Laman

Jumat, 06 Januari 2017

biudak di batavia indonesia
Lukisan pelukis Belanda tentang suasana di samping Stadhuis
(kini Museum Fatahillah) di Batavia abad ke-17.
Tampak seorang budak berjalan menanggung pikulan di belakang seekor anjing

Moses van Bengale, Seorang Budak di Batavia 


Abang dan None. Kenalin, gue Moses van Bengale, seorang budak di sebuah kota kosmopolitan bernama Batavia di abad ke-17.

Tahu kan Batavia? Kota yang didirikan di atas puing-puing Kota Jayakarta tahun 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen alias Si Murjangkung, Gubernur Jenderal VOC. Olehnya Batavia dijadikan kantor pusat baru VOC yang sebelumnya berada nun jauh di Ambon, dengan alasan simpel saja: karena berada di jalur perdagangan rempah-rempah. Sangat strategis untuk bisa memonopoli distribusi cengkih, pala, dan merica, yang saat itu jadi komoditas primadona perdagangan global. Dari Batavialah, imperialisme Belanda atas Nusantara sesungguhnya dimulai.

Aku sendiri berasal dari Benggali (kini Bangladesh). Saat itu, tahun 1660, Kota Nagapatnam, yang sedang kukunjungi dan dikuasai VOC, dikepung penguasa setempat. Para penyerang berhasil membumihanguskan seluruh panen sekitar kota itu. Akibatnya? Krisis pangan. Ribuan warga kelaparan dan melarikan diri. Banyak lelaki yang menjual anak-istri mereka hanya untuk bisa tetap hidup, sementara di jalan-jalan kota ratusan mayat menumpuk. Harga manusia yang dijual itu paling rendah 4-5 gulden. Pegawai dan serdadu VOC pun hengkang dari sana, seraya memboyong 8 – 10 ribu budak belian ke sejumlah koloni mereka yang lain seperti Jaffnapatnam dan Colombo di Sri Langka serta Batavia. Dalam salah satu perahu yang berlayar menuju Batavia itulah aku, yang berpisah dengan orangtuaku saat pembumihangusan kota itu, duduk dirantai berdesakan dengan budak-budak belian lain, laki-perempuan. Nasib kodok.

Setiba di Batavia, aku jadi hamba seorang penjabat sipil VOC. Oleh juraganku, aku dibaptis lantas diberi nama Nasrani yang keren: Moses van Bengale. Agar keimananku atas ajaran Kristen-Kalvinis terjaga, majikanku kerap mendatangkan seorang pendeta sinyo alias pendeta kulit hitam alias meester keliling guna menceramahiku serta para budak lain tentang kasih sayang Yesus, yang pastinya itu menyedot uang majikan. Tak jarang pula majikan Eropa mendatangkan dokter guna memeriksa kesehatan dan kelayakan para budak. Di tempat baru ini, aku jadi terbiasa cakap Melayu dan Portugis-pasar, juga secuil cas-cis-cus kosakata Belanda.

Aku dan tiga budak lainnya tinggal di samping kebun belakang rumah. Berupa gubuk sangat amat sederhana sekali. Pukul sembilan malam, saat warung-warung minum tutup, aku bertugas membawa wadah tinja dari kakus alias gemackstoel menuju parit terdekat untuk membuangnya. Tugas lain: memotong rumput di kebun, antar-jeput nyonya rumah, seorang wanita Mestizo—campuran Eropa dengan kulit bewarna—berusia 30 tahun ke pasar, ke Gereja Belanda dekat Balaikota, serta menemani anak majikan, gadis belasan tahun yang amboy nian cantiknya (seperti Sophia Lacuba sewaktu gadis!), ke mana pun pergi atau sekadar keliling kota pakai sampan sewaan di atas parit-parit Batavia. Pernah pula aku terpaksa memecuti budak lain, yang tak lain kawanku juga, karena dia ketahuan membelanjakan uang majikan di sebuah kedai arak. Ente-ente, Abang dan None, mungkin tak tahu, di hampir setiap kebun belakang rumah orang Olanda terdapat tiang tempat budak diikat dan dipecuti. Memang, ada larangan bagi seorang budak untuk mabuk arak atau tuak, berjudi, dan isap candu.  Orang Kompeni punya macam!

Salah seorang budak perempuan majikanku, asal Manggarai, secara rahasia dijadikan gundik tuan rumah. Cilakanya, budak itu hamil dan melahirkan anak. Pecahlah pertengkaran antara tuan dengan nyonya rumah. Tapi, saking lihainya tuanku itu merayu sang bini, maka mereka tak jadi cerai. Hasilnya: si “anak haram” itu diserahkan ke Panti Yatim Piatu yang berada di Kota. Kabarnya, anak tak beruntung itu diadopsi oleh seorang warga bebas Eropah, sehingga jadi warga bebas, bukan budak seperti bunda kandungnya. Pihak pengadopsi membuat akta pembebasan (akta emansipasi) yang dibuat oleh notaries, dan akta ini harus diperlihatlan kepada Dewan Gereja jika diminta. Ibunya sendiri dijual kepada seorang Singkeh di Manggadua, luar tembok Kota. Kasihan.

Dua tahun mengabdi, masalah pun terbit. Karena disinyalir terlalu akrab dengan si noni yang umurnya 3 tahun di atasku itu, aku dijual kepada seorang Mardiker warga Tugu oleh majikanku seharga 70 ringgit. Hidup di rumah orang Mardiker ternyata lebih semrawut, Abang dan None. Orang Mardiker itu—budak atau tawanan perang yang berasal dari Hindustan sepertiku, atau Malaka, atau mana saja, bisa Muslim atau Hindu, yang lalu dibebaskan sebagai budak asal jadi penganut Protestan seperti orang Olanda—rajin amat mengirim dua budak perempuannya ke jalan-jalan, terutama gerbang-gerbang kota, untuk melacurkan diri. Keduanya kudu bawa pulang paling sedikit satu real per hari guna diserahkan ke si majikan. Itulah nasib budak di mana pun. Dijadikan mesin uang bagi sang juragan. Malah, satu di antara mereka lantas dijual seharga 60 ringgit karena majikanku butuh duit buat beli candu (sebagai perbandingannya, harga sehelai kain kafan adalah 4 ringgit). Majikan adalah tuhan bagi budak-budak mereka. Jika si budak jatuh sakit yang tak tertolong atau jadi tua, enteng saja si majikan mengusirnya. Budak yang terusir biasanya jadi fakir miskin, pengemis, pelacur kelas teri, pencuri profesional, atau perampok yang doyan madat. Kota yang sarat masalah sosial yang ruwet.

Karena sering diperlakukan tak sedap oleh majikan, banyak budak yang akhirnya nekad. Seorang budak tetanggaku, karena sakit hati berani meracuni si majikan dengan racun tikus yang didapat murah dari warung-warung orang Cina yang banyak tersebar di Kota Batavia Barat dan luar tembok Kota. Setelah tertangkap, si budak kelahiran Batavia itu dihukum ngeri: digeleng oleh roda kereta hingga remuk di depan Stadhuis alias Balaikota (kini Museum Fatahillah), ditonton warga Batavia. Memang Pemerintah Agung Batavia cukup keras menegakkan hukum di tengah masyarakat yang heterogen dan cenderung susah diatur. Bagi yang mencoba meracuni orang, maka siap-siap saja ia disalib lalu dicekik di depan Balaikota, lalu mayatnya dibakar. Cik, cik, cik! Berkenaan dengan penyalahgunaan racun tikus, Pemerintah Batavia lalu melarang penjualan semua jenis racun di dalam Kota dan luar Kota (Ommelanden), dan racun hanya bisa dibeli di toko milik Kompeni. Pintar orang Olanda!

Di samping pembunuhan, banyak budak yang sering menculik dan merampok sesama budak untuk diserahkan kepada majikan baru. Agar tak seterusnya jadi budak, sebagian, terutama budak wanita, berusaha untuk kawin-mawin dengan warga bebas alias vrijburger, sehingga ia sendiri bisa jadi warga bebas. Dan majikan itu tak selamanya orang Eropah, Cina, Hindustan, Persia, atau Arab; banyak pula orang Bali, Bugis, Melayu, Jawa, Deli, dan bumiputra lainnya. Banyak pula wanita Bali yang penjual budak sesama orang Bali, orang Makassar dan Bugis menjual budak orang Mandar, Sumbawa, Ende, dan Maros; orang Batak marga A memperbudak orang Batak marga B; orang Melayu Sumatra memperbudak orang-orang Sumatra pedalaman yang tak diadabkan oleh peradaban Kristen atau Islam. Buktinya? Tahun 1689-1690 diketahui: dari 874 penjual budak, 385 di antaranya adalah orang Nusantara sendiri, 199 orang Cina, 182 orang Eropah, 89 orang Mardiker, dan 20 orang Moor (terutama Muslim asal India). Rincinya, wanita penjual budak terdiri dari 9 wanita Cina, 40 wanita Eropa, dan 21 wanita Mardiker. Dari 385 penjual budak orang Nusantara, 179 adalah wanita yang sebagian besar berasal dari Bali, yakni 99 orang, selebihnya adalah 47 wanita Batavia dan sisanya wanita asal Nusantara yang lain. Sebagian besar penjual budak Hindia Belanda (Nusantara) itu tinggal di luar tembok Kota.

Tapi, bila beranggapan perbudakan itu ciptaan Kompeni, maka kita keliru besar. Ney, ney, ney, tuan sinyo. Jauh sebelum orang Eropah buang sauh di pantai-pantai Nusantara, perbudakan telah lazim di tanah ini. Penyebabnya? Perang yang kerap berkecamuk dan melahirkan tawanan perang. Maraknya perjudian di mana yang kalah nekat menggadaikan hidupnya. Hutang yang tak bisa dibayar tepat waktu. Perompakan di laut yang bersimarajalela dan tak kenal belas kasih. Jaringan perdagangan budak itu makin melebar ketika orang-orang Islam, disusul orang-orang Eropa-Kristen, ikut terjun langsung ke kancah perniagaan di tanah yang kemudian jadi koloni mereka, temporer atau permanen. Budak merupakan pondasi  ekonomi setiap bangsa—yang baru dihapuskan secara resmi di abad ke-19. Makin sering perang makin banyaklah budak-budak. Lihatlah kitab suci umat Nasrani, Islam, dan Hindu, di mana pasti membahas aturan-aturan mengenai perbudakan.

Dan Batavia hanyalah salah satu kota pesisir modern yang tiang-tiang perekonomiannya disangga oleh meriahnya perbudakan. Kota ini dirancang terutama sebagai tempat mengumpulkan uang bagi orang Olanda dan Eropah. Habis masa dinas, harta telah terkantongi, pulanglah mereka ke negeri moyangnya, meninggalkan nyai-nyai bunting dan anak-anak Eurosia yang tak pernah dianggap sebagai orang Barat oleh babehnya. Batavia kota bisnis, Abang-None, hingga sekarang setelah jadi Jakarta. Karena itu, pemkot Batavia menelurkan peraturan: semua majikan yang mengizinkan budaknya bekerja atau pergi ke luar Kota agar melengkapinya dengan surat identitas, dengan begitu dapat diketahui siapa majikannya. Tanggal 3 Mei 1686, ada pengumuman anyar di Batavia bahwa seorang budak bisa dibebaskan melalui surat wasiat majikan. Jika si budak tak mampu membiayai hidupnya selama 6 tahun ke depan maka ia akan jadi milik ahli waris si majikan yang disebutkan dalam surat. Kompeni hendak membatasi gelombang pembebasan budak. Siapa suruh datang ke Batavia!

Tentu, tak semua majikan hanya ingin dilayani. Banyak yang berhati lapang membebaskan budak-budaknya. Ada seorang wanita berdarah Cina-Melayu, istri seorang Melayu bernama Encik Samsu, pergi ke notaris saat sang suami pergi untuk urusan dagang. Di kantor notaris si istri membuat akta (ia diberi kebebasan oleh suami membuat akta), di mana dengan akta itu ia mewariskan 100 ringgit kepada Wan Abdul Bagus Kapiten Melayu, dan kepada seorang pedagang Cina dengan jumlah uang yang sama. Ia pun mewariskan 50 ringgit kepada seorang Cina, 200 ringgit masing-masing kepada wanita Melayu bernama Matsimbung dan wanita Cina bernama Ganti Ong Nio (keduanya Cina Peranakan). Kepada anak perempuan angkatnya, wanita berhati mulia itu mewariskan sejumlah kain dan busana berharga. Di akhir surat wasiatnya, bila meninggal, ia membebaskan sejumlah budak, yakni budak perempuan bernama Gambeer asal Borneo, Sadja asal Mangray, Anglong asal Bali, dan Djohor asal Quilangh. 

Berbeda dengan keluarga Eropa, keluarga Mardiker—juga keluarga bumiputra lainnya—cenderung longgar dalam mematuhi aturan dan hukum. Nyonya rumahku sering berbuat serong dengan budaknya asal Ende yang bertubuh gelap, tegap, dan cukup tampan, tatkala suaminya pergi dinas dua tahun di Sumatra. Sialnya, rahasia itu terkuak, mengakibatkan si nyonya dipenjara hingga 50 tahun serta denda 80 real! Aku sendiri yang sudah menghamba 4 tahun? Ambil langah seribu ke Banten secara sembunyi-sembunyi, di mana hubungan diplomasi Sultan Ageng Tirtaya dengan Kompeni kembali memanas, karena tak ingin ketahuan. Jujur saja, Abang-None, aku pun pernah bermadu kasih dengan si nyonya montok itu, walau tak sesering budak Ende itu.

Di Banten, lagi-lagi aku jadi budak. Majikanku kini seorang saudagar Cina-Hokkian yang tinggal di Pecinan, sebelah barat Kali Cibanten yang memisahkannya dengan tembok barat Kota Banten. Sungguh ajaib seorang Tionghoa mau mengambil hamba sahaya seorang budak asal Asia Selatan. Di rumahnya, dekat dengan Loji Inggris, aku dapat tugas: menjual candu yang diharamkan di Banten tapi banyak peminatnya di Pulau Jawa. Untuk kembali ke Benggali, malas nian. Kusudah merasa jadi orang Nusa Jawa berbangsa Betawi-Melayu. Lagi pula oleh si babah itu aku dikawinkan dengan budak perempuannya asal Bima, gundiknya sendiri dan sudah punya satu anak hasil hubungannya dengan si babah. Bekas belum tentu rongsokan, ya kan? Puji Tuhan!

Oh, budak peradaban yang acapkali keruh—bagai kulit keniscayaan nasibku serta Ciliwung pembelah Batavia, yang tiada pernah sepi dan mustahil suci itu!


Ojel
3 Januari 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar