Penyamarataan Selera:
“Komunisme Primitif” Tanpa Sadar
Suatu hari saya berkunjung ke rumah seorang teman yang belum
dekat-dekat amat bada isya. Untuk menghormati saya, atas pertimbangan saya
pasti lapar, teman saya membuatkan mie rebus komplit dengan telurnya untuk
saya. Saya, yang memang perutnya mulai keroncongan, tentu menerima sajiannya
itu seraya ucapkan terima kasih – walau lambung saya sudah tak cocok dengan
mie, baik yang instan maupun pelengkap bakso.
Jujur, sejak kecil perut saya lumayan sensitif terhadap mie
(juga rujak, pempek, dan makanan asam-manis-pedas lainnya – makanan yang memang
merangsang nafsu makan siapa pun). Tapi, tak mungkin saya interupsi pada tuan
rumah yang belum dekat-dekat banget dengan saya itu. Dalam hati sebelumnya saya
berharap, dia menawari saya nasi goreng yang dijajakan si penjualnya yang
melintas dengan gerobaknya di gang depan rumahnya. Rupanya, ia menyamaratakan
bahwa semua orang, termasuk saya, oke-oke aja kalau disuguhi mie instan. Tak ada
pikiran di otaknya bahwa kapasitas dan kemampuan organ pencernaan setiap
manusia berbeda-beda.
Kasus kedua yang saya alami adalah saat rapat bersama tim
kerja. Seorang anggota tim (saya baru mengenalnya beberapa hari lalu saat tim
pertama rapat), yang juga pencetus berdirinya tim tersebut, inisiatif membeli
beberapa bungkus kopi instan, terdiri atas tiga merek yang berbeda, yang
sayangnya ketiga merek itu bukan kopi instan favorit saya. Karena itu saya
sengaja membeli sendiri sebungkus kopi instan yang mereknya memang kesukaan
saya sejak SMA dulu, untuk kemudian diseduh.
Minggu berikutnya, kala rapat lanjutan, kawan saya itu
membeli tiga pak kopi instan, masing- masing satu merek, juga semuanya bukan
kopi instan kesukaan saya (sejenis kopi krim). Ketika dia nanya mengapa saya
tak menyeduh kopi yang dibelinya, saya menjawab bahwa saya cuma suka kopi krim
merek A. Dia bilang, bukankah semua kopi krim sama saja; saya jawab: tidak. Ya,
dia pun tampaknya beranggapan bahwa semua penyuka kopi pasti bisa menikmati
kopi merek apa pun, tak peduli orang yang disuguhinya suka atau tidak. Dia
menyamaratakan selera orang lain dengan seleranya. Yang penting baginya: dia
sudah “terkesan” baik hati, peduli pada yang lain.
Kasus ketiga. Di komplek rumah saya ada sebuah warung nasi
yang makanannya enak-enak. Tapi ada satu yang mengganjal saya: semua makanannya
cenderung pedas-pedas. Saya suka makanan pedas, tapi kalau tiap makan harus pedas
terus, ya gak juga. Jadinya, saya berpindah beli makanan ke warung lain, yang
makanannya gak pedas-pedas (kalau pun pedas, masih bisa ditolerir oleh perut
saya).
Mengapa warung yang pertama itu masakannya pedas-pedas,
mungkin memang itulah selera si ibu pembuat dan penjaganya, atau paling tidak
selera suaminya. Ia menyamaratakan level kepedasan orang lain dengan level
kepedasan lidahnya sendiri atau lidah suaminya. Bahwa ketahanan lambung orang
lain sama dengan ketahanan lambungnya atau lambung suaminya. Padahal, sebagai
seorang pedagang, seharusnya si ibu itu menomorsatukan selera pembeli, termasuk
menurunkan level kepedasan makanan buatannya. Jika sayang sama suami atau ingin
memanjakan lidah sendiri, pisahkanlah bagian untuknya untuk kemudian dibubuhi
pedas sesuai seleranya.
Kalian pun pasti pernah mengalami kasus-kasus serupa, kan?
Di mana kalian harus terpaksa menurut pada “si pemilik modal” atau “si pemilik
nilai”. Selera, nilai, dan kebiasaan dirinyalah yang jadi indikator atau
barometer. Atau jangan-jangan, sebetulnya orang semacam tadi (seperti dua kawan
saya itu dan ibu tukang warung makanan tadi) tak begitu peduli pada “hak” kita,
baik sebagai kawan atau konsumen. Jangan-jangan, pelayanan “tulus” tersebut
hanya perwujudan “lips service” yang naluriah dalam alam bawah sadar bangsa ini.
Untuk kasus pertama dan kedua, apa susahnya sih menanyai dahulu orang yang akan
dijamu atau ditawarinya. Toh, dengan bertanya lebih dahulu, ia akan lebih “terlihat”
benar-benar peduli lahir-batin pada kita.
Apakah penyamarataan selera secara tak sadar itu ada
hubungannya dengan sistem sosial-ekonomi kuno yang diwariskan masa lalu oleh
leluhur bangsa ini? Leluhur kita kan (juga bangsa-bangsa kuno di wilayah lain)
adalah masyarakat komunal, di mana kepemilikan pribadi dipinggirkan sementara
nilai-nilai “gotong royong” dielu-elukan. Sebuah tipe masyarakat “komunisme
primitif”, yakni masyakarat yang hidup berburu dan meramu di zaman
Paleolitikum, di mana tak ada kelas penguasa dan kelas yang dikuasai karena
semua komponen masyarakat kerja bareng-bareng. Jika pun ada pemimpin, sang
pemimpin bukanlah pemilik alat-alat produksi; otoritasnya hanya sebatas pada
perkara upacara adat dan pemancang hukum adat.
Di zaman berburu-meramu, kalau berburunya dapat celeng
hutan, ya semuanya, mau lelaki yang ikut berburu atau wanita yang nunggu di
rumah, menyantap daging celeng buruan itu. Maju ke zaman agraris pra-sawah,
yakni periode bercocok tanam dan berhuma, di mana struktur kelas-sosial mulai
bercabang walau masih sederhana, kepemilikan tanah masih bersifat komunal.
Kalau “rakyat” makan beras, maka sesepuh kampung serta ahli nujumnya pun makan
beras hasil panen bersama. Sama rasa, sama rata. Memasuki periode
persawahanlah, kepemilikan pribadi mulai diteguhkan dan sistem moneter mulai
dikenal (silakan simak data-data pada pasasti-prasasti zaman Jawa kuno). Sistem
ini membutuhkan kontrol sosial yang lebih tegas dan pemimpin karismatik yang
bisa mempersatukan (kalau perlu dengan tangan besi) semua elemen sosial yang
berkasta; dan birokrasi pun otomatis mulai rumit.
Nah, orang Indonesia yang mayoritas alergi terhadap ideologi
“laten” komunisme berikut logo palu-aritnya, ternyata sebagian masih bermental
seperti ketiga profil yang saya sebutkan di atas tadi. Orang lain, yang tidak
atau belum dekat-dekat amat dengan dirinya, kerap digeneralisasi (disakompetdaunkeun kata orang Sunda).
Secara tak sadar, insting “komunisme pra-Marxis” masih beroperasi di zaman yang
lucunya kepemilikan pribadi justru dituhankan (lihatlah, setiap rumah terutama
di kota-kota besar dapat dipastikan punya minimal sebuah kendaraan bermotor,
masih cicil atau sudah lunas).
Manifesto yow yow yow!
Ojel SY, 5 Maret 2019
===
sumber foto: dictio.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar