JELAJAH KE GUNUNG
TAMPOMAS SUMEDANG
Seperti halnya kota-kota di Jawa
Barat, Sumedang pun banyak memiliki destinasi wisata. Ada yang berupa curug (air terjun), perkebunan teh,
sumber air panas, pemandian air panas, kampung wisata (agrowisata), mata air, waduk (bendungan), eco green park, gunung, museum, hingga arung jeram.
Beberapa destinasi wisata curug di Sumedang di antaranya: Curug
Ciptawangi, Curug Cigorobog, Curug Cipongkor, Curug Cibayawak, Curug Sabuk, dan
Curug Cinulang. Yang termasuk perkebunan teh adalah Perkebunan Teh Margawindu. Yang
termasuk sumber air panas, wisata mata air, pemandian air panas, dan wisata
alam adalah Sumber Air Panas Sekarwangi, Wisata Air Gajah Depa, Mata Air Sirah
Cipelang, Pemandian Air Panas Cileungsing, Pemandian Air Panas Conggeang,
Wisata Mata Air Cikandung, dan Wisata Alam Pangjugjugan.
Gunung Tampomas sumber foto: ariechicarito.blogspot.com |
Ada lagi jenis wisata yang berupa
situs peninggalan dari seorang tokoh bersejarah yang berbalut mitos seperti
Situs Prabu Taji Malela di Gunung Lingga, Gunung Batu. Sementara, destinasi
wisata lainnya adalah Museum Prabu Geusan Ulun, Kampung Nangorak, Kampung Toga,
Situ Cilembang, Waduk Jatigede, Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Puncak
Damar Baros Jatigede, Eco Green Park Kampung Karuhun, Arung Jeram Pangcalikan,
River Tubing Desa Cipancar, dan wisata paralayang di Gunung Lingga, Belum lagi
tempat wisata dan sekaligus kemping berupa gunung seperti Gunung Kunci, Gunung
Kerenceng, dan Gunung Tampomas.
Di antara destinasi wisata gunung
di Sumedang, memang Gunung Tampomas-lah yang paling popular. Nah, kali ini kita
akan jelajahi gunung berapi yang kerap didaki oleh para pecinta alam dan anak
gunung ini.
Tampomas terletak di utara Kota Sumedang, dengan tinggi 1.684 mdpl (meter di atas permukaan laut). Secara administratif, gunung
ini berada dalam lima kecamatan, yakni Kec. Buahdua, Kec. Conggeang, Kec. Paseh, Kec. Cimalaka dan Kec. Tanjungkerta.
Gunung ini termasuk ke dalam area Taman Wisata
Alam Gunung Tampomas dengan luas area sekitar 1.250 hektar. Kawasan Hutan
Gunung Tampomas sendiri termasuk ke dalam hutan hujan pegunungan dengan
keanekaragaman flora dan faunanya. Tumbuhan yang mendominasi gunung ini di
antaranya rasamala, jamuju, dan saninten. Sementara, jenis satwa liar dan banyak ditemui di area ini adalah kancil, lutung, babi hutan, dan beberapa jenis burung.
Gunung ini memiliki sumber air panas yang keluar
di daerah sekitar kaki gunung. Puncak dari gunung ini disebut Sangiang Taraje,
tempat di mana kita bisa menikmati keelokan pemandangan Kota Sumedang dari “negeri
di awan”.
Jalur Pendakian
Bagaimana caranya kita bisa berwisata (tepatnya
mendaki) ke gunung ini? Bagi urang
Sumedang, mungkin sangat mudah. Tapi, bagi orang luar Sumedang?
Bila kamu urang
Bandung dan tak punya mobil pribadi, maka kamu tingga naik kendaraan umum, dari
Cileunyi, Kab. Bandung, kamu bisa naik bus jurusan Sumedang. Atau, bila memakai
layanan kereta api, kamu bisa naik yang jurusan Stasiun Rancaekek, baru
kemudian lanjut ke Sumedang pakai angkutan umum atau bus jurusan Sumedang. Dari
Kota Sumedang, langsung saja arahkan kendaraan menuju pos pendakian Cibeureum,
yang membutuhkan waktu sekitar 40 menit dengan jarak tempuh sejauh 17 km.
Begitu sampai di pos Cibeureum, kamu harus
mengurus dulu Simaksi alias Surat Izin Masuk Kawasan Konversi (anak gunung atau
pecinta alam pasti sudah tak asing lagi dengan istilah ini). Simaksi diperlukan
agar para petugas setempat bisa memastikan jumlah para pengunjung, dengan
begitu jika terjadi apa-apa pada pengunjung (mudah-mudahan jangan ya) maka
petugas setempat bisa melakukan pertolongan atau pencarian (jika ada pengunjung
atau pendaki yang hilang atau tersesat). Biasa pengurusan Simaksi cuma 5.000
rupiah saja per orang. Setelah urusan Simaksi beres, dan jika belum lelah, kamu
pun bisa memulai pendakian. Estimasi waktu dari pos Cibeureum menuju puncak
Tampomas berkisar antara 4 s/d 7 jam—tergantung jalur yang diambil dan kesiapan
mental dan fisik si pendaki bersangkutan. Inilah jalur paling “aman”, karena tak terlalu ekstrem mengingat
konturnya yang landai walau cukup panjang.
Itu kalau jalur pendakian menuju Gunung Tampomas:
via Cibeureum. Ada satu lagi jalur menuju Tampomas, yakni via Narimbang. Rute
yang bisa kita ambil adalah via Jl. Raya Conggeang, Desa Narimbang, dengan
waktu tempuh 30 menitan dengan jarak kurang lebih 30 km dari pusat Kota
Sumedang. Jalur kedua ini termasuk ekstrem. Ada tujuh pos yang bisa kita lalu jika
pakai jalur ini, yakni: pos Narimbang, Pasir Seleh, Watu Kukus, Persimpangan,
Watu Gede, Puncak Bayangan, Puncak Sanghyang Taraje. Di antara ketujuh pos
tersebut, pos Puncak Bayangan-lah yang merupakan pos paling memeras keringat
mengingat trek yang dilaluinya dipenuhi bebatuan dengan kemiringan 70o
denan begitu para pendaki diharapkan sangat berhati-hati serta waspada. Diperlukan
sekitar 5 s/d 7 jam perjalanan menuju puncak Gunung dari Narimbang ini (dengan
tetap berjalan kaki pastinya). Di jalur Narimbang ini kita dapat menikmati
pemandangan Curug Ciputrawangi yang terkenal itu.
Sangiang Taraje, Puncak Tampomas
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa puncak Tampomas disebut
Sangiang Taraje. Puncak ini luasnya sekitar 1 hektar dan berada di ujung paling
atas Tampomas. Di sini, kita bisa sepuas-puasnya menatap keindahan panorama ke
arah Kota
Sumedang dan sekelilingnya. Keelokan pemandangan tersebut akan bertambah
jika pandangan kita arahkan ke lubang-lubang kawah dan batu-batu besar warna hitam. Sangat instagramable, guys!
Kata sangiang sendiri adalah
kata sandang bagi seseorang atau sesuatu yang suci dan disakralkan. Kata ini
berasal dari dua kata sandang, yakni sang
dan hyang (hiyang). Hyang dalam
konteks budaya Sunda kuno bisa mengacu kepada Tuhan, roh suci, sesuatu yang
transenden dan tak kasat mata; atau bisa juga berarti “hilang”. Bandingkan
dengan kata kahyangan (kahiyangan) yang berarti jiwa yang suci
da sudah tak terikat dunia fisik, atau ngahiyang
(ngahiang; ngahyang) yang berarti sublim atau menghilang. Ada pun taraje dalam bahasa Sunda berarti tangga
(biasanya terbuat dari bambu). Dengan begitu, secara harfiah Sangiang Taraje
berarti “Tangga Suci”; yang dalam konteks spiritualitas adalah tangga yang
sakral guna menuju kesempurnaan atau moksa
(bersatu dengan Semesta kembali).
Di sekitar Sangiang Taraje terdapat beberapa kawah kecil yang
dihiasi bebatuan hitam. Tak jauh dari Sangiang Taraje terdapat, menurut
masyarakat setempat, sebuah patilasan
Prabu Siliwangi berupa pasarean. Seperti
kita tahu, Prabu Siliwangi merupakan raja yang sangat terkenal di Tatar Sunda—bahkan
hingga kini, dari Kerajaan Pajajaran. Patilasan
berarti tempat atau situs yang pernah disinggahi atau ditempati (sementara)
oleh seorang tokoh sejarah atau tokoh mitologis-historis yang dipercaya pernah
ada oleh masyarakat setempat. Pasarean
sendiri berarti “tempat tidur” (walau mungkin bisa berarti “tempat bertapa”).
Peninggalan atau patilasan jenis ini
banyak tersebar di wilayah Jawa Barat dan dipercaya kebenarannya oleh
masyarakat lokal bersangkutan.
Tompo Omas dalam
Naskah Bujangga Manik
Di masa lalu, keberadaan Tampomas, juga
gunung-gunung di Jawa Barat lainnya, sangatlah penting bagi masyarakat di zaman
bersangkutan. Gunung bagi masyarakat Sunda lampau (juga bagi masyakarat
primordial Nusantara) merupakan wilayah yang suci. Selain puncaknya yang
terkesan menyentuh langit, gunung merupakan paku
buwana alias pasak dunia yang membuat daratan atau pulau di mana gunung
tersebut berada ajeg dan teguh. Banyak candi-candi di masa lampau didirikan di
lereng atau puncak sebiah bukit atau gunung. Dalam religi-religi kuno, gunung
merupakan tempat bersemayam para dewa dan roh-roh leluhur.
Salah satu bukti sejarah yang mencatat nama
gunung ini adalah Bujangga Manik,
sebuah naskah berbahasa dan beraksara Sunda kuno yang diperkirakan ditulis
akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Naskah yang aslinya masih tersimpan di
perpustakaan Universitas Oxford, Inggris, ini (sudah tersimpan di universitas
bersangkutan sejak tahun 1627) mencatat begitu banyak nama gunung dan sungai
yang terdapat di Pulau Jawa di masanya (sebagian sudah tak dikenali). Salah
satu gunung yang dtulis oleh sang pengarang yang anonim tersebut adalah Tompo
Omas, yang kini ditulis Tampomas.
Tompo Omas berarti “Tampah Emas”. Tampo adalah bahasa Sunda kuno (juga
Jawa kuno) untuk kata tampah. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, tampah adalah “perabot
rumah tangga, dibuat dari anyaman bambu dan sebagainya, biasanya berbentuk
bulat untuk menampi (membersihkan) beras; nyiru;
penampan besar”. Dengan begitu, apakah gunung ini dulunya merupakan salah satu
tambang emas kuno? Atau apakah maknanya lebih bersifat spiritual-transenden,
yakni gunung yang “membersihkan” jiwa-jiwa yang kotor untuk kembali suci?
Berikut cuplikan naskah Bujangga Manik yang menyebutkan nama Tompo Omas dalam bahasa asli
dan terjemahannya (Noorduyn, 2009:
280):
Ku ngaing geus kaleu(m)pangan (olehku
telah dilewati)
meu(n)tas di Cipunagara (menyeberangi
Sungai Cipunagara)
lurah Medang Kahiangan (bagian
daerah Medang Kahiangan)
ngalalar ka Tompo Omas (melewati
Gunung Tompo Omas)
meu(n)tas aing di Cimanuk (menyeberang
aku di Sungai Cimanuk)
ngalalar ka Pada Beunghar (melewati
Pada Beunghar)
meu(n)tas di Cijeruk Manis (menyeberangi
Sungai Cijeruk Manis)
ngalalar aing ka Conam (berjalan
aku menuju Conam)
katukang bukit C(e)remay (di belakangku Gunung Ceremay)
Kutipan di atas merupakan penggambaran sang
penulis naskah tentang tokoh utama yang berjalan dari arah barat, yakni dari
istana Pakuan (Pajajaran) Kerajaan Sunda, ke arah timur lewat jalur utara (bayangkan
saja jalur Pantura kini).
Disebutkan pula nama Medang Kahiangan setelah penyebutan Cipunagara dan sebelum
Tompo Omas. Bisa jadi, Medang Kahiyangan mengacu kepada sebuah
kerajaan kecil di wilayah Sumedang tempo dulu. Nama ini pun disebutkan dalam
naskah Sunda kuno lain, yakni Carita
Parahiyangan, yang ditulis sekitar akhir abad ke-16 dengan ejaan Medang
Kahyangan, sebagai salah satu tempat di mana permah terjadi peperangan antara
pasukan musuh melawan pasukan Surawisesa, salah satu raja terkenal dari Kerajaan
Sunda sekaligus putra Sri Baduga Maharaja.
Bujangga Manik sendiri adalah nama tokoh utama
dalam naskah ini. Nama aslinya Prebu Jaya Pakuan, seorang bangsawan dari
keraton Pakuan-Pajajaran, yang berniat bertapa hingga akhir hayatnya. Begitu ia
keluar dari istana namanya berubah menjadi Bujangga Manik sebagai petapa. Di
saat tokoh ini naik kapal laut (jong)
namanya berubah lagi menjadi Ameng Layaran, yang berarti “rahib pelayar” (Noorduyn, 2009: 172).
Selama pengembaraan, sang tokoh banyak
mengunjungi sejumlah tempat tempat suci seperti mandala (perguruan), kabuyutan
(tempat suci yang biasanya memiliki batu
satangtung alias batu berdiri, atau pasangan lingga-yoni sebagai simbol
dualisme kosmik), dan candi, yang sebagian terletak di gunung-gunung yang ia
kunjungi dalam rangka memperdalam kitab kitab suci (masa pra-Islam) dan
akhirnya bertapa hingga moksa dan atma atau ruhnya bersatu kembali dengan
dunia azali, menuju Semesta asal dari mana semua keberadaan fisik berawal.
Itulah Tampomas, gunung yang penuh situs dari
masa lampau namun hingga kini tetap menjadi magnet perhatian sekaligus rasa
penasaran jiwa-jiwa yang ingin lebih dekat dengan kubah langit yang tak
terbatas.
Referensi Pustaka
Noorduyn J. dan
A. Teeuw. 2009. Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe
Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumber internet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar