Laman

Sabtu, 07 September 2019


Pedagang Indonesia

23 Juni 1596, empat kapal Belanda mendarat di pelabuhan Banten. Sang kapten armada, Cornelis de Houtman, lega, setelah 13 bulan berlayar dari kampung halamannya, bisa selamat di tujuan—inilah kali pertama orang Belanda mendarat di Indonesia. Baru saja kapal-kapalnya membuang sauh, ia melihat sejumlah pedagang Portugis naik ke kapalnya sebagai penghormatan dan segera menjelaskan kondisi perdagangan di Jawa serta memuji kesuburan dan kekayaan alam pulaunya. Setelah itu, orang-orang Portugis itu turun.


Esoknya, barulah para bangsawan Banten mengunjungi kapal de Houtman, lalu mengundang orang-orang Belanda itu berniaga bebas di pelabuhan. Tak selang berapa lama, Cornelis melihat serombongan perahu yang berisi pedagang pribumi, Cina, dan Gujarat mengitari kapal-kapalnya di dermaga. Tanpa dipanggil dan disuruh, para pedagang itu menaiki kapal-kapal Belanda. Serta merta saja, geladak kapal-kapal itu sontak seperti pasar. “Tak ada yang salah dan semuanya sempurna kecuali apa yang salah dengan kami sendiri,” kenang seorang pelaut Belanda yang ikut dalam pelayaran.



Bisa kita bayangkan, betapa kaget para awak armada bule itu melihat kenyataan baru itu. Para pedagang pribumi, bersama pedagang Asia lain, tanpa sungkan menawarkan dagangan pada mereka yang juga membawa barang dagangan untuk dijual di tanah asing. Benak kita yang hidup di abad kini segera membayangkan: sekelompok turis asing yang dibuntuti pedagang lokal yang terus menerus menawari mereka souvenir khas pariwisata sambil berseru “mister, mister!” sampai turis itu membelinya. Bagi Cornelis dan kanca-kanca, perilaku para pedagang di Banten tersebut cukup mengganggu. Sebaliknya, bagi pedagang Indonesia, pendatang (apalagi dari negeri yang sangat jauh) merupakan mangsa yang harus diburu uangnya, dan menjajakan dagangan hingga memasuki wilayah tamu merupakan hal lazim dan beradab.

Pasar, tempat semua hal diperjualbelikan, memang dunia yang riuh. Di sini, tatakrama istana tak berfungsi. Semua orang adalah produsen dan konsumen. Di pasar, juga di kota, tempat manusia menjual manusia lain yang tak punya kemerdekaan alias budak, aturan yang di desa dijalankan ketat tak lagi diindahkan. Namun, para pedagang di Banten itu—juga di kota-kota pelabuhan lain—tetap tak bisa meninggalkan tradisi udik mereka sebagai petani-peladang: menganggap orang lain atau pendatang seperti tetangga mereka di desa. Maka, wilayah kelompok lain, yang asing, dianggap sebagai wilayah mereka juga. Ketidaksopanan bagi orang Barat belum tentu sama bagi mereka.

 Di zaman Hindu-Buddha, pedagang bukan termasuk golongan Waisyakelompok sosial yang lumayan terhormat di bawah Kesatria. Karena itu, status pedagang masih di bawah petani, peladang, peternak, pengrajin. Di zaman Islam, kedudukan mereka terangkat, terutama di Pulau Jawa yang kuat tradisi Hindunya. Perubahan itu terlihat dari tergerusnya secara sangat perlahan tradisi berdagang ala pancawara—menggelar pasar selama sepekan alias lima hari di lima desa berbeda secara bergiliran—terutama di kota-pelabuhan (walau beberapa abad kemudian masih dipraktikkan di sejumlah kota). Para petani dan pehuma yang di zaman sebelumnya berdagang secara merata, kini bisa berdagang sekehendak hati asal panen tak gagal dan komoditas bumi serta industri rumah selalu tersedia. Keadaan ini memberikan kesempatan bagi mereka menjadi saudagar kaya raya walau tetap dengan mentalitas khas desa.

Di masa kerajaan-kerajaan Islam tumbuh pesat, komoditas rempah-rempah begitu diminati dan mengakibatkan pelabuhan menjadi begitu makmur dan dipenuhi pedagang Atas Angin. Jika pandai berbicara asing, tak jarang seorang pedagang didaulat menjadi syahbandar pelabuhan di mana di tangannyalah nasib para pedagang asing dan domestik berada. Makin banyak si pedagang asing memberinya uang atau hadiah barang, makin lebarlah kesempatan si pedagang untuk bisa bertemu penguasa kota untuk kemudian diizinkan berdagang dengan bebas—kalau beruntung diizinkan pula mendirikan kantor dagang. Para pedagang Eropa abad ke-16, dalam kronik-kroniknya, sering mengeluh jumlah cukai dan pajak yang dipungut dari syahbandar serta praktik KKN para pegawai cukai di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Namun mereka memilih berkompromi ketimbang interupsi. Sebagai pedagang, mereka lebih mementingkan pundi-pundi ketimbang hal-hal yang tak mendatangkan keuntungan walau sekeping pun.

Fakta lain tentang kebebalan pedagang Indonesia bisa kita lihat di tahun 1671 saat Pemerintah Agung Batavia bentukan VOC melarang campuran candu-tembakau untuk dikonsumsi warga dan penduduk Batavia di mana pelanggar akan didenda 20 ringgit. Arsip VOC mewartakan, di abad ke-17 sejumlah penduduk Batavia mencampur tembakau dengan candu, “sebuah campuran yang membuat pengisapnya tergila-gila” (saat itu selain dihisap melalui lintingan dan pipa rokok, candu dinikmati melalui bong alias tabung kaca khusus; candu alias madat sendiri didatangkan dari Benggali, India). Akibat larangan tersebut pelabuhan Sunda Kelapa sepi, tak lagi menarik minat nelayan dan pedagang Jawa sehingga merugikan para tukang sewa lapak di Pasar Ikan karena menurunnya jumlah penyewa lapak. Sadar larangan tersebut malah merugikan perekonomian Batavia, Pemerintah Batavia membebaskan uang sewa untuk dua setengah bulan (sebesar 2.075 ringgit) kepada pedagang penyewa lapak, malah setengah tahun kemudian memutuskan untuk turut langsung berdagang candu. Walau tak diberitakan bagaimana perkembangan selanjutnya, saya menduga bahwa sejak dikeluarkan kebijakan baru itu para pedagang dan nelayan pribumi kembali ramai berjualan di pasar dan pelabuhan tersebut, tentu sambil menghisap campuran candu-tembakau dengan bebas tanpa was-was. Rupanya, demi pemasukan pajak dan perputaran uang, Kompeni pun “takluk” kepada tabiat pedagang Indonesia.

Hingga kini, kebebalan pedagang Indonesia terhadap aturan masih bisa kita saksikan. Di trotoar jalan, yang seharusnya tempat pejalan kaki bisa berlenggang nyaman, dijadikan tempat jongko, kios, dan lesehan dagangan. Mereka, dengan mentalitas primordialnya, tetap tidak bisa membedakan hak mereka dari hak orang lain. Ini belum terhitung pedagang dadakan, yang selalu meramaikan tempat-tempat tertentu, biasanya di lapangan sebuah kompleks dan pada hari Minggu, untuk menjajakan dagangan tanpa peduli pada kemacetan jalan yang ditimbulkan olehnya.  Ketertiban di ruang publik belum tercatat dalam kamus hidup mereka.

Ketidaktahuan (atau kemalasan untuk tahu?) orang Indonesia akan hak-berdagang tampak pula saat mereka berhadapan dengan media sosialita. Pada akun Facebook, misalnya, betapa sering teman-teman saya menge-tag-kan barang jualannya pada laman akun saya, termasuk pada page grup “sejarah dan kebudayaan” di mana saya terlibat di dalamnya. Sementara, saya lihat betapa orang yang bangsanya lebih maju secara ekonomi-sosial-literer, perilaku pencantuman barang dagangan pada akun orang lain tidak tampak. Itulah cara (sebagian) orang Indonesia berdagang, tanpa diminta, tanpa ketuk pintu, menyelinap masuk ke wilayah privasi orang lain. Persis seperti pedagang yang memasuki geladak kapal-kapal de Houtman di pelabuhan Banten empat abad silam.

Rupanya, para pedagang itu, juga kita, kini, yang hidup dari hingar-bingar industri, sebetulnya tak pernah siap menjadi masyarakat industri dengan mentalitas yang seharusnya mendukungnya. Atau, kita belum meresapi kata haq dan privacy yang kita serap secara tak utuh dari bangsa lain? Kita baru menyerapnya sebatas bunyi dan arti sepintas-lalu, bukan sebagai prinsip.

Ojel Sansan Yusandi
Bandung, 18 Des. 13

 ====
foto; Pasar Baru Bandung zaman kolonial Belanda
sumber foto: pinterest 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar