Laman

Rabu, 01 Februari 2017

prajurit batak tempo dulu abad ke-19
Prajurit Batak abad ke-19. Beginilah mungkin sosok prajurit Batak
saat berperang dengan Aceh di abad ke-16

“Cinta Segitiga” antara Aceh, Portugis, dan Batak


Semua dapat dijadikan alasan untuk mengarahkan ujung tombak pada siapa pun yang dianggap tak sepaham. Tak peduli yang dituding itu tetangga sebelah. Dan alasan itu? Bisa kepentingan ekonomi, politik, atau agama. Atau ketiganya sekaligus. Maka, pekik dan gendering perang adalah jalan keluar yang paling sah untuk memancakkan kekuasaan yang seringnya angkuh dan egoistik. Dan perang semacam itulah yang lima abad lampau disaksikan oleh seorang Portugis bernama Fernao Mendez Pinto, negara yang telah punya koloni di Malaka dan juga ikut dalam kancah perseteruan itu—walau tak langsung.


Ketika itu lembar kalender menunjukkan tahun 1539, saat utusan Raja Batak (Deli) datang ke Malaka menemui Kapten Pero de Faria. Mendez Pinto, yang juga hadir, menulis bahwa utusan Batak itu menyerahkan surat lontar (beraksara Batak?) dari Raja Batak pada pimpinan Portugis di Malaka, yang menjelaskan latar belakang ketegangan Batak dengam Aceh serta meminta bantuan Portugis yang juga berseteru dengan Aceh. Apa perkara?

Si utusan Batak berkata bahwa sebelumnya Raja Aceh (Salahuddin atau Aladin Riayat Syah al-Hahhar?) meminta Raja Batak memeluk Islam dan menceraikan istrinya yang telah dinikahinya 26 tahun dan juga beragama leluhur, dan bila bersedia Raja Batak tersebut akan dinikahkan dengan saudara perempuan Raja Aceh. Karena Raja Batak menolak, Aceh pun memeranginya. Peperangan pun meletus, berlangsung selama tiga jam tanpa henti hingga pasukan Aceh berhasil dipukul dan mundur ke pegunungan. 

Kemudian, selama 23 hari perkemahan Aceh dikepung oleh hulubalang Batak. Karena perkemahan Aceh terserang wabah penyakit sementara pasukan Batak mulai kekurangan bahan makan, perdamaian disepakati di mana Aceh harus mengganti kerugian perang sebesar 5 bahar emas (emas sebahar = 10 kati = 7,5 kg, setara dengan 200.000 cruzado). Di samping itu Raja Batak menyerahkan putra sulungnya untuk dinikahkan dengan saudara perempuan Raja Aceh. Namun dua setengah bulan kemudian, Aceh kembali menyerang Batak yang sedang lengah karena sebelumnya Aceh menyebarkan desas-desus hendak menyerang Pasai untuk mengelabui orang Batak agar tetap santai dan menjaga perbatasannya secara tak ketat. 

Dalam penyerangan terhadap dua desa di Batak itu, Aceh dibantu oleh 300 prajurit Rum (Turki) yang sengaja didatangkan dari sana, berikut bedil lontak serta meriam besi dan perunggu. Tiga putra Raja Batak serta 700 hulubalang Batak tewas dalam medan pertempuran. Raja Batak, yang sakit hati, berpantang makan buah, garam, dan makanan lezat lainnya sampai bisa membalas dendam kepada Aceh. 

Setelah melapor dan tinggal 17 hari di Malaka, utusan Batak tersebut pulang dengan membawa hadiah dari Portugis berupa 100 mesiu, amunisi, dan bom api. 

Setahun kemudian, 1540, dengan 15.000 prajurit (8.000 warga Batak, sisanya orang Minang, Luzon, Indragiri, Jambi, dan Borneo yang didatangkan oleh bangsawan-bangsawan mereka untuk membantu Batak), Raja Batak menuju Aceh dari Turbao (Toba?) untuk balas dendam. Dalam ekspedisi ini ikut Mendez Pinto yang sebelumnya telah datang ke Panuju, ibukota Batak.
(Mendez Pinto adalah anak Tome Pires, sekertaris Kapten Portugis di Malaka sebelumnya. Menurutnya, sang ayah meninggal di Hsien Pe Chou [Kiangsu], Cina, setelah sebelumnya dibuang ke pedalamam Cina lalu menikah dan memiliki seorang putri). Di samping itu, Raja Batak pun membawa 40 gajah serta 12 wagon yang mengangkut meriam falcon dan rentaka, termasuk di antaranya dua pucuk meriam camel dan satu setengah lingkaran perunggu yang dicap dengan lambang negara Prancis yang diambil dari kapal nao (kapal besar) Prancis yang datang ke Batak tahun 1526. 

Di sebuah kaki gunung yang berbatasan dengan sawah, setelah melepaskan meriam, panah, dan granat, tulis Mendez Pinto, pertempuran antara “empat batalion” pasukan Batak melawan “dua batalion” Aceh pun meletus selama satu jam lebih sedikit. Karena terdesak, pasukan Aceh mundur ke bukit kecil di selatan sejarak tembakan meriam, namun dicegat oleh adik Raja Indragiri yang membawa 2.000 prajurit sehingga kembali pertempuran meletus. Aceh, yang dibantu pasukan dari Turki, Malabar, dan Abesina, dan belum sempat mencapai parit pertahanan mereka harus kehilangan 15.000 tentara, termasuk 120 orang Turki dan 200 orang Malabar serta beberapa orang Abesina yang termasuk pasukan elit Aceh. Setelah itu, pasukan Batak mengepung pertahanan Aceh selama 23 hari, di mana selama dua kali Aceh melancarkan serangan dadakan yang salah satunya hanya meninggalkan 10-12 korban dari kedua pihak. Beberapa hari (atau bulan?), pasukan Batak mengepung benteng kota (Aceh?), dan saat hendak memasuki benteng musuh tiba-tiba ranjau meledak, menewaskan lebih 300 orang Batak. Setelah itu, bersama 5.000 prajuritnya Raja Aceh menyerang pasukan Batak yang tersisa hingga kurang-lebih 15 menit, meninggalkan korban 4.000 orang di kedua pihak. Raja Batak dan pasukan tersisa mengungsi ke sebuah bukit. 

Empat hari kemudian, di suatu pagi, di sebuah sungai muncul armada yang terdiri atas 68 kapal layar yang, menurut empat orang nelayan yang tertangkap oleh orang Batak di malam harinya, merupakan armada Aceh yang dua bulan sebelumnya dikirim Raja Aceh ke Tenasserim dalam perang melawan Sornao (Syahrnawi, sebutan orang Parsi bagi Ayutthaya, ibukota Siam). Seluruh awak kapal armada itu adaah 5.000 lelaki dari Luzon dan Borneo atas perintah orang Turki bernama Hamed Khan, keponakan seorang pasha Mesir. Mengetahui hal itu, Raja Batak dan pasukannya pulang. Setelah di Panuju, Raja Batak menyuruh Mendez Pinto serta seorang pedaganng Moor (Muslim) yang jadi pendamping Pinto untuk pulang ke Malaka karena bantuan armada Portugis yang dijanjikan tak juga datang. 

Mendez Pinto, yang selama jadi saksi peperangan itu begitu gentar melihat keberanian laskar Batak saat berperang, pun pulang dengan membawa informasi untuk atasannya di Malaka tentang kekalahan Batak oleh Aceh. Sementara itu, Aceh terus berkembang dan makin luas kekuasaan ekonomi-politiknya di saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda di awal abad ke-17. Batak sendiri? Masih terus memeluk agama nenek moyang hingga Perang Padri pecah di abad ke-19, yang membuat penduduknya sebagian memeluk Islam dan sisanya menjadi penganut Nasrani atas usaha misionaris Eropa, terutama Jerman dan Belanda.

Perang, ibu pertiwi, dan perebutan kesucian. Itulah yang mewarnai riwayat tanah kita ini, tuan-puan.


Ojel
1 February 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar