Pejalan Kaki
Aku melihat,
trotoar ber-paving blok di kedua sisi
jalan itu cukup lebar. Jika keduanya disatukan, lebarnya hampir selebar jalan
beraspal yang diapitnya. Para pejalan kaki melangkah kaki begitu leluasa dan
tanpa hambatan. Mereka menikmati hak mereka di tempat yang seharusnya. Sama
seperti pengendara mobil, motor, dan sepeda menjalankan kendaraan mereka di
jalan yang mulus tak berkubang dan berlubang itu. Aku terkesima dan aku sadar saat
itu aku sedang menonton sebuah film produk Jepang.
Ketertiban barang
langka bagiku, bagi warga yang mendiami sebuah kota besar di Indonesia. Di kota
ini, di tanah kelahiranku, trotoar bukan tempat pedestarian merasakan
kenyamanan berjalan kaki. Jarang sekali ada trotoar yang lebar. Kebanyakan
sempit dan tak tertata rapi. Di beberapa titik bolong dan penuh sampah. Bungkus
rokok berikut puntungnya, bekas kemasan cemilan, bersatu dengan dedaunan yang
berguguran dan busuk, memenuhinya. Dan aku harus menepi jika berpapasan dengan
kios dan kedai pecel lele.
Di ruas yang lain,
aku kembali harus bersabar. Di sisiku, mobil dan motor bergerak perlahan.
Kadang berhenti setengah menit untuk kembali merangkaki jalan. Lalu lintas macet. Jalan
raya sesak. Sementara pak polisi hanya segelintir—tak sebanyak saat melakukan
operasi tilang. Klakson bersahut-sahutan, menjelaskan bahwa para sopir itu
beranggapan jalan hanya dan cuma milik mereka. Sebagian besar kendaraan
menyalakan lampu. Hari sudah menjelang magrib dan orang-orang ingin segera
sampai di rumah, memeluk anak dan menciumi kening istri. Motorku masih di
bengkel.
Baru jalan beberapa
langkah, aku melihat sejumlah pengendara motor menaikkan motor mereka ke atas
trotoar, ke arahku. Terpaksa aku menepi samping selokan dan hentikan langkah. Aku
perhatikan: hampir semua motor otomatik, keluaran Jepang; sebagian badannya
sudah dipreteli dengan helm penuh stiker
khas anak muda. Juga aku perhatikan para pengendara itu. Sebagian umurnya di
atas kepala empat dan mereka tak mau kalah dengan pengendara anak muda: tak
punya kesabaran yang cukup untuk tetap konsisten di atas jalan raya. Mereka tak
siap dengan konsekuensi berkendara di kota besar yang setiap hari dipempeti kemacetan.
Secara mental, mereka seharusnya tak diberi izin memiliki kendaraan dan
berkendara. Sama seperti anak SMP yang menyetir motor metik cukup kebut di
jalanan kompleks.
Aku terpaksa
berjalan meniti tepi selokan dengan hati-hati. Para pengendara motor seakan tak
habisnya melintasi trotoar—sesuatu yang jelas bukan hak mereka. Ya, hak! Mereka
tak pernah kenal hak orang lain. Yang mereka kenal dan tuntut hanya hak pribadi
(dan keluarganya). Dan pak polisi tak pernah menilang mereka. Tapi, aku segera
insaf: ini Indonesia, bung! Negeri yang televisi terlalu banyak menayangkan
kuis berhadiah, sinetron, dan lawakan.
Berangsur-angsur,
kemacetan berkurang. Aku pun bisa berjalan di trotoar kembali walau kadang
harus berjalan di bahu jalan sebentar karena ruas trotoar dipergunakan gerobak
tukang sate dan nasi goreng. Kembali aku ke trotoar dan memasuki lorong para
pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan di kanan-kiri trotoar. Pedagang
sepatu dan sandal, buku dan majalah bekas, asongan rokok, mie rebus dan kopi
tubruk, hingga penyervis jam tangan. Kembali hakku sebagai pejalan kaki
direnggut oleh para pedagang kecil yang mengais rezeki di tempat itu setiap
hari.
Pedagang, itulah
mereka. Dan pedagang adalah santapan maknyos petugas perpajakan. Dari para
petugas perpajakan yang nakal, mereka memperoleh izin berjualan di trotoar. Dan
pedagang-pedagang itu, sama seperti petugas pajak dan pengendara motor yang
meluncur di atas trotoar tadi, tak kenal hak orang lain kecuali keuntungan
sendiri. Merasa lelah seharian melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan, keluarga,
dan kantor (bagi pekerja kantoran), maka mereka melampiaskan waktu yang tersisa
dengan memanjakan diri. Semacam balas dendam tanpa sadar. Ego tak kenal empati.
Aku ingat film
Jepang itu. Pejalan kaki begitu bebas melenggang di trotoar di musim panas itu.
Para pengendara sepeda berkelompok memenuhi jalan, pulang sehabis lelah bekerja.
Jumlahnya hampir sama dengan jumlah pengendara mobil, dan lebih banyak dari
pengendara motor. Tanpa perlu dibisingkan hiruk-pikuk klakson serta asap
knalpot, tanpa terhalang tenda dan kios pedagang kaki lima.
Ya, negara ini berbanding terbalik dengan Jepang,
negara yang membatasi penjualan kendaraan yang mereka produksi sendiri dan
menjualnya ke negara-negara Asia lainnya, termasuk ke negaraku—yang rakyat, aparat,
dan pejabatnya hanya eling akan hak pribadi dan sungguh konsumtif terhadap
barang-barang baru. Negara yang warganya wajib mencantumkan identitas agama
pada KTP namun nalurinya masih berburu dan meramu makanan.
Ojel Sansan Yusandi
2014-02-08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar