Laman

Sabtu, 07 September 2019

Bangsa yang Naluriah: Animal Instinc


Di planet Bumi ini, salah satu yang saya paling musuhi adalah kefanatikan. Mau itu kefanatikan terhadap klub sepak bola, agama atau mazhab tertentu, ideologi tertentu, genre musik atau band tertentu, termasuk kepada (suku) bangsa sendiri. Kefanatikan kerap membuat garis batas yang tegas dan angkuh terhadap “yang lain”, “yang tak satu kelompok”, “yang berbeda”. Ia akan berubah jadi keberingasan lunatik jika “yang lain” itu dianggap melintasi garis batas suci tersebut. Kefanatikan adalah keegoisan akut, yang relatif tak gampang disembuhkan.





Bangsa ini, sadar atau tidak, ternyata masih bekerja secara naluriah. Elusif. Meledak-ledak. Tak terencana. Naluri untuk membenci “yang berbeda”, naluri untuk waspada dan curiga berlebihan terhadap “yang asing”, “yang tak seiman”, dan, bila diperlukan, naluri untuk menghancurkannya juga, bahkan membunuhnya—beramai-ramai pula. Seperti peristiwa penyiksaan barbar terhadap seorang The Jak Mania oleh “segelintir” pendukung edan Persib kemarin, yang berakhir dengan pembunuhan terhadap lelaki malang itu. Animal instinc!

Saya yakin, para pelaku tak berniat sekali pun untuk membunuh orang sejak berangkat dari rumah menuju stadion. Tapi memori mereka (juga memori para bobotoh Persib lainnya) sudah menyimpan “rasa permusuhan abadi” terhadap suporter lawan, yakni The Jak Mania—permusuhun yang diwarisi dari bobotoh generasi sebelumnya. Juga, benak mereka sudah menaruh harapan agar jagoannya yang menang—apalagi di kandang sendiri (sepertinya, sebuah keaiban jika Maung Bandung kalah; kekalahan kelompok yang menyesakkan dada).

Tapi lihatlah: begitu melihat “musuh abadi” ada di depan mereka dan dianggap “menantang”, naluri hewanlah yang muncul: menghabisinya begitu brutal dan dilakukan keroyokan. Persis mengeroyok seekor macan di  ajang rampogan di alun-alun istana Mataram abad ke-17 di mana hanya ada satu pilihan: menghabisi nyawa sang raja rimba itu dengan tombak tombak runcing secara gotong royong atau mereka sendiri yang tewas. Dan jika kita sempat menonton video amatir hasil syutingan seorang penonton di TKP, rupanya orang-orang di sekitar (yang semuanya berbaju warna biru—kalau saya tak salah lihat) tak melerainya, malah seperti ikut “mendukung” pengeroyokan tersebutwalau tak ikut menyiksa si korban. Keangkuhan mayoritas yang sedang kalap. Hukum rimba.

Ada benarnya perkataan seorang kawan bahwa bangsa ini (masih) rasis. Di bawah alam sadar, bangsa ini belum bisa dipersatukan oleh NKRI—negara yang belum seabad usianya ini. Di dalam sejarahnya, bangsa ini memang tak pernah dipersatukan oleh kemaharajaan (kekaisaran) yang tunggal (Majapahit pernah berusaha untuk itu, tapi tak lama lalu gagal). Perang antarsuku (biasanya di kelompok sosial peramu-pemburu), perang antarkerajaan (biasanya di kelompok sosial yang agraris atau maritim), perang antaragama yang dimulai abad ke-16 (hingga sekarang), merupakan hal lazim sejak dulu. Karena itu, betapa relatif mudahnya kaum kolonial menjajah negeri ini, yang memang masing-masing wilayahnya tak pernah dipersatukan oleh kekuasan politik tunggal yang luas. Jelas tak bisa, karena kulturnya pun berbeda walau ada kemiripan di dalam beberapa hal. Bahasanya pun berbeda-beda; juga aksaranya (dan tak semua suku bangsa ini punya aksara sendiri, alias buta huruf, sebelum kemudian mengenal huruh Arab-Melayu lalu huruf Latin). Mereka cuma bisa dipersatukan bilamana diperhadapkan dengan musuh bersama—musuh ekonomi tentu. Karena itu, orang etnis A tetap bangga dan merasa superior akan identitas etnisnya terhadap etnis B; juga etnis B, C, D, terhadap etnis lain.

Dan menurut kawan saya itu, rasisme itu paling nyata mewujud di dalam pertandingan sepakbola. Ia berkata, sebetulnya bobotoh itu jika Persib bertanding tak hanya mendukung Persib agar memang melawan lawan tanding secara sportif, melainkan ada yang lebih primordial dari itu: memamerkan “ke-urang-Bandung-annya”, atau lebih jauh “kesundaannya”, bahwa “urang Sunda” bisa mengalahkan “wong Jowo” (jika lawan tandingnya Persibaya), atau merubuhkan “orang Jakarta-Betawi” (jika lawannya Persija). Dalam konteks ini, sepakbola menjadi ajang perebutan “hegemoni” sebuah etnis terhadap etnis lain, sadar atau tidak—tak peduli kedua kubu itu dalam hal keyakinan justru seiman. Persib bagi bobotoh, atau Persija bagi Jak Mania, tak cuma sekadar klub kesayangan, tapi sudah lebih akbar dari itu: Tuhan yang harus mereka bela mati-matian. Berhala baru! Ada pertarungan harga diri kelompok di hamparan lapangan hijau itu. Sumpah serapah, sentimen, cuitan gemas, gereget, dan harap-harap cemas penonton, diaduk-aduk oleh permainan kedua kubu. Kedua kubu masing-masing disatukan oleh ikatan emosional yang sama: lawan itu musuh, dan musuh harus kalah!

Dan inilah jadinya: fanatisme memicu kriminalitas. Lantas, tanggung jawab siapa kriminalitas yang disulut fanatisme tersebut? Cuma tanggung jawab aparat dan penegak hukum? Terus di mana tangggung jawab budayawan, sosiolog, agamawan, pengajar, psikolog, entrepreneur, dan elemen-elemen sosial lainnya? Pendidikan di sekolah dan di rumah di negeri ini masih cenderung menekankan perkara-perkara normatif, namun abai terhadap hal-hal yang reflektif. Kita dididik menjadi insan penghafal dan peniru, bukan insan pembaca dan pencipta—kecuali pencipta kerusuhan. Fanatisme adalah masalah kultural.

Turut belasungkawa terhadap keluarga korban. Semoga diberi ketabahan dan bersabar untuk tidak mendendam (walau memang berat sekali). Sementara, kepada para pelaku pembunuhan: damaikah hidup kalian kini setelah menghabisi nyawa “musuh abadi” kalian—secara pengecut pula? Bisakah hidup kalian, walau sudah keluar penjara nanti dan bertobat 100%, terbebas dari rasa bersalah yang bisa terus menghantui itu? Membelakah para pemain Persib dan bobotoh lainnya kepada kalian sekarang?

Ojel, 24 Sept 2018

===
sumber foto: Media Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar