CITARUM, SELAYANG PANDANG SEJARAH
Apakah Citarum sudah ada sejak Pulau Jawa tercipta
beradab-abad sebelum Masehi? Saya belum tahu. Keberadaan sungai ini baru
tertulis begitu Tanah Sunda atau Priangan memasuki abad sejarah; maksudnya,
ketika nama sungai ini tertulis dalam aksara—bukan hanya terpendam dalam
ingatan kolektif hasil penuturan lisan.
Banyak ahli berpendapat bahwa nama Citarum berasal dari tarum alias nila, tumbuhan pewarna untuk
mencelup benang atau kain. Kata “tarum” sendiri sudah menempel pada sebuah
kerajaan kuno di sekitar Bekasi, yakni Tarumanagara. Banyak prasasti ditemukan
yang membuktikan keberadaan kerajaan bercorak Hindu tersebut.
Dalam Naskah Kuno Carita Parahyangan dan Bujangga Manik
Dibanding suku-suku bangsa lain di Indonesia, masyarakat
Sunda cukup beruntung masih memiliki tinggalan sejarah berupa tulisan kuno yang
ditulis sendiri oleh orang Sunda dulu. Aksara itu bisa Pallawa, bisa aksara
Sunda Kuno, bisa aksara Buda atau disebut juga aksara Gunung (biasanya
berbahasa Jawa atau campuran Jawa-Sunda). Nah, penulisan kata Citarum tertoreh
dalam aksara Sunda Kuno. Ada dua naskah Sunda Kuno (artinya berbahasa sekaligus
beraksara Sunda buhun) yakni Carita Parahyangan dan Bujangga Manik.
Carita Parahyangan ditenggarai ditulis selepas Kota
Pakuan-Pajajaran runtuh oleh serangan Banten tahun 1579 atau beberapa tahun
setelahnya. Naskah bermedia daun lontar dengan aksara yang ditoreh menggunakan
pisau pangot ini mengisahkan sejarah
Kerajaan Galuh dan Sunda sejauh pengetahuan penulisnya, termasuk sepak terjang
raja-rajanya seperti Wretikandayun, Rahiyang Sanjaya, Rahyang Darmasiksa, Sri
Baduga Maharaja, Surawisesa, hingga riwayat Kerajaan Sunda yang beribukota di
Pakuan (atau Pakuan Pajajaran) berakhir, seiring makin teguhnya
kekuasaan-kekuasaan bercorak Islam di pesisir Jawa Barat seperti Banten,
Cirebon, dan Jayakarta.
Di saat membahas pembagian
kekuasaan antara wilayah kekuasaan (alas)
Tohaan di Sunda (Maharaja Tarusbawa), Batara Danghyang Guru, dan Rahyang Isora,
penulis Carita Parahyangan yang
anonim ini menulis kata “Tarum” sebagai sebuah sungai. Begini kutipannya:
Ayeuna
ta karah: Alas Da[ng]ngyang Guru di tengah; alas Ra[h]hyang Isora ti wetan,
para lor Paraga deung Ciloti[r]ran; ti kulon Tarum ka kulon alas Tohaan di Sunda
Sekarang begini: wilayah (kekuasaan)
Danghyang Guru di tengah (maksudnya Gunung Galunggung dan sekitarnya); wilayah
(kekuasaan) Rahyang Isora di timur, di utaranya Paraga (Kali Progo sekarang)
dan (Sungai) Cilotiran; di barat Tarum
ke baratnya adalah wilayah Tohaan di Sunda
Jelas, seperti layaknya zaman feodal di mana sungai (dan
gunung serta laut) menjadi pembatas wilayah, Sungai Citarum oleh Rahyang
Sanjaya, setelah ada kemelut politik-militer di antara para penguasa
Sunda-Parahyangan saat itu, lantas dijadikan batas antara Galuh dengan
Sunda-Pajajaran di abad ke-7 M agar persengketaan menjadi reda.
Yang menarik, dari data di atas terbayang secara implisit
bahwa Citarum merupakan pembatas wilayah budaya antara Sunda dengan Galuh. Dengan
begitu, setidaknya hingga abab ke-7, kata Sunda masih merujuk kepada entitas
budaya yang hidup di sebelah barat Citarum, sementara kata Galuh atau
Parahyangan merujuk kepada entitas budaya yang berlangsung di sebelah timur
Citarum hingga Kali Progo dan Cilotiran, atau mungkin hingga Sungai Cipamali.
Memang, hal ini masih sebatas dugaan.
Naskah kedua adalah Bujangga
Manik, yang ditulis pada daun nipah dengan tinta hitam di zaman Kerajaan
Sunda masih eksis. Walau tak ada penanggalan di dalamnya, naskah ini memberikan
bayangan latar belakang cerita sang tokoh utama yang bernama Bujangga Manik
alias Ameng Layaran alias Prebu Jaya Pakuan, ini berlangsung di akhir abad
ke-15 atau awal abad ke-16. Bayangan ini diperoleh berdasarkan toponimi Malaka,
Demak, dan Majapahit yang disebutkan oleh naskah bersangkutan.
Sang tokoh sendiri merupakan rakean (pangeran/anak raja) Pakuan yang memilih membujang dan hidup
sebagai petapa yang berziarah ke pelbagai gunung, mandala, katiagian, dan kabuyutan
(perguruan dan tempat suci pra-Islam) yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali.
Banyak nama gunung dan sungai yang disebutkan oleh naskah yang belum ada
salinannya ini, di antaranya Citarum. Kata Citarum malah disebutkan 3 kali oleh
sang penulis. Pertama, saat kepergian pertama dari Pakuan hingga Pamalang (kini
Pemalang, Jawa Tengah). Kedua, saat kepergian kedua dari Pakuan hingga
Balungbangan (Blambangan; Banyuwangi kini) dan Pulau Bali. Ketiga, kala kembali
lagi dari tanah Jawa ke tanah Sunda setelah kepergian kedua dalam rangka
mencari tempat yang cocok untuk bertapa.
Berikut kutipan naskah saat si tokoh pada kepergian yang
pertama:
datang ka alas Eronan / nepi aing ka Cinangsi / meu(n)tas
aing di Citarum / ku ngaing geus kaleu(m)pangan/
meu(n)tas di Cipunagara
datang
ke wilayah Eronan / tiba aku ke Cinangsi / menyeberang aku di Citarum / olehku sudah dilewati /
menyeberang di Cipunagara
Berikut penggambaran si tokoh saat kepergian yang kedua:
sacu(n)duk ka Bukit Timbun / datang
aing ka Mandata / meu(n)tas aing di Citarum
/ ngalalar ka Ramanea
setiba ke Bukit Timbun / datang aku ke Mandata /
menyeberang aku di Citarum / terus
ke Ramanea
Berikut penggambaran si tokoh saat tiba di Gunung Sembung
untuk membangun pertapaan saat kembali ke tanah Sunda dari Jawa pada kepergian
yang kedua:
saa(ng)geus ing milang gunung / saleu(m)pang ti Pane(n)joan / sacu(n)duk ka Gunung Se(m)bung / eta huluna Citarum / di inya aing ditapa
seusai aku mengbilang gunung / setelah jalan dari
Panenjoan / setiba ke Gunung Sembung / itu hulunya Citarum / di sana aku bertapa
Disebutkan oleh Bujangga Manik
bahwa hulu Citarum itu berada di Gunung Sembung, yang ia kunjungi setelah dari
Panenjoan (nama lain Gunung Papandayan). Di Gunung Sembung inilah sang rakaki (artinya “petapa suci”) mendirikan
lingga dan membuat arca sebelum kembali bertapa selama setahun lebih. Pemilihan
tempat bertapa Sang Bujangga di sebuah gunung di mana berhulu sebuah sungai
besar tentu sangat beralasan. Bagi seorang penganut ajaran Sanghyang Darma (ajaran
Hindu dan Buddha yang bercampur dengan kepercayaan leluhur setempat) seperti
dirinya, juga orang Sunda pra-Islam di zamannya, gunung adalah tempat suci, dan
sungai yang berasal darinya pun bernilai sama. Dalam konteks ini sungai
bersangkutan biasa disebut cai nyusu
alias air susu.
Peranan gunung dan sungai yang bernilai
spiritual seperti ini juga terlihat saat Bujangga Manik menunjuk Bukit Ageung
(kini Gunung Gede) yang darinya air Cihaliwung (Ciliwung kini) berasal dan
mengalir ke utara bertemu dengan Laut Jawa. Disebutkan bahwa Bukit Ageung itu
merupakan “kabuyutan ti Pakuan”
(gunung suci bagi orang Pakuan). Contoh
lainnya, masih dari Bujangga Manik, yaitu saat ia melewati Bukit Bulistir yang
disebutnya sebagai “hulu Cimari(n)jung, sakakala Patanjala, ma(n)ten burung ngadeg ratu” (hulu Sungai Cimarinjung, peninggalan
Patanjala, kala dia gagal menjadi raja). Sebagai informasi, tokoh Patanjala
berkaitan erat dengan leluhur orang Kanekes (Baduy) kini.
Sumber
Irigasi
Peradaban manusia zaman dulu
acap terpusat di dekat sungai, karena sungai merupakan saluran air yang
dibutuhkan oleh manusia. Dari sungailah, manusia mengambil air minum dan air
untuk irigasi persawahan. Begitu pula Citarum di zaman kebudayaan agraris
dahulu.
Dalam konteks sejarah, Citarum,
yang di abad ke-17 sering disebut Kali Karawang, merupakan sumber irigasi yang
mengalirkan airnya ke tiga desa yang dibuka atas titah Sultan Agung
Hanyakrakusuma di pertengahan paruh pertama abad ke-17. Ketiga desa tersebut,
yakni Waringinpitu, Parakansapi, dan Adiarsa (dengan pusat
Waringinpitu), berada di Karawang dan dibuka oleh Arya Surenggono atas perintah
Raja Mataram tersebut di tahun 1624, guna dijadikan lahan persawahan
sebagai bekal logistik pasukan Mataram dalam menyerang Benteng-Kota Batavia
empat tahun kemudian.
Nama Karawang sendiri telah
tercatat dalam naskah Bujangga Manik,
sehingga dapat dipastikan bahwa sebelumnya ketiga desa tersebut dibangun, telah
ada sejumlah desa lain di Karawang. Yang menjadi pertanyaan: apakah penduduk
Karawang sebelum ketiga desa tersebut ada memperoleh beras dari ladang atau
dari sawah? Jika kita membaca naskah Sunda Kuno lain yang berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian
(ditulis 1518 M) yang sudah menulis kata pasawah
selain kata pahuma, maka dapat
diperkirakan bahwa penduduk Karawang waktu itu, terutama yang hidup di sekitar DAS
Citarum, sudah berprofesi pesawah yang mengandalkan pengairan sungai—dalam hal
ini Citarum. Di kemudian hari, terlepas dari kekalahan pasukan Mataram oleh VOC
di tahun 1628 dan 1629, Karawang dengan Citarumnya dikenal sebagai lumbung
beras.
Jalur
Transportasi
Selain sebagai sumber air minum
dan pengairan sawah, sungai pun berfungsi sebagai jalur transportasi di
zamannya. Begitu pun Citarum. Melihat kenyataan bahwa Citarum bermuara ke Laut
Jawa, maka dapat dipastikan fungsi sosial sungai ini dahulu. Bisa dibayangkan
hilir-mudik perahu di sungai ini, membawa barang-barang yang dibutuhkan oleh
masyarakat pesisir dan sebaliknya oleh masyarakat pedalaman. Selain Cibanten
dan Ciujung di Provinsi Banten, Ciliwung dan Cisadane di Jakarta, Marunda (Kali
Bekasi), Cilamaya, Cipunagara, dan Cimanuk; Citarum merupakan sungai yang
bermuara ke utara.
Dalam cacatan sejarah, fungsi
Citarum sebagai jalur transportasi tercatat dalam hubungannya dengan
penyerangan pasukan Mataram zaman Sultan Agung terhadap Batavia, kota kolonial
buatan Belanda yang didirikan di atas puing-puing Kota Jayakarta. Dalam
sejumlah sumber historiografi tradisonal (babad
atau wawacan) disebutkan bahwa pasukan Mataram pimpinan Temenggung
Bahureksa (versi Mataram mengatakan Tumenggung Singaranu, Patih Mataram; sumber
lain lagi menyebutnya Tumenggung Narapaksa) berangkat ke Jaketra melalui jalur laut dengan 10.000 prajurit. Sementara itu, Dipati
Ukur dan pasukannnya yang berjumlah 10.000 berangkat ke Jaketra melalui darat (Cikalong Wetan). Kedua pasukan tersebut berjanji
bertemu di Karawang. Begitu pasukan Ukur pimpinan Dipati Ukur tiba di Karawang,
pasukan Mataram pimpinan Bahureksa belum datang. Setelah menunggu selama 7 hari
di Karawang sementara pasukan Bahureksa belum tiba juga, Dipati Ukur bersama 9 umbul (setara dengan camat zaman
sekarang) bawahannya dan pasukannya nekad menyerbu Jaketra pada Oktober 1628. Jelas, Citarumlah yang menjadi patokan
Sang Dipati dalam menunggu pasukan Mataram tersebut.
Data sejarah lain yang berhubungan dengan Citarum adalah
catatan seorang saudagar asal Belanda yang berdagang di Banten tahun 1630, yakni
Pieter Fransen. Disebutkan olehnya bahwa Gubernur Jenderal VOC pengganti J.P. Coen, Jaques Specx, memerintahkan
seorang bawahannya untuk meneliti tempat posisi dan keadaan para pemberontak Ukur-Sumedang
pasca penyerangan pasukan Mataram terhadap Kota Batavia tahun sebelumnya yang
juga gagal. Memang, setelah Dipati Ukur tak melaporkan kekalahannya di Batavia sejak
1628, banyak warga Ukur dan Sumedang yang tinggal di wilayah ommelanden (luar kota) Batavia, termasuk
di sekitar Sungai Untung Jawa (Cisadane) dan Citarum. Dikabarkan pula bahwa di
sekitar Sungai Karawang (nama lain Citarum) ada beberapa kapal Mataram yang
menjaga terus-menerus untuk menghindarkan pengiriman barang dari Citarum ke
Batavia. Kira-kira ada 60-70 kapal Mataram yang masuk Sungai Karawang guna
mencari rakyat Ukur yang melarikan diri ke Karawang.
Selanjutnya, pada 5 JuIi 1641
seorang Mardijker (budak asal India
yang dijadikan pasukan sipil Batavia oleh VOC setelah dibaptis secara
Protestan) bernama Juliaen da Silva, disertai “enam orang Jawa” menyusuri Citarum
menuju pedalaman Priangan untuk mengetahui potensi alamnya.
Setelah Sultan Agung wafat dan
digantikan Sunan Amangkurat I, Mataram kembali menjalin persahabatan dengan
VOC, yang berujung perjanjian politik. Salah satu perjanjian itu terjadi di
tahun 1652, saat Amangkurat
I secara lisan kepada Rijklof van Goens menyerahkan wilayah Karawang-Priangan
kepada VOC, dengan syarat: VOC akan melindungi Amangkurat I dari rongrongan
bangsawan Mataram yang ingin menduduki takhta Mataram. Mengenai hal tersebut
VOC beranggapan bahwa: “Mengenai Sungai Karawang, yang selalu dianggap sebagai
perbatasan antara wilayah Batavia dan wilayah Mataram, bahwa kita bebas setiap
saat dapat mengambil ikan, bambu, kayu, dan kayu bakar dan membawanya tanpa
kewajiban membayar apa pun dan bahwa kita sesuka hati di daerah sisi barat
sungai tersebut akan mempergunakannya sebagai tanah air kita sendiri, tanpa ada
larangan dari pihak mereka (Mataram).”
Sebetulnya masih banyak sumber sejarah, terutama dari VOC,
yang menyebutkan Karawang dan Citarum. Namun, penjelasan di atas saya rasa
cukup untuk memberikan gambaran betapa Citarum begitu penting, baik sebagai
pembatas administratif secara tradisional, jalur transportasi, maupun sumber
irigasi.
Sementara, dari sumber-sumber naskah Sunda Kuno kita
memperoleh bayangan gambaran bahwa Citarum tak bisa dilepaskan dari konteks
spiritual dan sosial masyarakat Sunda zaman baheula,
di mana keberadaan cai nyusu begitu
penting bagi keberlangsungan hidup manusianya. Air susu milik Ibu Pertiwi yang
kita cintainya ini.
Ojel Sansan Yusandi
20 Nov 2016
Daftar Pustaka
Danasasmita, Saleh, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang A. Darsa. 1987. Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang
Karesian, Amanat Galunggung: Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Direktorat Jenderal
Kebudayaan Depdikbud Bandung.
Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Ceritera
Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah
Jawa Barat (Yuganing Raja Kawasa). Bandung: Geger Sunten.
Lubis, Nina dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid 1. Bandung:
Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.
Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009.
Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar