Laman

Rabu, 18 Januari 2017

Airlangga dan Nazar Politiknya

Penguasa yang baik pasti berusaha menepati janjinya. Apalagi janji tersebut ditujukan kepada rakyat yang tak kenal lelah membantunya saat berupaya menggulingkan kekuasaan lama agar dirinya bisa marak jadi penguasa baru. Itu pula yang dilakukan Airlangga di tahun 952 Saka (1030 M). 


Hal tersebut diberitakan dalam Prasasti Simpangprasasti stela batu berhuruf dan berbahasa Jawa Kuno yang ditemukan di Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti ini membeberkan penganugerahan Airlangga kepada rakyat Desa Baru karena sebelumnya rakyat Desa Baru berjasa memberikan penginapan kepadanya dan segenap tentaranya saat hendak menyerbu Raja Hasin. Melihat loyalitas warga bersangkutan, Airlangga berucap nazar: jika berhasil mengalahkan Raja Hasin, ia akan menetapkan Desa Baru sebagai sima—wilayah yang dibebaspajakkan oleh negara.

Selanjutnya, Airlangga dan pasukannya, dibantu warga Baru, berhasil mengalahkan Raja Hasin. Tapi, rupanya Airlangga lupa akan janji sendiri hingga kemudian diingatkan oleh Samgat Landayan Rarai Pu Bama dan Samgat Lucem Rarai Pu Manuritan (samgat adalah gelar sebuah pejabat istana; letak Hasin sendiri kemungkinan besar adalah Desa Ngasinan kini). Sebagai raja bijak, penguasa yang kelak diarcakan bagai Dewa Wisnu yang menunggang Garida sekaligus mantu Dharmmawangsa Teguh ini menepati janjinya, dengan menetapkan Desa Baru sebagai sima melalui prasasti ini. Sebagai sebuah akta hukum, prasasti ini pun menyebutkan sejumlah nama bangunan suci (candi atau pura) di Desa Baru, yakni Sang Hyang Huwan, Sang Hyang Depur, Sang Hyang Kawyelan, dan Sang Hyang Roh. Seperti lazim di masa itu, setelah ditetapkan sebagai sima maka sebagian pendapatan desa bersangkutan, yang sebelumnya selalu diserahkan kepada raja sebagai pajak tahunan, menjadi diperuntukkan seluruhnya bagi pemeliharaan bangunan-bangunan suci tersebut.

Sejarah, bisa jadi, akan bicara lain seandainya Airlangga tak melunasi nazar politiknya itu—juga kepada warga desa-desa lain yang disebutkan dalam beberapa prasasti lain atas nama dirinya. Bukankah naluri rakyat, di mana dan di zaman apa saja, lebih tajam ketimbang keris tempaan empu paling handal dan sakti sekalipun? Mereka sangat peka untuk bisa merasakan mana penguasa yang mencintai dan mana yang pura-pura mencintai mereka.


Ojel 
7 Maret 16

NB: esai ini pernah dimuat di rubrik "Indonesia Once Upon" pada viewpaper Sunday People

Tidak ada komentar:

Posting Komentar