Laman

Sabtu, 07 September 2019


Pejalan Kaki

Aku melihat, trotoar ber-paving blok di kedua sisi jalan itu cukup lebar. Jika keduanya disatukan, lebarnya hampir selebar jalan beraspal yang diapitnya. Para pejalan kaki melangkah kaki begitu leluasa dan tanpa hambatan. Mereka menikmati hak mereka di tempat yang seharusnya. Sama seperti pengendara mobil, motor, dan sepeda menjalankan kendaraan mereka di jalan yang mulus tak berkubang dan berlubang itu. Aku terkesima dan aku sadar saat itu aku sedang menonton sebuah film produk Jepang.


Ketertiban barang langka bagiku, bagi warga yang mendiami sebuah kota besar di Indonesia. Di kota ini, di tanah kelahiranku, trotoar bukan tempat pedestarian merasakan kenyamanan berjalan kaki. Jarang sekali ada trotoar yang lebar. Kebanyakan sempit dan tak tertata rapi. Di beberapa titik bolong dan penuh sampah. Bungkus rokok berikut puntungnya, bekas kemasan cemilan, bersatu dengan dedaunan yang berguguran dan busuk, memenuhinya. Dan aku harus menepi jika berpapasan dengan kios dan kedai pecel lele.



Di ruas yang lain, aku kembali harus bersabar. Di sisiku, mobil dan motor bergerak perlahan. Kadang berhenti setengah menit untuk kembali merangkaki jalan. Lalu lintas macet. Jalan raya sesak. Sementara pak polisi hanya segelintir—tak sebanyak saat melakukan operasi tilang. Klakson bersahut-sahutan, menjelaskan bahwa para sopir itu beranggapan jalan hanya dan cuma milik mereka. Sebagian besar kendaraan menyalakan lampu. Hari sudah menjelang magrib dan orang-orang ingin segera sampai di rumah, memeluk anak dan menciumi kening istri. Motorku masih di bengkel.

Baru jalan beberapa langkah, aku melihat sejumlah pengendara motor menaikkan motor mereka ke atas trotoar, ke arahku. Terpaksa aku menepi samping selokan dan hentikan langkah. Aku perhatikan: hampir semua motor otomatik, keluaran Jepang; sebagian badannya sudah dipreteli  dengan helm penuh stiker khas anak muda. Juga aku perhatikan para pengendara itu. Sebagian umurnya di atas kepala empat dan mereka tak mau kalah dengan pengendara anak muda: tak punya kesabaran yang cukup untuk tetap konsisten di atas jalan raya. Mereka tak siap dengan konsekuensi berkendara di kota besar yang setiap hari dipempeti kemacetan. Secara mental, mereka seharusnya tak diberi izin memiliki kendaraan dan berkendara. Sama seperti anak SMP yang menyetir motor metik cukup kebut di jalanan kompleks.

Aku terpaksa berjalan meniti tepi selokan dengan hati-hati. Para pengendara motor seakan tak habisnya melintasi trotoar—sesuatu yang jelas bukan hak mereka. Ya, hak! Mereka tak pernah kenal hak orang lain. Yang mereka kenal dan tuntut hanya hak pribadi (dan keluarganya). Dan pak polisi tak pernah menilang mereka. Tapi, aku segera insaf: ini Indonesia, bung! Negeri yang televisi terlalu banyak menayangkan kuis berhadiah, sinetron, dan lawakan.

Berangsur-angsur, kemacetan berkurang. Aku pun bisa berjalan di trotoar kembali walau kadang harus berjalan di bahu jalan sebentar karena ruas trotoar dipergunakan gerobak tukang sate dan nasi goreng. Kembali aku ke trotoar dan memasuki lorong para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan di kanan-kiri trotoar. Pedagang sepatu dan sandal, buku dan majalah bekas, asongan rokok, mie rebus dan kopi tubruk, hingga penyervis jam tangan. Kembali hakku sebagai pejalan kaki direnggut oleh para pedagang kecil yang mengais rezeki di tempat itu setiap hari.

Pedagang, itulah mereka. Dan pedagang adalah santapan maknyos petugas perpajakan. Dari para petugas perpajakan yang nakal, mereka memperoleh izin berjualan di trotoar. Dan pedagang-pedagang itu, sama seperti petugas pajak dan pengendara motor yang meluncur di atas trotoar tadi, tak kenal hak orang lain kecuali keuntungan sendiri. Merasa lelah seharian melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan, keluarga, dan kantor (bagi pekerja kantoran), maka mereka melampiaskan waktu yang tersisa dengan memanjakan diri. Semacam balas dendam tanpa sadar. Ego tak kenal empati.

Aku ingat film Jepang itu. Pejalan kaki begitu bebas melenggang di trotoar di musim panas itu. Para pengendara sepeda berkelompok memenuhi jalan, pulang sehabis lelah bekerja. Jumlahnya hampir sama dengan jumlah pengendara mobil, dan lebih banyak dari pengendara motor. Tanpa perlu dibisingkan hiruk-pikuk klakson serta asap knalpot, tanpa terhalang tenda dan kios pedagang kaki lima.

Ya, negara ini berbanding terbalik dengan Jepang, negara yang membatasi penjualan kendaraan yang mereka produksi sendiri dan menjualnya ke negara-negara Asia lainnya, termasuk ke negaraku—yang rakyat, aparat, dan pejabatnya hanya eling akan hak pribadi dan sungguh konsumtif terhadap barang-barang baru. Negara yang warganya wajib mencantumkan identitas agama pada KTP namun nalurinya masih berburu dan meramu makanan.

Ojel Sansan Yusandi
2014-02-08

 ====
sumber foto: Psikologi BINUS 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar