Gambaran Battutah sedang mengendarai unta dalam sebuah naskah |
Ketika Ibnu Battutah Dijamu oleh Sultan Pasai
Suatu hari di tahun 1345, seorang penjelajah asal Tangier, Maroko, bersama rombongannya tiba di Pasai. Memakai jubah dan serban, pria Muslim asal Magribi bernama Ibnu Battutah tak berencana sama sekali untuk singgah di ujung Pulau Sumatra itu sebelumnya. Lho, kok bisa?
Duapuluh tahun sebelumnya, tahun 1325, Battutah dititahkan oleh Raja Magribi (artinya "barat", nama kuno Maroko) yang bergelar Sultan Abu Ibab untuk berkunjung ke Dunia Timur. Dari Magribi, ia tiba di Delhi, India, dan tinggal di sana selama 7 tahun karena berhasil menjabat sebagai kadi (penasihat) Sultan Delhi, negara Islam yang bermazhab Maliki. Tahun 1342 ia lalu diutus Sultan Delhi berlayar ke Cina menemui Kaisar Cina Dinasti Yuan (Mongol). Masalah terbit di laut saat kapal rombongannya yang bertolak dari Calcuta mengalami kecelakaan sehingga ia dan rombongan yang selamat terdampar di dekat Malabar, masih sekitar India. Merasa enggan pulang ke Delhi untuk melaporkan musibah itu, ia memilih melanjutkan musibah politiknya, tapi singgah dulu di sejumlah kota-pelabuhan yang akan dilewatinya. Maka, dimulailah pengembaraan sang penasihat Sultan Delhi ini. Dari Malabar (Kerala), ia terus ke Maladewa, Srilanka, lalu Benggala, dan akhirnya tiba di Kota Sumutra (Samudera [Pasai]).
Walau tak membawa surat dari Sultan Delhi, sebagai seorang pejabat yang terbiasa berdiplomasi, ia tak buntu akal untuk bersandiwara kepada orang Pasai bahwa dirinya utusan Sultan Delhi. Penguasa Pasai itu, yang oleh Battutah disebut Malikul Dzahir (mungkin maksudnya Sultan Muhammad, mengingat raja-raja Pasai sesudah Malikul Saleh juga memakai gelar Malikul Dzahir), percaya tanpa sedikit pun curiga, sehingga Battutah bisa tinggal di kota ini selama 15 hari untuk kemudian berlayar ke Cina. Pintar!
Selama tinggal di Pasai, Battutah mencatat bahwa setiba kapalnya di pelabuhan, seorang naib sahab al bahr, laksamana setempat yang bernama Bohruz, naik kapalnya guna memeriksa muatan kapalnya. Ibnu Battutah dan rombongan diizinkan turun ke pelabuhan, sebuah kota besar di pesisir yang di tengah-tengahnya terdapat jalan, berjarak empat mil dari ibukota (Samudra). Laksamana itu lalu ke ibukota guna memberikan kabar kepada Sultan akan kedatangan Battutah. Sultan mengirim Amir Dawlasa bersama Kadhi Amir Sayyid yang berasal dari Syiraz dan Tajuddin dari Isfahan serta ulama-ulama lain untuk menjemput Battutah. Mereka membawa kuda dari kandang Sultan sendiri dan kuda-kuda lain sebagai kendaraan rombongan Ibnu Battutah.
Kota Sumutra disebutkan Battutah sangat besar dan indah, berbenteng kayu serta menara kayu pula. Rajanya bernama Sultan Malikul Dzahir, raja perkasa dan dermawan, bermazhab Syafii, menyayangi para ulama yang datang menghadap ke balairung untuk mengaji dan berbahas agama. Baginda selalu berjalan kaki ke masjid jika salat jumat. Rakyatnya pun selalu ikut Baginda berperang untuk menaklukkan negeri-negeri tetangga yang masih "kafir". Negeri-negeri itu membayar upeti pada Baginda.
Saat menuju istana, Battutah menyaksikan lembing-lembing
terpancak ke tanah di kedua sisi jalan sebagai tanda orang harus turun dari tunggangannya untuk berjalan kaki ke arah balairung. Di balairung ia bertemu dengan raja muda, Umdat al Mulk, yang bangkit dari duduknya dan menjabat tangan Battutah. Setelah duduk kembali, raja muda menulis surat kepada Sultan guna mengabarkan kedatanganya, lalu diberikan kepada biduanda yang kemudian kembali lagi membawa jawaban dan bingkisan dari Sultan. Bungkusan dibuka oleh Umdat al Mulk, yang memuat kain-kain persalinan untuk utusan luar negeri, seperti lazimnya persalinan raja-raja Melayu. Battutah mencatat bahwa persalinan itu terdiri dari tiga cawat—satu dari sutra tulin, dua dari sutra-kapas, tiga dari sutra linen. Terdapat pula tiga helai pakaian (baju dalam, hampir sama dengan celana cawat) serta tiga helai pakaian tengah; juga tiga helai jubah-wol, satu di antaranya bewarna putih; serta tiga tengkuluk/kuluk. Battutah mengambil sehelai dari tiap-tiap jenis kain, sementara kain-kain lainnya dibagikan kepada para pengikut dalam rombongannya. Setelah makan nasi dengan cendawan (jamur) dan mengunyah sirih-pinang, Battutah dibawa ke sebuah balai berlantai kayu di mana berhampar permadani wol.
Di balai ini terdapat tempat tidur dari bambu, tanpa ditutupi sutra dan bantal-bantal. Amir Dawlasa datang membawa dua orang hamba sahaya perempuan dan dua orang khadam sebagai hadiah dari Sultan dengan pesan bahwa hadiah tersebut hanya ala kadarnya kalau dibandingkan dengan Sultan Muhammad di Delhi. Amir Dawlasa sendiri telah dikenal Battutah saat berkunjung ke istana Sultan Delhi sebagai utusan Pasai. Setelah bertanya, Battutah diberi tahu bahwa lazimnya seorang tamu agung dari luar negeri diberi waktu tiga hari untuk beristirahat sebelum menghadap Sultan. Rombongan Battutah sendri diberi makan tiga kali sehari; dan dua kali, pagi-sore, disuguhi buah-buahan dan kue-kue. Hari keempat, barulah Battutah dipersilakan menghadap Sultan setelah salat Jumat.
Battutah pergi ke masjid bersama datuk bendahari Sultan bernama Qayran. Beres sembahyang ia diperkenankan bertemu Sultan di sebuah kamar kecil di masjid. Saat masuk, ia melihat Sultan Pasai duduk di samping Kadhi Amir Sayyid dan murid-muridnya di kanan-kiri. Sultan menjabat tangan Battutah yang lalu ia dudukkan di sebelah kiri. Sultan bertanya kabar Sultan Delhi serta tentang pelayaran Battutah. Setelah mendengar jawaban, Sultan kembali membahas ilmu fiqih menurut mazhab Syafii dengan Amir Sayyid hingga salat Asar. Beres alat Asar, Sultan masuk kamar kecil untuk bersalin dengan pakaian sutra-kapas kebesarannya, karena ketika berangkat ke masjid ia memakai jubah sebagaimana para ulama. Di depan masjid sudah menunggu gajah dan kuda. Adatnya, tulis Battutah, bila sultan naik gajah maka yang lain naik kuda, pun sebaliknya. Para ulama bergerak di kanan Sultan yang mengendarai gajah, diikuti Battutah ke istana. Di titik yang telah ditentukan, semua turun dari kuda, sementara Sultan terus naik gajah masuk istana. Di balairung telah hadir para menteri, raja-raja bawahan, hulubalang, karkun (sekretris/pujangga istana), alim ulama, para syarif (keturunan Nabi), tabib-tabib, pembesar lainnya, duduk bersaf-saf. Menteri keempat (keempat menteri?) dan karkun duduk paling depan dan yang paling awal menyembah kepada Sultan lalu duduk kembali di tempat. Lalu, giliran para pembesar lainnya, tiap-tiap saf bergantian, hingga yang terakhir yakni hulubalang, para bintara, dan mamluk (budak yang dijadikan tentara). Sementara itu, Sultan masih di atas gajah di depan balairung, dipayungi payung bertakhtakan emas-permata. Di kanan Sultan berdiri limapuluh ekor gajah yang dihiasi, juga di sebelah kirinya. Di depan Sultan berdiri para bendahari. Pada biduan lelaki datang dan bernyanyi. Lalu dibawa kuda berhiaskan kain sutra, kakinya bergelang emas, tali kekangnya dari kain sundusi (sutra yang pakannya benang emas). Kuda-kuda tersebut menari-nari di hadapan Sultan. Atraksi ini tak jauh seperti yang terdapat di istana Delhi. Menjelang malam hari, Sultan masuk istana, sementara yang lainnya pulang.
Dua tahun kemudian, 1347, setelah kembali dari Cina, tujuan semulanya, Battutah datang lagi ke Pasai. Ia mencatat bahwa saat itu Sultan Pasai (Muhammad) Malikul Dzahir baru saja kembali dari peperangan dan membawa banyak tawanan. Battutah berkesempatan menghadiri perkawinan salah satu putra Sultan dengan seorang putri dari adik Sultan. Disebutkan bahwa pengantin perempuan memakai mahkota dan didudukkan di atas mimbar besar, berhadapan dengan para biduan, laki dan perempuan. Pengantin lelaki datang dengan naik gajah yang berhiaskan elok. Di kiri-kanannya, anak-anak Sultan berpakaian putih-putih mengendarai kuda. Orang ramai diberi hadiah dinar dan dirham (disawer?). Sultan duduk di atas peterana (gedung dadakan) istimewa. Setelah sampai, pengantin lelaki turun dari gajah, menyembah pada kaki ayahnya, lalu naik mimbar menuju pengantin wanita. Pengantin wanita bangkit, mencium lengan pengantin lelaki, dan duduk di sampingnya. Biduan datang membawa sirih-pinang. Pengantin lelaki mengambilnya, menyuapkannya pada pengantin wanita, begitu pun sebaliknya. Setelah itu, pengantin wanita diberi selubung, lalu mimbar diangkat ke dalam. Hadirin lalu makan dan setelahnya pulang. Esoknya, pejabat dan warga berkumpul kembali menghadap Sultan yang mengumumkan bahwa putranya adalah calon penggantinya. Hadirin menyatakan taat pada putra mahkota. Lalu Sultan menghadiahi sang putra dengan kain dan emas.
Itulah kesaksian Battutah saat berada di Pasai, kerajaan yang konon pertama memeluk Islam di Nusantara. Sebagaimana para diplomat dan pelaut asal Cina yang kerap menuliskan pengalamannya saat berada di Nusantara, Battutah pun ikut menyumbangkan kroniknya yang kelak dijadikan sumber sejarah yang kompeten. Kesaksian-kesaksiannya sudah ia tulis hampir dua abad sebelum para pelaut Katolik asal Portugis dan Spanyol memberikan kesaksian mereka tentang kehidupan sosial-politik-ekonomi-budaya Indonesia di masa lampau. Battutah paham benar: tulisan, sebelum alat perekam suara dan visual, menempati urutan wahid sebagai rekaman memori umat manusia.
Ojel
30 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar