Laman

Minggu, 05 Februari 2017

Serangan Fajar "Orang-orang Hitam", Persahabatan Palsu, 
dan Wanita Cantik dari Portugis 


Badai sering datang tak terduga dan tak pandang bulu. Tiupan puting beliungnya menghantam kapal siapa saja, tak peduli itu bahtera dari seberang yang tengah menuju tujuan yang sama sekali berbeda. Itulah yang terjadi pada sebuah kapal Portugis yang berlayar menuju Goa di India tapi di tengah perjalanan terdampar di dekat pantai barat Sumatra tahun 1561.


Tragedi ini berawal setelah nao (kapal besar) Portugis yang bernama Sao Paulo bertolak dari Tanjung Harapan (Afrika Selatan) menuju tujuan yakni Goa (India). Karena cuaca buruk dan amukan badai si kapal terdampar di pantai barat Sumatra dekat muara Sungai Minangkabau (kemungkinan dekat Tiku) tanggal 21 Januari 1561. Setelah berhasil sampai darat, penumpang dan awak kapal yang berjumlah ratusan ini mencoba membuat kapal-kapal kecil dari rongsokan kapal mereka untuk melanjutkan pelayaran ke Banten. 

Henrique Dias, apoteker yang ikut rombongan dan hendak ditugaskan di Rumah Sakit Misericordia di Goa, menuliskan pengalamannya. Dibantu pribumi setempat, yang ia sebut “orang Hitam”, mereka dibawa ke hulu sungai untuk dipertemukan dengan penguasa setempat yang disebut putra Raja Kampar. Pribumi mengatakan bahwa warga pribumi adalah teman baik orang Portugis di Malaka dan menjalin hubungan dengan mereka. Selama tinggal di hulu sungai, tak jauh dari kediaman raja, banyak pribumi yang barter ayam, beras, dll, dengan barang bawaan mereka. 

Setelah tiga bulan, pada 12 April 1561, mereka didatangi syahbandar yang membawa kabar bahwa raja akan datang menemui mereka. Keesokan harinya, hari Minggu, pukul dua siang, barulah raja setempat, yang mangaku anak Raja Kampar, menemui sang kapten kapal Portugis, diiiringi pembawa tambur (gendang?), sangkakala (nafiri?), terompet (seruling atau serunai?), dan lonceng. Dengan membawa 80 sampan berisi prajurit lengkap dengan keris, perisai, dan lembing mereka, sang raja disambut dengan tembakan meriam penghormatan. Kemudian, wakil kerajaan Portugis, Antonio Soares, mendarat dan menuju bandar memberikan barang beharga, seperti kain merah-tua sepanjang 4 hasta, empat kain beludru merah tua, berlembar-lembar kain satin bewarna sama, selembar beludru hijau, beberapa cawan kristal, sebuah cermin yang sangat mahal, teruntuk raja setempat. Setelah itu, barulah raja berkenan menemui kapten Portugis. 

Setelah mendengar peristiwa tragis yang dialami orang-orang Portugis tersebut, sang raja menyatakan siap membantu mereka dalam keadaan apa pun. Raja pun ingin membeli meriam yang ada pada mereka, atau menukarkannya dengan beberapa kapal besar miliknya, namun ditolak dengan halus oleh kapten yang berkata bahwa artileri tersebut milik raja Portugis yang hendak dikirim ke raja muda di India yang nantinya akan membawanya kepada raja Portugis sendiri. Walau agak kecewa mendengarnya, anak Raja Kampar mengatakan bahwa bendahara kerajaan akan mengatur semua keperluan orang-orang Portugis tersebut. Barter pun terjadi kembali antara orang Portugis ini dengan pribumi. Kenyamanan tersebut membuat orang-orang Portugis ini merasa “berada di Lisbon”, karenanya mereka memilih tidur di darat sehingga tak seorang pun tidur di kapal. Sebagian mereka pun mulai bersahabat dengan orang-orang pribumi, sementara itu makin banyak pribumi berdatangan dan barter dengan mereka.

Empat hari kemudian, 17 April, saat fajar menyingsing dan hujan begitu deras, peristiwa mengejutkan datang begitu tica-tiba dan cepat. Saat itu, orang-orang Portugis yang masih tertidur di darat diserang secara tiba-tiba oleh 2.000 warga setempat. Henrique Dias sang apoteker mencatat bahwa ada 50 orang Portugis langsung tewas di tempat, sementara yang terluka buru-buru ke kapal, ada pun yang lain membentuk barisan dan mencoba bertahan. Setelah 30 orang Portugis terkumpul membentuk barisan dengan berbekal tombak dan pedang yang sebagian sudah patah, sekitar 500-an orang pribumi menyerang sambil memekik keras. Orang Portugis yang bertahan dari serangan fajar ini mempergunakan mantel dan rompi sebagai pengganti perisai guna mempertahankan diri dan berhasil membuat pribumi penyerang mundur ke pantai. 

Sang kapten beserta Portugis lainnya berhasil naik ke kapal dan kemudian membombardir pantai di mana musuh berada, sehingga orang Portugis yang masih berjibaku bisa naik ke kapal sambil mencegah musuh naik ke kapal. Dua puluh orang Portugis lainnya terbunuh (dengan begitu seluruhnya 50 orang), sisanya berhasil naik ke darat, meninggalkan Dona Francisca Sardinha, seorang wanita Portugis yang cantik yang sebelumnya tengah tertidur bersama suaminya. Suami Dona, yang tengah sakit pinggang, tewas setelah berusaha melindungi sang istri. Selain Dona (yang kemungkinan ditangkap dan jadi tawanan pribumi), dua orang lainnya tertangkap, yakni Antonio Rodrigues de Azevedo (saudara Dona) serta seorang gadis yang mereka bawa sebelumnya dari Brazil. 

Laporan Henrique Dias mengenai peristiwa ini lalu diterbitkan empat tahun setelahnya (1565) di Lisboa, dan pada 1735-36 diterbitkan melalui buku berjudul Historia Tragico Maritima. Sejarawan Portugis menilai bahwa penyerangan itu dikarenakan kecantikan Dona Francisca Sardinha yang membuat penguasa pribumi ingin memilikinya dengan cara apa pun.

Kita, yang hanya tahu tragedi ini melalui catatan Henrique, tentu bertanya: apa alasan utama orang-orang yang rajanya mengaku sebagai anak Raja Kampar itu menyerang orang-orang Portugis yang terdampar itu? Bukankah kedua pihak, setidaknya menurut kesaksian apoteker Portugis itu, hidup damai, malah saling barter barang-barang kebutuhan hidup? Bahkan jelas-jelas anak Raja Kampar itu menyatakan dirinya bersahabat dengan orang Portugis di Malaka kendati berbeda agama. Penyerangan--atau lebih tepatnya pengeroyokan--itu terjadi bukan dalam konteks perang. Tapi jelas, serangan telah direncanakan oleh penduduk pribumi, walau mungkin tidak sejak awal kedatangan orang-orang Iberia-Katolik itu. Jika anak Raja Kampar itu yang menitahkan, kemungkinan besar ia ingin memiliki meriam yang ada di kapal Portugis itu yang sebelumnya ditolak dengan halus untuk dibeli atau ditukarkan dengan kapal-kapal miliknya. Yang sudah terang, orang-orang pirang yang naas itu ditentramkan oleh persahabatan palsu yang diberikan pribumi hingga serangan dadakan itu menyadarkan mereka bahwa semua layanan itu sandiwara belaka. 

Tapi, jika benar dugaan sejumlah sejarawan Eropa bahwa kehadiran Dona Francisca-lah yang menjadi alasannya, maka bolehlah kita cuma geleng-geleng kepala seraya bergumam pilu: kasihan. Hasrat seksual, seperti terjangan badai yang tak peduli kerasnya batu karang, memang tak pernah pandang bulu. Juga kepengecutan menghabisi nyawa sekelompok tamu asing yang terdampar, orang-orang yang berbeda warna kulit, budaya, dan agama, yang baru sadar mereka terancam saat mentari baru bangun dengan malasnya karena hujan pagi yang memanjakan mimpi sementara ceceran darah kawan-kawan mereka telah membasahi tanah yang basah.



Ojel, 
4 Februari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar