Laman

Sabtu, 07 September 2019


Penyamarataan Selera: 
“Komunisme Primitif” Tanpa Sadar


Suatu hari saya berkunjung ke rumah seorang teman yang belum dekat-dekat amat bada isya. Untuk menghormati saya, atas pertimbangan saya pasti lapar, teman saya membuatkan mie rebus komplit dengan telurnya untuk saya. Saya, yang memang perutnya mulai keroncongan, tentu menerima sajiannya itu seraya ucapkan terima kasih – walau lambung saya sudah tak cocok dengan mie, baik yang instan maupun pelengkap bakso.


Jujur, sejak kecil perut saya lumayan sensitif terhadap mie (juga rujak, pempek, dan makanan asam-manis-pedas lainnya – makanan yang memang merangsang nafsu makan siapa pun). Tapi, tak mungkin saya interupsi pada tuan rumah yang belum dekat-dekat banget dengan saya itu. Dalam hati sebelumnya saya berharap, dia menawari saya nasi goreng yang dijajakan si penjualnya yang melintas dengan gerobaknya di gang depan rumahnya. Rupanya, ia menyamaratakan bahwa semua orang, termasuk saya, oke-oke aja kalau disuguhi mie instan. Tak ada pikiran di otaknya bahwa kapasitas dan kemampuan organ pencernaan setiap manusia berbeda-beda.



Kasus kedua yang saya alami adalah saat rapat bersama tim kerja. Seorang anggota tim (saya baru mengenalnya beberapa hari lalu saat tim pertama rapat), yang juga pencetus berdirinya tim tersebut, inisiatif membeli beberapa bungkus kopi instan, terdiri atas tiga merek yang berbeda, yang sayangnya ketiga merek itu bukan kopi instan favorit saya. Karena itu saya sengaja membeli sendiri sebungkus kopi instan yang mereknya memang kesukaan saya sejak SMA dulu, untuk kemudian diseduh.

Minggu berikutnya, kala rapat lanjutan, kawan saya itu membeli tiga pak kopi instan, masing- masing satu merek, juga semuanya bukan kopi instan kesukaan saya (sejenis kopi krim). Ketika dia nanya mengapa saya tak menyeduh kopi yang dibelinya, saya menjawab bahwa saya cuma suka kopi krim merek A. Dia bilang, bukankah semua kopi krim sama saja; saya jawab: tidak. Ya, dia pun tampaknya beranggapan bahwa semua penyuka kopi pasti bisa menikmati kopi merek apa pun, tak peduli orang yang disuguhinya suka atau tidak. Dia menyamaratakan selera orang lain dengan seleranya. Yang penting baginya: dia sudah “terkesan” baik hati, peduli pada yang lain.

Kasus ketiga. Di komplek rumah saya ada sebuah warung nasi yang makanannya enak-enak. Tapi ada satu yang mengganjal saya: semua makanannya cenderung pedas-pedas. Saya suka makanan pedas, tapi kalau tiap makan harus pedas terus, ya gak juga. Jadinya, saya berpindah beli makanan ke warung lain, yang makanannya gak pedas-pedas (kalau pun pedas, masih bisa ditolerir oleh perut saya).

Mengapa warung yang pertama itu masakannya pedas-pedas, mungkin memang itulah selera si ibu pembuat dan penjaganya, atau paling tidak selera suaminya. Ia menyamaratakan level kepedasan orang lain dengan level kepedasan lidahnya sendiri atau lidah suaminya. Bahwa ketahanan lambung orang lain sama dengan ketahanan lambungnya atau lambung suaminya. Padahal, sebagai seorang pedagang, seharusnya si ibu itu menomorsatukan selera pembeli, termasuk menurunkan level kepedasan makanan buatannya. Jika sayang sama suami atau ingin memanjakan lidah sendiri, pisahkanlah bagian untuknya untuk kemudian dibubuhi pedas sesuai seleranya.

Kalian pun pasti pernah mengalami kasus-kasus serupa, kan? Di mana kalian harus terpaksa menurut pada “si pemilik modal” atau “si pemilik nilai”. Selera, nilai, dan kebiasaan dirinyalah yang jadi indikator atau barometer. Atau jangan-jangan, sebetulnya orang semacam tadi (seperti dua kawan saya itu dan ibu tukang warung makanan tadi) tak begitu peduli pada “hak” kita, baik sebagai kawan atau konsumen. Jangan-jangan, pelayanan “tulus” tersebut hanya perwujudan “lips service” yang naluriah dalam alam bawah sadar bangsa ini. Untuk kasus pertama dan kedua, apa susahnya sih menanyai dahulu orang yang akan dijamu atau ditawarinya. Toh, dengan bertanya lebih dahulu, ia akan lebih “terlihat” benar-benar peduli lahir-batin pada kita.

Apakah penyamarataan selera secara tak sadar itu ada hubungannya dengan sistem sosial-ekonomi kuno yang diwariskan masa lalu oleh leluhur bangsa ini? Leluhur kita kan (juga bangsa-bangsa kuno di wilayah lain) adalah masyarakat komunal, di mana kepemilikan pribadi dipinggirkan sementara nilai-nilai “gotong royong” dielu-elukan. Sebuah tipe masyarakat “komunisme primitif”, yakni masyakarat yang hidup berburu dan meramu di zaman Paleolitikum, di mana tak ada kelas penguasa dan kelas yang dikuasai karena semua komponen masyarakat kerja bareng-bareng. Jika pun ada pemimpin, sang pemimpin bukanlah pemilik alat-alat produksi; otoritasnya hanya sebatas pada perkara upacara adat dan pemancang hukum adat.

Di zaman berburu-meramu, kalau berburunya dapat celeng hutan, ya semuanya, mau lelaki yang ikut berburu atau wanita yang nunggu di rumah, menyantap daging celeng buruan itu. Maju ke zaman agraris pra-sawah, yakni periode bercocok tanam dan berhuma, di mana struktur kelas-sosial mulai bercabang walau masih sederhana, kepemilikan tanah masih bersifat komunal. Kalau “rakyat” makan beras, maka sesepuh kampung serta ahli nujumnya pun makan beras hasil panen bersama. Sama rasa, sama rata. Memasuki periode persawahanlah, kepemilikan pribadi mulai diteguhkan dan sistem moneter mulai dikenal (silakan simak data-data pada pasasti-prasasti zaman Jawa kuno). Sistem ini membutuhkan kontrol sosial yang lebih tegas dan pemimpin karismatik yang bisa mempersatukan (kalau perlu dengan tangan besi) semua elemen sosial yang berkasta; dan birokrasi pun otomatis mulai rumit.

Nah, orang Indonesia yang mayoritas alergi terhadap ideologi “laten” komunisme berikut logo palu-aritnya, ternyata sebagian masih bermental seperti ketiga profil yang saya sebutkan di atas tadi. Orang lain, yang tidak atau belum dekat-dekat amat dengan dirinya, kerap digeneralisasi (disakompetdaunkeun kata orang Sunda). Secara tak sadar, insting “komunisme pra-Marxis” masih beroperasi di zaman yang lucunya kepemilikan pribadi justru dituhankan (lihatlah, setiap rumah terutama di kota-kota besar dapat dipastikan punya minimal sebuah kendaraan bermotor, masih cicil atau sudah lunas).

Manifesto yow yow yow!

Ojel SY, 5 Maret 2019

===
sumber foto: dictio.id 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar