MEMAHAMI
PAPUA MELALUI MITOLOGI MEREKA
Papua kembali bergejolak. Isu “Papua Merdeka”
menyeruak kuat lagi. Dan bangsa ini kerap gagal memahami mereka. Yang paling
banter pemerintah lakukan hanya mengawasi mereka dengan penuh curiga,
mengantisipasi kemungkinan “pemberontakan”, mengekspolitasi sumber daya alam
mereka, dan fokus pada infrastruktur saja. Kita enggan, atau lupa, atau tak mau
tahu alasan psikologis-kultural sebagian masyakarat Papua yang sudah tak nyaman
berada dalam genggaman Republik ini.
Kita abai mempelajari tradisi, mentalitas, dan pola
hidup masyarakat Papua. Padahal, itulah kata-kata kuncinya, dan itu semua terangkum
dalam mitologi-mitologi mereka. Sayangnya pula, kita yang mengaku orang modern
menganggap mitologi atau mitos itu cuma cocok bagi anak-anak sebagai acuan
moral saja (agar disebut “cinta tanah-air”). Sementara, para orangtua menyibukkan
diri dalam majelis-majelis keagamaan, mendengarkan kotbah kotbah yang temanya
justru memusuhi tema tema dalam mitos mitos yang ada di Nusantara ini. Ironis!
Mereka cuma bilang serampangan: mitos kan peninggalan masyarakat “animisme” dan
“dinamisme”, kaum “penyembah berhala”. Padahal, agama pun, dalam beberapa hal,
juga mitos!
Tersebutlah Fumeripits, turun dari puncak pegunungan
(bisa dibaca: langit) dengan memakai perahu lesung menyusuri sebuah sungai yang
berhulu di pegunungan tersebut. Saat menuju hilir, di tengah perjalanan Fumeripits
diserang seekor buaya besar. Perahu
lesung yang ditumpanginya tenggelam. Meski si buaya dapat dibunuh olehnya tapi Fumeripits
terluka parah dan terbawa arus sungai
hingga terdampar di tepi Sungai Asewets di Desa Syuru. Tiba-tiba datang seekor
burung Flaminggo dari langit dan merawat Fumeripits hingga sembuh kembali.
Di tepian sungai itu Fumeripits membangun rumah yew (rumah adat) lalu mengukir sepasang
patung dari kayu serupa lelaki dan perempuan. Ia pun membuat genderang em yang sangat keras bunyinya, lalu
menari-nari sambil diiringi tetabuhan genderang, sambil mengelilingi kedua
patung buatannya. Saat menari, daya-daya gaib muncul dari tubuhnya dan membuat
kedua patung itu hidup dan menjadi manusia. Kedua manusia dari kayu itu pun
kawin dan menjadi leluhur orang Asmat.
Dalam mitos ini jelas Fumeripits merupakan sosok paradoks. Ia manusia sekaligus
bukan manusia. Ia pun berjenis kelamin lelaki. Bukan dewa atau jelmaan Tuhan,
karena ia pun terluka dan hampir mati. Namun ia pun bukan manusia karena bisa
menghidupkan kedua patung ciptaannya. Fumeripits berkualitas paradoks: imanen
sekaligus transenden alias utusan langit sekaligus penghuni bumi. Ialah medium
penyatu langit dan bumi bagi dunia orang Asmat. Dalam mitos ini episode Fumeripits
terbagi dua.
Pertama, saat ia terluka diserang oleh buaya di tengah
perjalanan. Ia mati oleh makhluk yang hidup di bumi/sungai. Kedua, saat ia
ditolong oleh burung Flaminggo dari langit. Kematian buaya di bumi dan
kesembuhan (bisa dibaca: kehidupan kembali) Fumeripits atas pertolongan burung
dari Langit memungkinkan munculnya kehidupan yang diwakili mewujudnya kedua
patung kayu menjadi sepasang suami-istri, nenek moyang Asmat. Di sini, langit
(yang diwakili sosok burung) begitu sakral-transenden, sementara sungai/bumi
bernilai profan-imanen.
Mitos ini pun memperlihatkan sikap paternalistik yang
cukup kuat pada masyarakat Asmat. Dari sosok Fumeripits yang berkelamin lelaki
inilah, nenek moyang Asmat tercipta. Juga bahwa mitos ini mengajari orang Asmat
bahwa pohon-pohon yang ada di sekitar mereka adalah “saudara” mereka sendiri.
Penghormatan terhadap pohon-pohon itu mengakibatkan suku Asmat terkenal dengan
ukiran-ukiran kayunya yang elok.
Masih banyak lagi mitologi yang tersebar di segenap
penjuru Nusantara, hingga pulau pulau terpencil. Dan kita akan kaget sendiri,
betapa “proses kejadian” alam semesta dalam mitos mitos tersebut sebagian
berbeda dengan kisah kisah genesis yang selama ini kita, para penganut agama
Ibrahim, yakini. Indonesia ini multietnis. Penyeragaman justru awal
petaka—namun kita selalu saja bersikap angkuh, merasa keyakinan atau
“mitologi”-nya yang paling sahih.
Ojel, 22
Agustus 2019
sumber foto: wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar