Laman

Kamis, 30 Januari 2020


JELAJAH KE GUNUNG TAMPOMAS SUMEDANG


Seperti halnya kota-kota di Jawa Barat, Sumedang pun banyak memiliki destinasi wisata. Ada yang berupa curug (air terjun), perkebunan teh, sumber air panas, pemandian air panas, kampung wisata (agrowisata), mata air, waduk (bendungan), eco green park, gunung, museum, hingga arung jeram.

Beberapa destinasi wisata curug di Sumedang di antaranya: Curug Ciptawangi, Curug Cigorobog, Curug Cipongkor, Curug Cibayawak, Curug Sabuk, dan Curug Cinulang. Yang termasuk perkebunan teh adalah Perkebunan Teh Margawindu. Yang termasuk sumber air panas, wisata mata air, pemandian air panas, dan wisata alam adalah Sumber Air Panas Sekarwangi, Wisata Air Gajah Depa, Mata Air Sirah Cipelang, Pemandian Air Panas Cileungsing, Pemandian Air Panas Conggeang, Wisata Mata Air Cikandung, dan Wisata Alam Pangjugjugan. 

Gunung Tampomas
sumber foto: ariechicarito.blogspot.com 


Ada lagi jenis wisata yang berupa situs peninggalan dari seorang tokoh bersejarah yang berbalut mitos seperti Situs Prabu Taji Malela di Gunung Lingga, Gunung Batu. Sementara, destinasi wisata lainnya adalah Museum Prabu Geusan Ulun, Kampung Nangorak, Kampung Toga, Situ Cilembang, Waduk Jatigede, Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi, Puncak Damar Baros Jatigede, Eco Green Park Kampung Karuhun, Arung Jeram Pangcalikan, River Tubing Desa Cipancar, dan wisata paralayang di Gunung Lingga, Belum lagi tempat wisata dan sekaligus kemping berupa gunung seperti Gunung Kunci, Gunung Kerenceng, dan Gunung Tampomas.

Di antara destinasi wisata gunung di Sumedang, memang Gunung Tampomas-lah yang paling popular. Nah, kali ini kita akan jelajahi gunung berapi yang kerap didaki oleh para pecinta alam dan anak gunung ini.

Tampomas  terletak di utara Kota Sumedang,  dengan tinggi 1.684 mdpl (meter di atas permukaan laut). Secara administratif, gunung ini berada dalam lima kecamatan, yakni Kec. Buahdua, Kec. Conggeang, Kec. Paseh, Kec. Cimalaka dan Kec. Tanjungkerta.

Gunung ini termasuk ke dalam area Taman Wisata Alam Gunung Tampomas dengan luas area sekitar 1.250 hektar. Kawasan Hutan Gunung Tampomas sendiri termasuk ke dalam hutan hujan pegunungan dengan keanekaragaman flora dan faunanya. Tumbuhan yang mendominasi gunung ini di antaranya rasamala, jamuju, dan saninten. Sementara, jenis satwa liar dan banyak ditemui di area ini adalah kancillutungbabi hutan, dan beberapa jenis burung.

Gunung ini memiliki sumber air panas yang keluar di daerah sekitar kaki gunung. Puncak dari gunung ini disebut Sangiang Taraje, tempat di mana kita bisa menikmati keelokan pemandangan Kota Sumedang dari “negeri di awan”.

Jalur Pendakian
Bagaimana caranya kita bisa berwisata (tepatnya mendaki) ke gunung ini? Bagi urang Sumedang, mungkin sangat mudah. Tapi, bagi orang luar Sumedang?

Bila kamu urang Bandung dan tak punya mobil pribadi, maka kamu tingga naik kendaraan umum, dari Cileunyi, Kab. Bandung, kamu bisa naik bus jurusan Sumedang. Atau, bila memakai layanan kereta api, kamu bisa naik yang jurusan Stasiun Rancaekek, baru kemudian lanjut ke Sumedang pakai angkutan umum atau bus jurusan Sumedang. Dari Kota Sumedang, langsung saja arahkan kendaraan menuju pos pendakian Cibeureum, yang membutuhkan waktu sekitar 40 menit dengan jarak tempuh sejauh 17 km.

Begitu sampai di pos Cibeureum, kamu harus mengurus dulu Simaksi alias Surat Izin Masuk Kawasan Konversi (anak gunung atau pecinta alam pasti sudah tak asing lagi dengan istilah ini). Simaksi diperlukan agar para petugas setempat bisa memastikan jumlah para pengunjung, dengan begitu jika terjadi apa-apa pada pengunjung (mudah-mudahan jangan ya) maka petugas setempat bisa melakukan pertolongan atau pencarian (jika ada pengunjung atau pendaki yang hilang atau tersesat). Biasa pengurusan Simaksi cuma 5.000 rupiah saja per orang. Setelah urusan Simaksi beres, dan jika belum lelah, kamu pun bisa memulai pendakian. Estimasi waktu dari pos Cibeureum menuju puncak Tampomas berkisar antara 4 s/d 7 jam—tergantung jalur yang diambil dan kesiapan mental dan fisik si pendaki bersangkutan. Inilah jalur paling “aman”, karena tak terlalu ekstrem mengingat konturnya yang landai walau cukup panjang.

Itu kalau jalur pendakian menuju Gunung Tampomas: via Cibeureum. Ada satu lagi jalur menuju Tampomas, yakni via Narimbang. Rute yang bisa kita ambil adalah via Jl. Raya Conggeang, Desa Narimbang, dengan waktu tempuh 30 menitan dengan jarak kurang lebih 30 km dari pusat Kota Sumedang. Jalur kedua ini termasuk ekstrem. Ada tujuh pos yang bisa kita lalu jika pakai jalur ini, yakni: pos Narimbang, Pasir Seleh, Watu Kukus, Persimpangan, Watu Gede, Puncak Bayangan, Puncak Sanghyang Taraje. Di antara ketujuh pos tersebut, pos Puncak Bayangan-lah yang merupakan pos paling memeras keringat mengingat trek yang dilaluinya dipenuhi bebatuan dengan kemiringan 70o denan begitu para pendaki diharapkan sangat berhati-hati serta waspada. Diperlukan sekitar 5 s/d 7 jam perjalanan menuju puncak Gunung dari Narimbang ini (dengan tetap berjalan kaki pastinya). Di jalur Narimbang ini kita dapat menikmati pemandangan Curug Ciputrawangi yang terkenal itu.

Sangiang Taraje, Puncak Tampomas
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa puncak Tampomas disebut Sangiang Taraje. Puncak ini luasnya sekitar 1 hektar dan berada di ujung paling atas Tampomas. Di sini, kita bisa sepuas-puasnya menatap keindahan panorama ke arah Kota Sumedang dan sekelilingnya. Keelokan pemandangan tersebut akan bertambah jika pandangan kita arahkan ke lubang-lubang kawah dan batu-batu besar warna hitam. Sangat instagramable, guys!

Kata sangiang sendiri adalah kata sandang bagi seseorang atau sesuatu yang suci dan disakralkan. Kata ini berasal dari dua kata sandang, yakni sang dan hyang (hiyang). Hyang dalam konteks budaya Sunda kuno bisa mengacu kepada Tuhan, roh suci, sesuatu yang transenden dan tak kasat mata; atau bisa juga berarti “hilang”. Bandingkan dengan kata kahyangan (kahiyangan) yang berarti jiwa yang suci da sudah tak terikat dunia fisik, atau ngahiyang (ngahiang; ngahyang) yang berarti sublim atau menghilang. Ada pun taraje dalam bahasa Sunda berarti tangga (biasanya terbuat dari bambu). Dengan begitu, secara harfiah Sangiang Taraje berarti “Tangga Suci”; yang dalam konteks spiritualitas adalah tangga yang sakral guna menuju kesempurnaan atau moksa (bersatu dengan Semesta kembali).

Di sekitar Sangiang Taraje terdapat beberapa kawah kecil yang dihiasi bebatuan hitam. Tak jauh dari Sangiang Taraje terdapat, menurut masyarakat setempat, sebuah patilasan Prabu Siliwangi berupa pasarean. Seperti kita tahu, Prabu Siliwangi merupakan raja yang sangat terkenal di Tatar Sunda—bahkan hingga kini, dari Kerajaan Pajajaran. Patilasan berarti tempat atau situs yang pernah disinggahi atau ditempati (sementara) oleh seorang tokoh sejarah atau tokoh mitologis-historis yang dipercaya pernah ada oleh masyarakat setempat. Pasarean sendiri berarti “tempat tidur” (walau mungkin bisa berarti “tempat bertapa”). Peninggalan atau patilasan jenis ini banyak tersebar di wilayah Jawa Barat dan dipercaya kebenarannya oleh masyarakat lokal bersangkutan.

Tompo Omas dalam Naskah Bujangga Manik
Di masa lalu, keberadaan Tampomas, juga gunung-gunung di Jawa Barat lainnya, sangatlah penting bagi masyarakat di zaman bersangkutan. Gunung bagi masyarakat Sunda lampau (juga bagi masyakarat primordial Nusantara) merupakan wilayah yang suci. Selain puncaknya yang terkesan menyentuh langit, gunung merupakan paku buwana alias pasak dunia yang membuat daratan atau pulau di mana gunung tersebut berada ajeg dan teguh. Banyak candi-candi di masa lampau didirikan di lereng atau puncak sebiah bukit atau gunung. Dalam religi-religi kuno, gunung merupakan tempat bersemayam para dewa dan roh-roh leluhur.

Salah satu bukti sejarah yang mencatat nama gunung ini adalah Bujangga Manik, sebuah naskah berbahasa dan beraksara Sunda kuno yang diperkirakan ditulis akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Naskah yang aslinya masih tersimpan di perpustakaan Universitas Oxford, Inggris, ini (sudah tersimpan di universitas bersangkutan sejak tahun 1627) mencatat begitu banyak nama gunung dan sungai yang terdapat di Pulau Jawa di masanya (sebagian sudah tak dikenali). Salah satu gunung yang dtulis oleh sang pengarang yang anonim tersebut adalah Tompo Omas, yang kini ditulis Tampomas.

Tompo Omas berarti “Tampah Emas”. Tampo adalah bahasa Sunda kuno (juga Jawa kuno) untuk kata tampah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tampah adalah “perabot rumah tangga, dibuat dari anyaman bambu dan sebagainya, biasanya berbentuk bulat untuk menampi (membersihkan) beras; nyiru; penampan besar”. Dengan begitu, apakah gunung ini dulunya merupakan salah satu tambang emas kuno? Atau apakah maknanya lebih bersifat spiritual-transenden, yakni gunung yang “membersihkan” jiwa-jiwa yang kotor untuk kembali suci?

Berikut cuplikan naskah Bujangga Manik yang menyebutkan nama Tompo Omas dalam bahasa asli dan terjemahannya (Noorduyn, 2009: 280):  
Ku ngaing geus kaleu(m)pangan (olehku telah dilewati)
meu(n)tas di Cipunagara (menyeberangi Sungai Cipunagara)
lurah Medang Kahiangan (bagian daerah Medang Kahiangan)
ngalalar ka Tompo Omas (melewati Gunung Tompo Omas)
meu(n)tas aing di Cimanuk (menyeberang aku di Sungai Cimanuk)
ngalalar ka Pada Beunghar (melewati Pada Beunghar)
meu(n)tas di Cijeruk Manis (menyeberangi Sungai Cijeruk Manis)
ngalalar aing ka Conam (berjalan aku menuju Conam)
katukang bukit C(e)remay (di belakangku Gunung Ceremay)



Kutipan di atas merupakan penggambaran sang penulis naskah tentang tokoh utama yang berjalan dari arah barat, yakni dari istana Pakuan (Pajajaran) Kerajaan Sunda, ke arah timur lewat jalur utara (bayangkan saja jalur Pantura kini).

Disebutkan pula nama Medang Kahiangan setelah penyebutan Cipunagara dan sebelum Tompo Omas. Bisa jadi, Medang Kahiyangan mengacu kepada sebuah kerajaan kecil di wilayah Sumedang tempo dulu. Nama ini pun disebutkan dalam naskah Sunda kuno lain, yakni Carita Parahiyangan, yang ditulis sekitar akhir abad ke-16 dengan ejaan Medang Kahyangan, sebagai salah satu tempat di mana permah terjadi peperangan antara pasukan musuh melawan pasukan Surawisesa, salah satu raja terkenal dari Kerajaan Sunda sekaligus putra Sri Baduga Maharaja.

Bujangga Manik sendiri adalah nama tokoh utama dalam naskah ini. Nama aslinya Prebu Jaya Pakuan, seorang bangsawan dari keraton Pakuan-Pajajaran, yang berniat bertapa hingga akhir hayatnya. Begitu ia keluar dari istana namanya berubah menjadi Bujangga Manik sebagai petapa. Di saat tokoh ini naik kapal laut (jong) namanya berubah lagi menjadi Ameng Layaran, yang berarti “rahib pelayar” (Noorduyn, 2009: 172).   

Selama pengembaraan, sang tokoh banyak mengunjungi sejumlah tempat tempat suci seperti mandala (perguruan), kabuyutan (tempat suci yang biasanya memiliki batu satangtung alias batu berdiri, atau pasangan lingga-yoni sebagai simbol dualisme kosmik), dan candi, yang sebagian terletak di gunung-gunung yang ia kunjungi dalam rangka memperdalam kitab kitab suci (masa pra-Islam) dan akhirnya bertapa hingga moksa dan atma atau ruhnya bersatu kembali dengan dunia azali, menuju Semesta asal dari mana semua keberadaan fisik berawal.

Itulah Tampomas, gunung yang penuh situs dari masa lampau namun hingga kini tetap menjadi magnet perhatian sekaligus rasa penasaran jiwa-jiwa yang ingin lebih dekat dengan kubah langit yang tak terbatas.


Referensi Pustaka
Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumber internet


Tidak ada komentar:

Posting Komentar