Laman

Sabtu, 07 September 2019


CITARUM, SELAYANG PANDANG SEJARAH

Apakah Citarum sudah ada sejak Pulau Jawa tercipta beradab-abad sebelum Masehi? Saya belum tahu. Keberadaan sungai ini baru tertulis begitu Tanah Sunda atau Priangan memasuki abad sejarah; maksudnya, ketika nama sungai ini tertulis dalam aksara—bukan hanya terpendam dalam ingatan kolektif hasil penuturan lisan.

Banyak ahli berpendapat bahwa nama Citarum berasal dari tarum alias nila, tumbuhan pewarna untuk mencelup benang atau kain. Kata “tarum” sendiri sudah menempel pada sebuah kerajaan kuno di sekitar Bekasi, yakni Tarumanagara. Banyak prasasti ditemukan yang membuktikan keberadaan kerajaan bercorak Hindu tersebut.



Dalam Naskah Kuno Carita Parahyangan dan Bujangga Manik
Dibanding suku-suku bangsa lain di Indonesia, masyarakat Sunda cukup beruntung masih memiliki tinggalan sejarah berupa tulisan kuno yang ditulis sendiri oleh orang Sunda dulu. Aksara itu bisa Pallawa, bisa aksara Sunda Kuno, bisa aksara Buda atau disebut juga aksara Gunung (biasanya berbahasa Jawa atau campuran Jawa-Sunda). Nah, penulisan kata Citarum tertoreh dalam aksara Sunda Kuno. Ada dua naskah Sunda Kuno (artinya berbahasa sekaligus beraksara Sunda buhun) yakni Carita Parahyangan dan Bujangga Manik.

Carita Parahyangan ditenggarai ditulis selepas Kota Pakuan-Pajajaran runtuh oleh serangan Banten tahun 1579 atau beberapa tahun setelahnya. Naskah bermedia daun lontar dengan aksara yang ditoreh menggunakan pisau pangot ini mengisahkan sejarah Kerajaan Galuh dan Sunda sejauh pengetahuan penulisnya, termasuk sepak terjang raja-rajanya seperti Wretikandayun, Rahiyang Sanjaya, Rahyang Darmasiksa, Sri Baduga Maharaja, Surawisesa, hingga riwayat Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan (atau Pakuan Pajajaran) berakhir, seiring makin teguhnya kekuasaan-kekuasaan bercorak Islam di pesisir Jawa Barat seperti Banten, Cirebon, dan Jayakarta.

Di saat membahas pembagian kekuasaan antara wilayah kekuasaan (alas) Tohaan di Sunda (Maharaja Tarusbawa), Batara Danghyang Guru, dan Rahyang Isora, penulis Carita Parahyangan yang anonim ini menulis kata “Tarum” sebagai sebuah sungai. Begini kutipannya:

Ayeuna ta karah: Alas Da[ng]ngyang Guru di tengah; alas Ra[h]hyang Isora ti wetan, para lor Paraga deung Ciloti[r]ran; ti kulon Tarum ka kulon alas Tohaan di Sunda
Sekarang begini: wilayah (kekuasaan) Danghyang Guru di tengah (maksudnya Gunung Galunggung dan sekitarnya); wilayah (kekuasaan) Rahyang Isora di timur, di utaranya Paraga (Kali Progo sekarang) dan (Sungai) Cilotiran; di barat Tarum ke baratnya adalah wilayah Tohaan di Sunda

Jelas, seperti layaknya zaman feodal di mana sungai (dan gunung serta laut) menjadi pembatas wilayah, Sungai Citarum oleh Rahyang Sanjaya, setelah ada kemelut politik-militer di antara para penguasa Sunda-Parahyangan saat itu, lantas dijadikan batas antara Galuh dengan Sunda-Pajajaran di abad ke-7 M agar persengketaan menjadi reda. 

Yang menarik, dari data di atas terbayang secara implisit bahwa Citarum merupakan pembatas wilayah budaya antara Sunda dengan Galuh. Dengan begitu, setidaknya hingga abab ke-7, kata Sunda masih merujuk kepada entitas budaya yang hidup di sebelah barat Citarum, sementara kata Galuh atau Parahyangan merujuk kepada entitas budaya yang berlangsung di sebelah timur Citarum hingga Kali Progo dan Cilotiran, atau mungkin hingga Sungai Cipamali. Memang, hal ini masih sebatas dugaan.

Naskah kedua adalah Bujangga Manik, yang ditulis pada daun nipah dengan tinta hitam di zaman Kerajaan Sunda masih eksis. Walau tak ada penanggalan di dalamnya, naskah ini memberikan bayangan latar belakang cerita sang tokoh utama yang bernama Bujangga Manik alias Ameng Layaran alias Prebu Jaya Pakuan, ini berlangsung di akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16. Bayangan ini diperoleh berdasarkan toponimi Malaka, Demak, dan Majapahit yang disebutkan oleh naskah bersangkutan.

Sang tokoh sendiri merupakan rakean (pangeran/anak raja) Pakuan yang memilih membujang dan hidup sebagai petapa yang berziarah ke pelbagai gunung, mandala, katiagian, dan kabuyutan (perguruan dan tempat suci pra-Islam) yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali. Banyak nama gunung dan sungai yang disebutkan oleh naskah yang belum ada salinannya ini, di antaranya Citarum. Kata Citarum malah disebutkan 3 kali oleh sang penulis. Pertama, saat kepergian pertama dari Pakuan hingga Pamalang (kini Pemalang, Jawa Tengah). Kedua, saat kepergian kedua dari Pakuan hingga Balungbangan (Blambangan; Banyuwangi kini) dan Pulau Bali. Ketiga, kala kembali lagi dari tanah Jawa ke tanah Sunda setelah kepergian kedua dalam rangka mencari tempat yang cocok untuk bertapa.

Berikut kutipan naskah saat si tokoh pada kepergian yang pertama:

datang ka alas Eronan / nepi aing ka Cinangsi / meu(n)tas aing di Citarum / ku ngaing geus kaleu(m)pangan/ meu(n)tas di Cipunagara
datang ke wilayah Eronan / tiba aku ke Cinangsi / menyeberang aku di Citarum / olehku sudah dilewati / menyeberang di Cipunagara

Berikut penggambaran si tokoh saat kepergian yang kedua:

sacu(n)duk ka Bukit Timbun / datang aing ka Mandata / meu(n)tas aing di Citarum / ngalalar ka Ramanea
setiba ke Bukit Timbun / datang aku ke Mandata / menyeberang aku di Citarum / terus ke Ramanea

Berikut penggambaran si tokoh saat tiba di Gunung Sembung untuk membangun pertapaan saat kembali ke tanah Sunda dari Jawa pada kepergian yang kedua:

saa(ng)geus ing milang gunung / saleu(m)pang ti Pane(n)joan / sacu(n)duk ka Gunung Se(m)bung / eta huluna Citarum / di inya aing ditapa
seusai aku mengbilang gunung / setelah jalan dari Panenjoan / setiba ke Gunung Sembung / itu hulunya Citarum / di sana aku bertapa

Disebutkan oleh Bujangga Manik bahwa hulu Citarum itu berada di Gunung Sembung, yang ia kunjungi setelah dari Panenjoan (nama lain Gunung Papandayan). Di Gunung Sembung inilah sang rakaki (artinya “petapa suci”) mendirikan lingga dan membuat arca sebelum kembali bertapa selama setahun lebih. Pemilihan tempat bertapa Sang Bujangga di sebuah gunung di mana berhulu sebuah sungai besar tentu sangat beralasan. Bagi seorang penganut ajaran Sanghyang Darma (ajaran Hindu dan Buddha yang bercampur dengan kepercayaan leluhur setempat) seperti dirinya, juga orang Sunda pra-Islam di zamannya, gunung adalah tempat suci, dan sungai yang berasal darinya pun bernilai sama. Dalam konteks ini sungai bersangkutan biasa disebut cai nyusu alias air susu.

Peranan gunung dan sungai yang bernilai spiritual seperti ini juga terlihat saat Bujangga Manik menunjuk Bukit Ageung (kini Gunung Gede) yang darinya air Cihaliwung (Ciliwung kini) berasal dan mengalir ke utara bertemu dengan Laut Jawa. Disebutkan bahwa Bukit Ageung itu merupakan “kabuyutan ti Pakuan” (gunung suci bagi orang Pakuan).  Contoh lainnya, masih dari Bujangga Manik, yaitu saat ia melewati Bukit Bulistir yang disebutnya sebagai “hulu Cimari(n)jung, sakakala Patanjala, ma(n)ten burung ngadeg ratu” (hulu Sungai Cimarinjung, peninggalan Patanjala, kala dia gagal menjadi raja). Sebagai informasi, tokoh Patanjala berkaitan erat dengan leluhur orang Kanekes (Baduy) kini.

Sumber Irigasi
Peradaban manusia zaman dulu acap terpusat di dekat sungai, karena sungai merupakan saluran air yang dibutuhkan oleh manusia. Dari sungailah, manusia mengambil air minum dan air untuk irigasi persawahan. Begitu pula Citarum di zaman kebudayaan agraris dahulu.

Dalam konteks sejarah, Citarum, yang di abad ke-17 sering disebut Kali Karawang, merupakan sumber irigasi yang mengalirkan airnya ke tiga desa yang dibuka atas titah Sultan Agung Hanyakrakusuma di pertengahan paruh pertama abad ke-17. Ketiga desa tersebut, yakni  Waringinpitu, Parakansapi, dan Adiarsa (dengan pusat Waringinpitu), berada di Karawang dan dibuka oleh Arya Surenggono atas perintah Raja Mataram tersebut di tahun 1624, guna dijadikan lahan persawahan sebagai bekal logistik pasukan Mataram dalam menyerang Benteng-Kota Batavia empat tahun kemudian.

Nama Karawang sendiri telah tercatat dalam naskah Bujangga Manik, sehingga dapat dipastikan bahwa sebelumnya ketiga desa tersebut dibangun, telah ada sejumlah desa lain di Karawang. Yang menjadi pertanyaan: apakah penduduk Karawang sebelum ketiga desa tersebut ada memperoleh beras dari ladang atau dari sawah? Jika kita membaca naskah Sunda Kuno lain yang berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (ditulis 1518 M) yang sudah menulis kata pasawah selain kata pahuma, maka dapat diperkirakan bahwa penduduk Karawang waktu itu, terutama yang hidup di sekitar DAS Citarum, sudah berprofesi pesawah yang mengandalkan pengairan sungai—dalam hal ini Citarum. Di kemudian hari, terlepas dari kekalahan pasukan Mataram oleh VOC di tahun 1628 dan 1629, Karawang dengan Citarumnya dikenal sebagai lumbung beras.

Jalur Transportasi
Selain sebagai sumber air minum dan pengairan sawah, sungai pun berfungsi sebagai jalur transportasi di zamannya. Begitu pun Citarum. Melihat kenyataan bahwa Citarum bermuara ke Laut Jawa, maka dapat dipastikan fungsi sosial sungai ini dahulu. Bisa dibayangkan hilir-mudik perahu di sungai ini, membawa barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat pesisir dan sebaliknya oleh masyarakat pedalaman. Selain Cibanten dan Ciujung di Provinsi Banten, Ciliwung dan Cisadane di Jakarta, Marunda (Kali Bekasi), Cilamaya, Cipunagara, dan Cimanuk; Citarum merupakan sungai yang bermuara ke utara.

Dalam cacatan sejarah, fungsi Citarum sebagai jalur transportasi tercatat dalam hubungannya dengan penyerangan pasukan Mataram zaman Sultan Agung terhadap Batavia, kota kolonial buatan Belanda yang didirikan di atas puing-puing Kota Jayakarta. Dalam sejumlah sumber historiografi tradisonal (babad atau wawacan) disebutkan bahwa pasukan Mataram pimpinan Temenggung Bahureksa (versi Mataram mengatakan Tumenggung Singaranu, Patih Mataram; sumber lain lagi menyebutnya Tumenggung Narapaksa) berangkat ke Jaketra melalui jalur laut dengan 10.000 prajurit. Sementara itu, Dipati Ukur dan pasukannnya yang berjumlah 10.000 berangkat ke Jaketra melalui darat (Cikalong Wetan). Kedua pasukan tersebut berjanji bertemu di Karawang. Begitu pasukan Ukur pimpinan Dipati Ukur tiba di Karawang, pasukan Mataram pimpinan Bahureksa belum datang. Setelah menunggu selama 7 hari di Karawang sementara pasukan Bahureksa belum tiba juga, Dipati Ukur bersama 9 umbul (setara dengan camat zaman sekarang) bawahannya dan pasukannya nekad menyerbu Jaketra pada Oktober 1628. Jelas, Citarumlah yang menjadi patokan Sang Dipati dalam menunggu pasukan Mataram tersebut.

Data sejarah lain yang berhubungan dengan Citarum adalah catatan seorang saudagar asal Belanda yang berdagang di Banten tahun 1630, yakni Pieter Fransen. Disebutkan olehnya bahwa Gubernur Jenderal  VOC pengganti J.P. Coen, Jaques Specx, memerintahkan seorang bawahannya untuk meneliti tempat posisi dan keadaan para pemberontak Ukur-Sumedang pasca penyerangan pasukan Mataram terhadap Kota Batavia tahun sebelumnya yang juga gagal. Memang, setelah Dipati Ukur tak melaporkan kekalahannya di Batavia sejak 1628, banyak warga Ukur dan Sumedang yang tinggal di wilayah ommelanden (luar kota) Batavia, termasuk di sekitar Sungai Untung Jawa (Cisadane) dan Citarum. Dikabarkan pula bahwa di sekitar Sungai Karawang (nama lain Citarum) ada beberapa kapal Mataram yang menjaga terus-menerus untuk menghindarkan pengiriman barang dari Citarum ke Batavia. Kira-kira ada 60-70 kapal Mataram yang masuk Sungai Karawang guna mencari rakyat Ukur yang melarikan diri ke Karawang.

Selanjutnya, pada 5 JuIi 1641 seorang Mardijker (budak asal India yang dijadikan pasukan sipil Batavia oleh VOC setelah dibaptis secara Protestan) bernama Juliaen da Silva, disertai “enam orang Jawa” menyusuri Citarum menuju pedalaman Priangan untuk mengetahui potensi alamnya.

Setelah Sultan Agung wafat dan digantikan Sunan Amangkurat I, Mataram kembali menjalin persahabatan dengan VOC, yang berujung perjanjian politik. Salah satu perjanjian itu terjadi di tahun 1652, saat Amangkurat I secara lisan kepada Rijklof van Goens menyerahkan wilayah Karawang-Priangan kepada VOC, dengan syarat: VOC akan melindungi Amangkurat I dari rongrongan bangsawan Mataram yang ingin menduduki takhta Mataram. Mengenai hal tersebut VOC beranggapan bahwa: “Mengenai Sungai Karawang, yang selalu dianggap sebagai perbatasan antara wilayah Batavia dan wilayah Mataram, bahwa kita bebas setiap saat dapat mengambil ikan, bambu, kayu, dan kayu bakar dan membawanya tanpa kewajiban membayar apa pun dan bahwa kita sesuka hati di daerah sisi barat sungai tersebut akan mempergunakannya sebagai tanah air kita sendiri, tanpa ada larangan dari pihak mereka (Mataram).”

Sebetulnya masih banyak sumber sejarah, terutama dari VOC, yang menyebutkan Karawang dan Citarum. Namun, penjelasan di atas saya rasa cukup untuk memberikan gambaran betapa Citarum begitu penting, baik sebagai pembatas administratif secara tradisional, jalur transportasi, maupun sumber irigasi.

Sementara, dari sumber-sumber naskah Sunda Kuno kita memperoleh bayangan gambaran bahwa Citarum tak bisa dilepaskan dari konteks spiritual dan sosial masyarakat Sunda zaman baheula, di mana keberadaan cai nyusu begitu penting bagi keberlangsungan hidup manusianya. Air susu milik Ibu Pertiwi yang kita cintainya ini.


Ojel Sansan Yusandi
20 Nov 2016


Daftar Pustaka
Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang A. Darsa. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud Bandung.
Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Ceritera Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat (Yuganing Raja Kawasa). Bandung: Geger Sunten.
Lubis, Nina dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid 1. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.

 ===

foto: Citarum
sumber foto: Edukasi Kompas 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar