Pedagang Indonesia
23 Juni 1596, empat
kapal Belanda mendarat di pelabuhan Banten. Sang kapten armada, Cornelis de
Houtman, lega, setelah 13 bulan berlayar dari kampung halamannya, bisa selamat
di tujuan—inilah kali pertama orang Belanda mendarat di Indonesia. Baru saja
kapal-kapalnya membuang sauh, ia melihat sejumlah pedagang Portugis naik ke
kapalnya sebagai penghormatan dan segera menjelaskan kondisi perdagangan di
Jawa serta memuji kesuburan dan kekayaan alam pulaunya. Setelah itu,
orang-orang Portugis itu turun.
Esoknya, barulah
para bangsawan Banten mengunjungi kapal de Houtman, lalu mengundang orang-orang
Belanda itu berniaga bebas di
pelabuhan. Tak selang berapa lama, Cornelis melihat serombongan perahu yang
berisi pedagang pribumi, Cina, dan Gujarat mengitari kapal-kapalnya di dermaga.
Tanpa dipanggil dan disuruh, para pedagang itu menaiki kapal-kapal Belanda.
Serta merta saja, geladak kapal-kapal itu sontak seperti pasar. “Tak ada yang
salah dan semuanya sempurna kecuali apa yang salah dengan kami sendiri,” kenang
seorang pelaut Belanda yang ikut dalam pelayaran.
Bisa kita bayangkan,
betapa kaget para awak armada bule itu melihat kenyataan baru itu. Para
pedagang pribumi, bersama pedagang Asia lain, tanpa sungkan menawarkan dagangan
pada mereka yang juga membawa barang dagangan untuk dijual di tanah asing.
Benak kita yang hidup di abad kini segera membayangkan: sekelompok turis asing
yang dibuntuti pedagang lokal yang terus menerus menawari mereka souvenir khas
pariwisata sambil berseru “mister, mister!” sampai turis itu membelinya. Bagi
Cornelis dan kanca-kanca, perilaku para pedagang di Banten tersebut cukup
mengganggu. Sebaliknya, bagi pedagang Indonesia, pendatang (apalagi dari negeri
yang sangat jauh) merupakan mangsa yang harus diburu uangnya, dan menjajakan
dagangan hingga memasuki wilayah tamu merupakan hal lazim dan beradab.
Pasar, tempat semua
hal diperjualbelikan, memang dunia yang riuh. Di sini, tatakrama istana tak
berfungsi. Semua orang adalah produsen dan konsumen. Di pasar, juga di kota,
tempat manusia menjual manusia lain yang tak punya kemerdekaan alias budak,
aturan yang di desa dijalankan ketat tak lagi diindahkan. Namun, para pedagang
di Banten itu—juga di kota-kota pelabuhan lain—tetap tak bisa meninggalkan
tradisi udik mereka sebagai petani-peladang: menganggap orang lain atau pendatang seperti tetangga mereka
di desa. Maka, wilayah kelompok lain, yang asing, dianggap sebagai wilayah
mereka juga. Ketidaksopanan bagi orang Barat belum tentu sama bagi mereka.
Di zaman Hindu-Buddha, pedagang bukan termasuk golongan
Waisya—kelompok
sosial yang lumayan terhormat di bawah Kesatria. Karena itu, status pedagang masih di bawah petani,
peladang, peternak, pengrajin. Di zaman Islam, kedudukan mereka terangkat, terutama di
Pulau Jawa yang kuat tradisi Hindunya. Perubahan itu terlihat dari tergerusnya secara sangat perlahan tradisi
berdagang ala pancawara—menggelar
pasar selama sepekan alias lima hari di lima desa berbeda secara
bergiliran—terutama di kota-pelabuhan (walau beberapa abad kemudian masih
dipraktikkan di sejumlah kota). Para petani dan
pehuma yang di zaman sebelumnya berdagang secara merata,
kini bisa berdagang sekehendak hati asal panen tak gagal dan komoditas bumi
serta industri rumah selalu tersedia. Keadaan ini memberikan kesempatan bagi
mereka menjadi saudagar kaya raya walau tetap dengan mentalitas khas desa.
Di masa kerajaan-kerajaan
Islam tumbuh pesat, komoditas rempah-rempah begitu diminati dan mengakibatkan
pelabuhan menjadi begitu makmur dan dipenuhi pedagang Atas Angin. Jika pandai
berbicara asing, tak jarang seorang pedagang didaulat menjadi syahbandar
pelabuhan di mana di tangannyalah nasib para pedagang asing dan domestik berada.
Makin banyak si pedagang asing memberinya uang atau hadiah barang, makin
lebarlah kesempatan si pedagang untuk bisa bertemu penguasa kota untuk kemudian
diizinkan berdagang dengan bebas—kalau beruntung diizinkan pula mendirikan
kantor dagang. Para pedagang Eropa abad ke-16, dalam kronik-kroniknya, sering
mengeluh jumlah cukai dan pajak yang dipungut dari syahbandar serta praktik KKN
para pegawai cukai di pelabuhan-pelabuhan Nusantara. Namun mereka memilih berkompromi
ketimbang interupsi. Sebagai pedagang, mereka lebih mementingkan pundi-pundi ketimbang hal-hal yang tak mendatangkan
keuntungan walau sekeping pun.
Fakta lain tentang
kebebalan pedagang Indonesia bisa kita lihat di tahun 1671 saat Pemerintah
Agung Batavia bentukan VOC melarang campuran candu-tembakau untuk dikonsumsi
warga dan penduduk Batavia di mana pelanggar akan didenda 20 ringgit. Arsip VOC
mewartakan, di abad ke-17 sejumlah penduduk Batavia mencampur tembakau dengan
candu, “sebuah campuran yang membuat pengisapnya tergila-gila” (saat itu selain
dihisap melalui lintingan dan pipa
rokok, candu dinikmati melalui bong alias tabung kaca khusus; candu alias madat sendiri didatangkan
dari Benggali, India). Akibat larangan tersebut pelabuhan Sunda Kelapa sepi, tak
lagi menarik minat nelayan dan pedagang Jawa sehingga merugikan para tukang
sewa lapak di Pasar Ikan karena menurunnya jumlah penyewa lapak. Sadar larangan
tersebut malah merugikan perekonomian Batavia, Pemerintah Batavia membebaskan
uang sewa untuk dua setengah bulan (sebesar 2.075 ringgit) kepada pedagang
penyewa lapak, malah setengah tahun kemudian memutuskan untuk turut langsung
berdagang candu. Walau tak diberitakan bagaimana perkembangan selanjutnya, saya
menduga bahwa sejak dikeluarkan kebijakan baru itu para pedagang dan nelayan
pribumi kembali ramai berjualan di pasar dan pelabuhan tersebut, tentu sambil
menghisap campuran candu-tembakau dengan bebas tanpa was-was. Rupanya, demi
pemasukan pajak dan perputaran uang, Kompeni pun “takluk” kepada tabiat
pedagang Indonesia.
Hingga kini, kebebalan
pedagang Indonesia terhadap aturan masih bisa kita saksikan. Di trotoar jalan,
yang seharusnya tempat pejalan kaki bisa berlenggang nyaman, dijadikan tempat
jongko, kios, dan lesehan dagangan. Mereka, dengan mentalitas primordialnya,
tetap tidak bisa membedakan hak mereka dari hak orang lain. Ini belum terhitung
pedagang dadakan, yang selalu meramaikan tempat-tempat tertentu, biasanya di
lapangan sebuah kompleks dan pada hari Minggu, untuk menjajakan dagangan tanpa
peduli pada kemacetan jalan yang ditimbulkan olehnya. Ketertiban di ruang publik belum tercatat dalam kamus hidup mereka.
Ketidaktahuan (atau
kemalasan untuk
tahu?) orang Indonesia akan hak-berdagang tampak pula saat mereka berhadapan
dengan media sosialita. Pada akun Facebook, misalnya, betapa sering teman-teman
saya menge-tag-kan barang jualannya pada
laman akun saya, termasuk pada page
grup “sejarah dan kebudayaan” di mana saya terlibat di dalamnya. Sementara,
saya lihat betapa orang yang bangsanya lebih maju secara ekonomi-sosial-literer,
perilaku pencantuman barang dagangan pada akun orang lain tidak tampak. Itulah
cara (sebagian) orang Indonesia berdagang, tanpa diminta, tanpa ketuk pintu, menyelinap
masuk ke wilayah privasi orang lain. Persis seperti pedagang yang memasuki
geladak kapal-kapal de Houtman di pelabuhan Banten empat abad silam.
Rupanya, para
pedagang itu, juga kita, kini, yang hidup dari hingar-bingar industri, sebetulnya tak pernah siap
menjadi masyarakat industri dengan mentalitas yang seharusnya mendukungnya. Atau,
kita belum meresapi kata haq dan privacy yang kita serap secara tak utuh dari
bangsa lain? Kita baru menyerapnya sebatas bunyi dan arti sepintas-lalu, bukan sebagai
prinsip.
Ojel Sansan Yusandi
Bandung, 18 Des. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar