Laman

Sabtu, 07 September 2019


Pejalan Kaki

Aku melihat, trotoar ber-paving blok di kedua sisi jalan itu cukup lebar. Jika keduanya disatukan, lebarnya hampir selebar jalan beraspal yang diapitnya. Para pejalan kaki melangkah kaki begitu leluasa dan tanpa hambatan. Mereka menikmati hak mereka di tempat yang seharusnya. Sama seperti pengendara mobil, motor, dan sepeda menjalankan kendaraan mereka di jalan yang mulus tak berkubang dan berlubang itu. Aku terkesima dan aku sadar saat itu aku sedang menonton sebuah film produk Jepang.


Ketertiban barang langka bagiku, bagi warga yang mendiami sebuah kota besar di Indonesia. Di kota ini, di tanah kelahiranku, trotoar bukan tempat pedestarian merasakan kenyamanan berjalan kaki. Jarang sekali ada trotoar yang lebar. Kebanyakan sempit dan tak tertata rapi. Di beberapa titik bolong dan penuh sampah. Bungkus rokok berikut puntungnya, bekas kemasan cemilan, bersatu dengan dedaunan yang berguguran dan busuk, memenuhinya. Dan aku harus menepi jika berpapasan dengan kios dan kedai pecel lele.


CITARUM, SELAYANG PANDANG SEJARAH

Apakah Citarum sudah ada sejak Pulau Jawa tercipta beradab-abad sebelum Masehi? Saya belum tahu. Keberadaan sungai ini baru tertulis begitu Tanah Sunda atau Priangan memasuki abad sejarah; maksudnya, ketika nama sungai ini tertulis dalam aksara—bukan hanya terpendam dalam ingatan kolektif hasil penuturan lisan.

Banyak ahli berpendapat bahwa nama Citarum berasal dari tarum alias nila, tumbuhan pewarna untuk mencelup benang atau kain. Kata “tarum” sendiri sudah menempel pada sebuah kerajaan kuno di sekitar Bekasi, yakni Tarumanagara. Banyak prasasti ditemukan yang membuktikan keberadaan kerajaan bercorak Hindu tersebut.


MEMAHAMI PAPUA MELALUI MITOLOGI MEREKA


Papua kembali bergejolak. Isu “Papua Merdeka” menyeruak kuat lagi. Dan bangsa ini kerap gagal memahami mereka. Yang paling banter pemerintah lakukan hanya mengawasi mereka dengan penuh curiga, mengantisipasi kemungkinan “pemberontakan”, mengekspolitasi sumber daya alam mereka, dan fokus pada infrastruktur saja. Kita enggan, atau lupa, atau tak mau tahu alasan psikologis-kultural sebagian masyakarat Papua yang sudah tak nyaman berada dalam genggaman Republik ini.

Kita abai mempelajari tradisi, mentalitas, dan pola hidup masyarakat Papua. Padahal, itulah kata-kata kuncinya, dan itu semua terangkum dalam mitologi-mitologi mereka. Sayangnya pula, kita yang mengaku orang modern menganggap mitologi atau mitos itu cuma cocok bagi anak-anak sebagai acuan moral saja (agar disebut “cinta tanah-air”). Sementara, para orangtua menyibukkan diri dalam majelis-majelis keagamaan, mendengarkan kotbah kotbah yang temanya justru memusuhi tema tema dalam mitos mitos yang ada di Nusantara ini. Ironis! Mereka cuma bilang serampangan: mitos kan peninggalan masyarakat “animisme” dan “dinamisme”, kaum “penyembah berhala”. Padahal, agama pun, dalam beberapa hal, juga mitos!  


Pedagang Indonesia

23 Juni 1596, empat kapal Belanda mendarat di pelabuhan Banten. Sang kapten armada, Cornelis de Houtman, lega, setelah 13 bulan berlayar dari kampung halamannya, bisa selamat di tujuan—inilah kali pertama orang Belanda mendarat di Indonesia. Baru saja kapal-kapalnya membuang sauh, ia melihat sejumlah pedagang Portugis naik ke kapalnya sebagai penghormatan dan segera menjelaskan kondisi perdagangan di Jawa serta memuji kesuburan dan kekayaan alam pulaunya. Setelah itu, orang-orang Portugis itu turun.


Esoknya, barulah para bangsawan Banten mengunjungi kapal de Houtman, lalu mengundang orang-orang Belanda itu berniaga bebas di pelabuhan. Tak selang berapa lama, Cornelis melihat serombongan perahu yang berisi pedagang pribumi, Cina, dan Gujarat mengitari kapal-kapalnya di dermaga. Tanpa dipanggil dan disuruh, para pedagang itu menaiki kapal-kapal Belanda. Serta merta saja, geladak kapal-kapal itu sontak seperti pasar. “Tak ada yang salah dan semuanya sempurna kecuali apa yang salah dengan kami sendiri,” kenang seorang pelaut Belanda yang ikut dalam pelayaran.


Penyamarataan Selera: 
“Komunisme Primitif” Tanpa Sadar


Suatu hari saya berkunjung ke rumah seorang teman yang belum dekat-dekat amat bada isya. Untuk menghormati saya, atas pertimbangan saya pasti lapar, teman saya membuatkan mie rebus komplit dengan telurnya untuk saya. Saya, yang memang perutnya mulai keroncongan, tentu menerima sajiannya itu seraya ucapkan terima kasih – walau lambung saya sudah tak cocok dengan mie, baik yang instan maupun pelengkap bakso.


Jujur, sejak kecil perut saya lumayan sensitif terhadap mie (juga rujak, pempek, dan makanan asam-manis-pedas lainnya – makanan yang memang merangsang nafsu makan siapa pun). Tapi, tak mungkin saya interupsi pada tuan rumah yang belum dekat-dekat banget dengan saya itu. Dalam hati sebelumnya saya berharap, dia menawari saya nasi goreng yang dijajakan si penjualnya yang melintas dengan gerobaknya di gang depan rumahnya. Rupanya, ia menyamaratakan bahwa semua orang, termasuk saya, oke-oke aja kalau disuguhi mie instan. Tak ada pikiran di otaknya bahwa kapasitas dan kemampuan organ pencernaan setiap manusia berbeda-beda.

Bangsa yang Naluriah: Animal Instinc


Di planet Bumi ini, salah satu yang saya paling musuhi adalah kefanatikan. Mau itu kefanatikan terhadap klub sepak bola, agama atau mazhab tertentu, ideologi tertentu, genre musik atau band tertentu, termasuk kepada (suku) bangsa sendiri. Kefanatikan kerap membuat garis batas yang tegas dan angkuh terhadap “yang lain”, “yang tak satu kelompok”, “yang berbeda”. Ia akan berubah jadi keberingasan lunatik jika “yang lain” itu dianggap melintasi garis batas suci tersebut. Kefanatikan adalah keegoisan akut, yang relatif tak gampang disembuhkan.