Laman

Kamis, 23 Februari 2017

cisanti hulu citarum
Danau kuno Cisanti yang kini masih ada, hulu Citarum

CITARUM, SELAYANG PANDANG SEJARAH


Apakah Citarum sudah ada sejak Pulau Jawa tercipta beradab-abad sebelum Masehi? Saya belum tahu. Keberadaan sungai ini baru tertulis begitu Tanah Sunda atau Priangan memasuki abad sejarah; maksudnya, ketika nama sungai ini tertulis dalam aksara—bukan hanya terpendam dalam ingatan kolektif hasil penuturan lisan. 

Minggu, 12 Februari 2017

Tawuran


Halow, sobat, kenalin, saya adalah ruh dari seorang warga Batavia yang hidup di pertengahan abad ke-17. Selagi hidup, ane dipanggil Bang Amin. Asli dari Kampung Jawa, di luar tembok Batavia, kota metropolitan di zamannya. Ada tiga kampung yang ditempati oleh orang Jawa saat itu. Sebagian besar tinggal di sekitar Benteng Jaccatra di hulu Kali Krukut. Sisanya di luar gerbang Utrecht barat Kota, dan di luar gerbang Diest selatan Kota di mana saya sendiri tinggal. Saya hidup di saat Kompeni Belanda alias VOC tengah bersitegang dengan Banten dan Makassar—dua kerajaan Islam pesisir nan tangguh; satu di barat Pulau Jawa, satu di selatan Sulawesi, yang masing-masing merupakan kerajaan yang giat berniaga secara internasional. Juga di sebuah masa di mana perbudakan adalah hal lazim dan manusiawi. 

Minggu, 05 Februari 2017

Serangan Fajar "Orang-orang Hitam", Persahabatan Palsu, 
dan Wanita Cantik dari Portugis 


Badai sering datang tak terduga dan tak pandang bulu. Tiupan puting beliungnya menghantam kapal siapa saja, tak peduli itu bahtera dari seberang yang tengah menuju tujuan yang sama sekali berbeda. Itulah yang terjadi pada sebuah kapal Portugis yang berlayar menuju Goa di India tapi di tengah perjalanan terdampar di dekat pantai barat Sumatra tahun 1561.

Rabu, 01 Februari 2017

prajurit batak tempo dulu abad ke-19
Prajurit Batak abad ke-19. Beginilah mungkin sosok prajurit Batak
saat berperang dengan Aceh di abad ke-16

“Cinta Segitiga” antara Aceh, Portugis, dan Batak


Semua dapat dijadikan alasan untuk mengarahkan ujung tombak pada siapa pun yang dianggap tak sepaham. Tak peduli yang dituding itu tetangga sebelah. Dan alasan itu? Bisa kepentingan ekonomi, politik, atau agama. Atau ketiganya sekaligus. Maka, pekik dan gendering perang adalah jalan keluar yang paling sah untuk memancakkan kekuasaan yang seringnya angkuh dan egoistik. Dan perang semacam itulah yang lima abad lampau disaksikan oleh seorang Portugis bernama Fernao Mendez Pinto, negara yang telah punya koloni di Malaka dan juga ikut dalam kancah perseteruan itu—walau tak langsung.