Airlangga dan Nazar Politiknya
Penguasa yang baik pasti berusaha menepati janjinya.
Apalagi janji tersebut ditujukan kepada rakyat yang tak kenal lelah membantunya
saat berupaya menggulingkan kekuasaan lama agar dirinya bisa marak jadi
penguasa baru. Itu pula yang dilakukan Airlangga di tahun 952 Saka (1030 M).
Hal tersebut diberitakan dalam Prasasti Simpang—prasasti stela batu berhuruf dan berbahasa Jawa Kuno yang ditemukan di Mojokerto, Jawa
Timur. Prasasti
ini membeberkan penganugerahan Airlangga
kepada rakyat Desa Baru karena sebelumnya rakyat Desa Baru berjasa memberikan
penginapan kepadanya dan segenap tentaranya saat
hendak menyerbu Raja Hasin. Melihat loyalitas warga bersangkutan, Airlangga berucap nazar: jika berhasil mengalahkan Raja Hasin, ia akan menetapkan Desa Baru sebagai sima—wilayah yang dibebaspajakkan
oleh negara.
Selanjutnya, Airlangga dan pasukannya, dibantu warga
Baru, berhasil mengalahkan Raja Hasin. Tapi, rupanya Airlangga
lupa akan
janji sendiri hingga kemudian diingatkan
oleh Samgat Landayan Rarai Pu Bama dan Samgat Lucem Rarai Pu Manuritan (samgat adalah gelar sebuah pejabat istana; letak Hasin sendiri kemungkinan besar adalah
Desa Ngasinan kini). Sebagai raja bijak, penguasa yang kelak diarcakan bagai
Dewa Wisnu yang menunggang Garida sekaligus mantu Dharmmawangsa Teguh ini menepati janjinya, dengan menetapkan
Desa Baru sebagai sima melalui
prasasti ini. Sebagai sebuah akta hukum, prasasti ini pun menyebutkan sejumlah nama bangunan suci (candi atau pura) di Desa Baru, yakni Sang Hyang Huwan, Sang Hyang
Depur, Sang Hyang Kawyelan, dan Sang Hyang Roh. Seperti lazim di masa itu, setelah
ditetapkan sebagai sima maka sebagian
pendapatan desa bersangkutan, yang sebelumnya selalu diserahkan kepada raja
sebagai pajak tahunan, menjadi diperuntukkan seluruhnya bagi pemeliharaan
bangunan-bangunan suci tersebut.
Sejarah, bisa jadi, akan bicara lain seandainya Airlangga
tak melunasi nazar politiknya itu—juga kepada warga desa-desa lain yang
disebutkan dalam beberapa prasasti lain atas nama dirinya. Bukankah naluri
rakyat, di mana dan di zaman apa saja, lebih tajam ketimbang keris tempaan empu
paling handal dan sakti sekalipun? Mereka sangat peka untuk bisa merasakan mana
penguasa yang mencintai dan mana yang pura-pura mencintai mereka.
Ojel
7 Maret 16
NB: esai ini pernah dimuat di rubrik "Indonesia Once Upon" pada viewpaper Sunday People
Tidak ada komentar:
Posting Komentar