa keberadaan patung adalah cerminan masyarakat penyembah berhala, sehingga sikap yang timbul adalah seperti Nabi Ibrahim yang menghancurkan patung-patung sesembahan Namrud. Jangan heran jika mereka anggap sesaji sebagai “santapan jin”, bukan sebagai simbol dari keberadaan semesta raya. Janganlah pula mereka ditanyai tentang makna dari patung-patung orang Asmat atau falsafah motif-motif kain songket. Bangsa ini sudah dijauhkan dari akarnya sejak puritanisme agama dicangkokkan pada batang-tubuhnya.

Sejarah bagi bangsa ini cuma puing-puing masa lalu yang hitam-putih. Jikapun berusaha direkonstruksi pasti dipenuhi oleh subjektivitas atas heroisme yang maskulin atau romantisisme yang mendayu-dayu—dan itu biasanya digembar-gemborkan saat kampanye politik oleh calon gubernur, calon walikota, atau calon bupati yang serta-merta selalu tampil alim dan saleh di baligo-baligo kota. Atau, bila pun diperbincangkan, cuma berkutat dengan silsilah raja-raja tanpa tahu bahwa cakrawala sejarah itu mencakup semua aspek—dari harga seorang budak wanita dari Benggali, pemberantasan perkebunan lada demi ekspor beras oleh sultan Banten, penggunaan candu yang lazim di masyarakat, korupsi pajak sawah di pedalaman Jawa yang agraris, pengaduan seorang istri mengenai perlakuan buruk sang suami yang Mardjiker di kantor notaris di Batavia, hingga perseteruan ideologis antara Agus Salim versus Tan Malaka saat berpidato di depan anggota dan partisipan Sarekat Islam. Dengan pemahaman sejarah yang ahistoris, kita pun berbondong-bondong mengamini teori terkini yang mengklaim dengan entengnya bahwa Borobudur itu peninggalan Nabi Sulaiman dan Gajah Mada itu seorang Muslim. Pelapukan intelektualitas.

Nenek moyang kita mungkin tak terlalu keras menerapkan “disiplin budaya”. Berbeda dengan Jepang, misalnya, yang sejak dulu kaisar dan para shogun-nya melihat dengan sangat jeli bahwa pengaruh asing dari Portugis kemudian Belanda akan mengelupas nilai-nilai tradisional mereka sehingga mereka pun mengusir semua misionaris Nasrani dari Jepang yang juga kepulauan. Leluhur bangsa ini, terutama yang hidup di wilayah-wilayah pesisr, cukup longgar dan terbuka terhadap pengaruh agama dari seberang. Karena itu, pemenggalan terhadap suatu dinasti yang usang dan ketinggalan zaman lazim terjadi di wilayah seperti itu demi keberlangsungan dinasti baru dengan ajaran baru yang lebih menjanjikan dan menguntungkan secara ekonomi. Maka, Iskandar Dzulkarnain pun tiba-tiba menjadi leluhur agung dari raja Malaka, Palembang, dan Aceh. Tak ada nama Sriwijaya—kecuali nama Bukit Seguntang—atau Kerajaan Darmasraya dalam hikayat-hikayat berbahasa Melayu. Korupsi atas data-data sejarah sudah berlangsung lama di negeri ini. Yang “kafir’ telah dihapuskan dari ingatan kolektif bangsa ini.

Kini, kawan, sudah saatnya kita membaca kembali anatomi budaya sendiri, membaca lalu menafsirkan ulang dengan kritis sejarah bangsa sendiri. Membahas kebangsaan berarti menggali kebudayaan yang selalu dinamis dan berdialog dengan zaman sepanjang sejarahnya. Mari kita cari tahu mengapa orang Nias dan Dayak memiliki tradisi rajah pada tubuh mereka sementara orang tetangga-tetangga mereka tidak. Ayo kita lakukan riset supaya paham hubungannya Perang Padri dengan islamisasi di Batak Selatan. Telitilah kenapa sejak abad ke-17 orang Ambon yang Nasrani kerap tawuran dengan Ambon yang Muslim di Batavia, yang nota bene bukan kampung halaman mereka, dan budaya tawuran itu kembali pecah di Maluku di awal milenium dengan korban yang lebih masif. Pelajari pula kenapa ada Kampung Bugis, Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Manggarai, dan Kampung Bali di Batavia, serta kaitannya dengan kelanggengan VOC yang berkantor pusat di kota multiras tersebut.

Membaca sejarah dan budaya bukan berarti kembali hidup di masa lalu. Justru dengan berbekal nilai-nilai warisan leluhur yang dinilai masih patut dianut di masa kini, kita punya modal yang sangat besar untuk bangkit dari permasalahan yang menggerogoti kebhinekaan yang kita miliki. Sepatutnya mulai kita terapkan nilai-nilai tersebut dalam keseharian, dengan penuh kesahajaan, bukan hanya dalam rangka upacara adat, HUT RI, atau serimoni-serimoni lainnya.

Saya tak tahu apakah usia 72 tahun itu muda atau tua. Jika dibandingkan Majapahit yang bernafas selama 2 abad lebih, jelas Republik ini masih remaja. Namun, jika dibandingkan Kerajaan Pajang yang cuma berusia kurang dari setengah abad (1549 – 1586), Indonesia jelas lebih panjang usianya. Dan hanya melalui pemahaman yang komprehensif terhadap sejarah dan budayalah, bangsa ini bisa ajeg lebih percaya diri, sentausa, dan panjang umur.


Ojel, 8 Agustus 2017
Catatan: tulisan ini awalnya untuk keperluan sayembara esai yang diadakan portal Geotimes tahun lalu, tapi karena tak lolos maka esai ini saya publikasikan sekarang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar