Tawuran
Halow, sobat, kenalin, saya adalah ruh dari seorang warga Batavia yang hidup di pertengahan abad ke-17. Selagi hidup, ane dipanggil Bang Amin. Asli dari Kampung Jawa, di luar tembok Batavia, kota metropolitan di zamannya. Ada tiga kampung yang ditempati oleh orang Jawa saat itu. Sebagian besar tinggal di sekitar Benteng Jaccatra di hulu Kali Krukut. Sisanya di luar gerbang Utrecht barat Kota, dan di luar gerbang Diest selatan Kota di mana saya sendiri tinggal. Saya hidup di saat Kompeni Belanda alias VOC tengah bersitegang dengan Banten dan Makassar—dua kerajaan Islam pesisir nan tangguh; satu di barat Pulau Jawa, satu di selatan Sulawesi, yang masing-masing merupakan kerajaan yang giat berniaga secara internasional. Juga di sebuah masa di mana perbudakan adalah hal lazim dan manusiawi.
Sejak usia 10 tahun saya mulai akrab dengan orang Kampung Ambon yang terletak di timur luar tembok Kota Batavia. Di kampung itu tinggal orang Ambon, baik yang Muslim maupun Nasrani. Awalnya, sebagai Muslim, saya lebih akrab dengan orang Ambon yang sama Muslim. Tapi kemudian saya pun akrab dengan beberapa orang Ambon yang Nasrani. Di sebelah Kampung Ambon itu terdapat pemukiman orang Cina, termasuk kompleks pemakaman mereka. Selain makam orang Belanda dan Eropa, makam orang Tionghoalah yang bisa dikatakan mewah. Banyak kuburan mereka terbuat dari marmer yang, bagi kami warga kampung-kampung lain, cukup mahal.
Suatu hari di tahun 1661 M, di bawah benderang bulan, saya dan kawan-kawan Ambon-Nasrani nekat membobol pemakaman Cina di Jalan Jaccatra! Ada 3 kuburan Cina yang kami bobol. Inilah pembobolan yang ke-5 kalinya orang Ambon-Nasrani itu terhadap kuburan Cina. Kata seorang kawan yang ikut dalam misi itu, dalam 7 tahun mereka telah membongkar kurang lebih 300 makam Cina untuk diambil batu, papan, serta petinya, yang kemudian digunakan untuk bahan bangunan rumah mereka. Menegangkan tapi sekaligus bikin ketagihan!
Esoknya, kembali warga Pecinan itu heboh. Kapiten Cina lalu melapor Kapiten Ambon. Solusinya, warga Cina lalu menggali parit-parit di sekeliling kuburan yang dijebol itu. Walau begitu, tetap saja penggalian terhadap kuburan leluhur mereka berjalan. Dan itu masih dilakukan oleh orang-orang yang sama. Saya sendiri tak ikutan lagi. Kenapa? Karena ternyata antara Ambon-Nasrani dan Ambon-Muslim itu ribut melulu, yang berujung tawuran antar sesama mereka. Karena tawuran bernuansa agama itu, pemerintah Kota Batavia jadi pusing dibuatnya. Solusinya: pemerintah Batavia di tahun 1671 memisahkan orang Ambon Nasrani dari Ambon Muslim ke kampung lain yang terletak di barat Kota, utara Parit Ammanus. Kelompok Ambon lain dimukimkan di utara kawasan Meester Cornelis (Senen). Kampung di Meester inilah yang di akhir abad ke-17 mulai disebut Kampung Ambon.
Dan ternyata, tawuran antar-Ambon itu bukan cuma terjadi di Batavia. Sebelumnya pun, saat mereka masih di Ambon kampung halaman sendiri, antarmereka sudah sering bertengkar lalu tawuran. Katanya juga akibat perbedaaan agama. Tapi, kata Kapiten Ambon yang saya ajak ngobrol, mereka konon suka tawuran sejak belum memeluk Nasrani dan Islam. Jauh sebelum kedatangan orang Melayu dan Timur Tengah yang bawa Islam lalu Portugis yang bawa Katolik di sana, leluhur mereka yang saat itu masih beragama “pagan” sudah terbiasa perang. Yang jadi rebutan apa? Tentu wilayah berburu, jawab Sang Kapiten itu pada ane. Atau, berasal dari masalah sepele yang personal, yang kemudian berkembang jadi masalah khalayak. Tombak dan parang pun berseliweran memburu calon korban.
Hmm … dan ternyata, itu pula yang terjadi antara orang Makassar dengan orang Bone semasa ane hidup. Kedua kerajaan yang sama-sama Islam itu berperang karena awalnya Arung Palakka sakit hati melihat sanak saudaranya yang jadi tawanan di istana Makassar dijadikan budak. Setelah kabur, pangeran Bone itu menghimpun kekuatan tuk gempur Sultan Hasanuddin dengan bantuan VOC. Setelah Makassar kalah, VOC pun membawa Arung Palakka and the gank serta rakyat Bugis-Bone ke Batavia. Kapal bernama Tertholen itu tiba di Batavia pada 25 Oktober 1678. Baru bulan pertama tinggal di kota kolonial ini, Arung Palakka mendapatkan 1.000 ringgit dan sejumlah pikul padi. Untuk mencegah kecemburuan, maka kepala kampung Makassar, Karaeng Bisse, yang telah lebih dulu menetap di Batavia juga diberi 400 ringgit oleh pemerintah Batavia untuk keperluan warganya. Selanjutnya, orang-orang Bugis dan Makassar itu direkrut VOC dalam rangka melawan pasukan Trunajaya dan Banten. Arung Palakka yang sadar akan kebutuhan VOC terhadap orang-orang Bugis malah tak sungkan-sungkan minta lagi 12.000 ringgit untuk rakyatnya. Untuk mencegah pemberontakan orang-orang Bugis itu, terpaksa VOC mengabulkannya. Ia pun mendapat permukiman baru di timur Benteng Angke di utara Parit Bacharus. Tapi mohon dicatat: lahan tersebut dipinjamkan, bukan pemberian gratis VOC sebagai hak milik Palakka. Dengan lahan itu diharapkan orang-orang Bugis itu menyediakan kebutuhan mereka sendiri. Perlu dicamkan pula, Makassarlah yang seabad sebelumnya melancarkan peperangan terhadap orang-orang Bugis, termasuk orang Bone, dalam rangka Islamisasi. Tapi konon, pertikaian politik-sosial di antara mereka sudah lazim terjadi sejak mereka belum mengenal Islam.
Ya, tawuran dan perang, sobat. Keduanya merupakan kekerasan. Jika peperangan merupakan perintah negara, maka tawuran merupakan kerusuhan sosial yang kadang aksidental. Tapi kekerasan tetap kekerasan. Dan kekerasan itu dilakukan pula oleh Banten yang menyerang Lampung yang rakyatnya lebih suka menjual lada kepada pedagang asing ketimbang diserahkan kepada Banten sebagai pajak. Juga pada Mataram versus Trunujoyo keturunan Madura itu. Juga pada VOC. Juga pada Aceh yang menyerang Batak dan Nias. Juga antara suku-suku Batak sendiri. Pun terjadi di selat-selat Nusantara yang dipenuhi sarang perompak kelas teri hingga kelas kakap. “Dan kerajaan-kerajaan kafir di Jawa dulu pun gemar berperang,” ucap kiai guru ngaji ane suatu hari di masjid yang terletak di Jl. Jaccatra itu.
Dan di atas medan kekerasan bernama perang itu pula saya tewas di depan istana Tirtayasa tanggal 28 Desember 1682 karena ikut membela Kompeni jungjungan saya dalam menghantam kekuatan Sultan Ageng Tirtayasa. Sepucuk lembing menembus leherku saat mataku menghadap istana Tirtayasa yang dibakar sebagai siasat musuh agar bisa melarikan diri ke selatan. Dan saya pun makfum jika saya bukan pahlawan bagi orang Republik masa kini. Saya mati membela kepentingan Kompeni—walau akidah saya tetap Islam tentu—sederajat dengan orang Tanahara, Pontang, dan wong Banten lainnya yang membela sultan sepuh mereka hingga berkalang tanah.
Tapi ruh saya tetap abadi, sobat, terus menyaksikan tingkah polah bangsa ini di masa-masa kemudian. Hingga saya berpikir ulang: apakah perbedaan agama itu yang jadi penyebab kekerasan sosial atau memang bangsa kita ini cuma menjadikan agama sebagai media untuk menghalalkan kekerasan? Buktinya, walau sama keyakinan, malah satu leluhur, mereka tetap saja adu senjata. Kutukankah? Anehnya lagi, walau sudah di bawah satu atap rumah Indonesia Raya tetap saja bangsa ini selalu berebut lahan, berebut pengaruh, dengan amuk, demi sekeping harga diri atau sebongkah kedigjayaan. Tapi harga macam apa? Demi sepetak tanah subur nan menjanjikan di surga? Demi kedigjayaan kelompok atau sejarah nan gemilang umatnyakah? Atau demi memuaskan fantasi sendiri? Ah, jangan-jangan demi lambung yang selalu lapar, atau wujud pelampiasan atas kenyataan hidup yang tak seindah dongeng-dongeng tingkat kahyangan? Perut masih keroncongan sementara panen lagi-lagi gagal akibat hama tikus dan celengan sudah lama dihancurkan.
Setelah berbincang dengan beberapa ruh teman yang saya jumpai tak sengaja di alam niskala alias gaib, saya pun coba merunut dengan lapang dada, dan dugaan saya jadi mengkristal: bangsa ini adalah bangsa pendongeng, karenanya selalu patuh pada si empunya dongeng. Ya, ya. Bukankah dulu pustaka-pustaka beraksara Jawa, Sunda, Bali, Batak, Bugis, Makassar, dll hanya dimiliki kaum elit, yakni agamawan dan bangsawan. Teks-teks tersebut lalu dituturkan oleh resi atau pandita kepada murid-muridnya—itu pun bukan sembarang siswa. Sementara kaum jelata yang di luar lingkaran keraton dan lingkup mandala atau kedewaguruan (perguruan zaman Hindu-Buddha) cuma memperoleh ilmu-pengetahuan tersebut secara lisan, itu pun sepenggal-sepenggal. Memang ada pustaka yang ditujukan untuk umum. Tapi tetap saja yang pegang kitab itu pandita, bujangga, dan brahmana sebagai pegangan mereka dalam mendidik rakyat jelata secara lisan untuk begini dan tak boleh begitu. Kisah-kisah yang dianggap suci itu pun didistribusikan melalui pendongeng lain seperti dalang, tukang pantun, tetua desa, dan orangtua. Rakyat hanya jadi pendengar pasif. Komunikasi pun satu arah. Dengan begitu, lahirlah penghormatan takzim kepada sang pendongeng karena melalui mulut merekalah selimut tabir rahasia semesta terkuak tanpa harus dikritisi apalagi digugat. Cuma Semar yang bisa gugat Batara Guru—yang lain dengar dan inggih saja.
Dan komunikasi satu arah itu berlanjut saat penduduk sini mulai memeluk Islam dan Nasrani. Walau di langgar dan pesantren murid diajarkan huruf Hijaiyah berikut huruf Pegon atau Jawi alias Arab-gundul, tapi pengetahuan tentang sintaksis dan semantik bahasa Arab tak diberikan. Jadinya, banyak yang pintar mengaji tapi tak paham artinya. Malah yang terjadi pencampuradukan nilai-nilai Islam dengan unsur-unsur kepercayaan sebelumnya. Lahirlah kisah pedang Baginda Ali, Iskandar Dzulkarnain, Nabi Sis, hingga Nabi Khaidir dalam khazanah susastra Jawa, Sunda, Melayu, versi tulis atau lisan. Di masjid dan pesantren yang terjadi adalah kecenderungan dakwah dan ceramah. Jadilah si murid taklid pada sang guru, sang ulama, atau syeikh anu. Maka, para pendengar pun jadi makhluk normatif sepanjang hayatnya. Apa yang didiktekan sang imam itulah hukum yang patut diamini. Sementara, di belahan Eropa sana, orang-orang Barat telah bangkit dari Era Kegelapan, dari ketaklikan terhadap pasteur dan pendeta, karena sains dan teknologi telah mereka eja lebih utuh hingga akhirnya bikin koloni di Asia, Afrika, dan Amerika.
Lalu, lihatlah setelah bangsa ini mulai melek huruf Latin, sobat budiman. Belum ajeg budaya baca-tulis, mereka telah dininabobokan oleh kehadiran radio dan TV. Kembalilah mereka jadi masyarakat pendongeng. Bila ada pun yang tertarik pada buku, mereka tetap beli buku yang berisi ceramah dan rangkuman motivasi hidup agar bahagia di dunia dan terutama di akhirat. Dengan diceramahi, hati mereka lebih ayem, kalbu yang rusuh pun jadi teduh. Dan dengan diceramahi pula sumbu emosi mereka gampang disulut oleh api kebencian atas nama Taman Firdaus. Bila “perjuangan” mereka gagal atau keliru, dengan gampang mereka bilang “ambil saja hikmahnya”. Sesimpel itu, bukan?
Benar, sobat, saat bangsa ini dihadapkan pada musuh bersama, ikatan kerjasama itu barulah muncul, dengan bambu runcing di tangan, seperti saat Revolusi Fisik dalam menghalau Sekutu dan Belanda kembali. Tapi seberes itu, begitu tutur ruh kawan bicaraku itu, kembali bangsa ini gontok-gontokan—malah saling sikut itu sudah berlangsung semasa Revolusi masih berjalan, antara sayap kiri versus sayap kanan, antara kubu Republiken lawan kubu Kartosuwiryo. Saat common enemy telah hengkang, kembali spirit primordial bangsa ini menyeringai, saling baku hantam dengan kawan beda haluan ideologis, apalagi dengan lawan bersebarangan kiblat. Sudah jadi watak bangsa kita rupanya memancing pergunjingan, yang lantas dengan latah menyebar ke segala penjuru angin. Api huru-hara berkobar kembali merontokkan pilar-pilai kemanusiaan yang belum benar-benar berdiri ajeg.
Ya, sobat yang budiman, sepanjang sejarahnya bangsa ini tak pernah diajari berdiskusi. Maunya cuma berdebat. Banyak yang sangat getol jadi pesilat lidah nan ulung, tapi sangat sedikit yang mau jadi pendengar yang rendah hati; kalau pun ada ya jadi pendengar yang mengidolakan singa podium atau sang bintang tamu di majelis. Bangsa yang sangat majemuk ini gagal-paham dalam menafsirkan masa lalunya sendiri. Yang selalu memegang kendali berpikir bangsa ini kan masih itu-itu saja: penguasa teks-teks langitan. Baru secuil saja dari bangsa ini yang betul-betul merdeka jadi pribadi yang mandiri yang mampu melihat segala persoalan dalam beragam sudut pandang. Pada bunga-bunga yang bermekaran warna merah, kuning, putih, dan biru, mayoritas dari kita hanya kagum pada bunga bewarna putih saja. Dunia ini telah dipersempit oleh kacamata kita sendiri. Akibatnya: sejarah negeri ini hanyalah sejarah kekerasan yang tak pernah usai, seolah tak berpangkal tak berujung. Siklus yang menyedihkan. Pusaran yang menyakitkan!
Ojel
11-12 Des 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar