Lukisan pelukis Belanda tentang suasana di samping Stadhuis (kini Museum Fatahillah) di Batavia abad ke-17. Tampak seorang budak berjalan menanggung pikulan di belakang seekor anjing |
Moses van Bengale, Seorang Budak di Batavia
Abang dan None. Kenalin, gue Moses van Bengale, seorang budak di sebuah kota
kosmopolitan bernama Batavia di abad ke-17.
Tahu
kan Batavia? Kota yang didirikan di atas puing-puing Kota Jayakarta tahun 1619
oleh Jan Pieterszoon Coen alias Si Murjangkung, Gubernur Jenderal VOC. Olehnya
Batavia dijadikan kantor pusat baru VOC yang sebelumnya berada nun jauh di
Ambon, dengan alasan simpel saja: karena berada di jalur perdagangan
rempah-rempah. Sangat strategis untuk bisa memonopoli distribusi cengkih, pala,
dan merica, yang saat itu jadi komoditas primadona perdagangan global. Dari
Batavialah, imperialisme Belanda atas Nusantara sesungguhnya dimulai.
Aku sendiri
berasal dari Benggali (kini Bangladesh). Saat itu, tahun 1660, Kota Nagapatnam,
yang sedang kukunjungi dan dikuasai VOC, dikepung penguasa setempat. Para
penyerang berhasil membumihanguskan seluruh panen sekitar kota itu. Akibatnya?
Krisis pangan. Ribuan warga kelaparan dan melarikan diri. Banyak lelaki yang menjual
anak-istri mereka hanya untuk bisa tetap hidup, sementara di jalan-jalan kota
ratusan mayat menumpuk. Harga manusia yang dijual itu paling rendah 4-5 gulden.
Pegawai dan serdadu VOC pun hengkang dari sana, seraya memboyong 8 – 10 ribu budak
belian ke sejumlah koloni mereka yang lain seperti Jaffnapatnam dan Colombo di Sri
Langka serta Batavia. Dalam salah satu perahu yang berlayar menuju Batavia
itulah aku, yang berpisah dengan orangtuaku saat pembumihangusan kota itu, duduk
dirantai berdesakan dengan budak-budak belian lain, laki-perempuan. Nasib
kodok.
Setiba di Batavia,
aku jadi hamba seorang penjabat sipil VOC. Oleh juraganku,
aku dibaptis lantas diberi nama Nasrani yang keren: Moses van Bengale. Agar
keimananku atas ajaran Kristen-Kalvinis terjaga, majikanku kerap mendatangkan seorang
pendeta sinyo alias pendeta kulit hitam alias meester keliling guna menceramahiku serta para budak lain tentang kasih
sayang Yesus, yang pastinya itu menyedot uang majikan. Tak jarang pula majikan
Eropa mendatangkan dokter guna memeriksa kesehatan dan kelayakan para budak. Di
tempat baru ini, aku jadi terbiasa cakap Melayu dan Portugis-pasar, juga secuil
cas-cis-cus kosakata Belanda.
Aku dan
tiga budak lainnya tinggal di samping kebun belakang rumah. Berupa gubuk sangat
amat sederhana sekali. Pukul sembilan malam, saat warung-warung minum tutup, aku
bertugas membawa wadah tinja dari kakus alias gemackstoel menuju parit terdekat untuk membuangnya. Tugas lain: memotong
rumput di kebun, antar-jeput nyonya rumah, seorang wanita Mestizo—campuran
Eropa dengan kulit bewarna—berusia 30 tahun ke pasar, ke Gereja Belanda dekat
Balaikota, serta menemani anak majikan, gadis belasan tahun yang amboy nian
cantiknya (seperti Sophia Lacuba sewaktu gadis!), ke mana pun pergi atau
sekadar keliling kota pakai sampan sewaan di atas parit-parit Batavia. Pernah
pula aku terpaksa memecuti budak lain, yang tak lain kawanku juga, karena dia
ketahuan membelanjakan uang majikan di sebuah kedai arak. Ente-ente, Abang dan
None, mungkin tak tahu, di hampir setiap kebun belakang rumah orang Olanda terdapat
tiang tempat budak diikat dan dipecuti. Memang, ada larangan bagi seorang budak
untuk mabuk arak atau tuak, berjudi, dan isap candu. Orang Kompeni punya macam!
Salah seorang
budak perempuan majikanku, asal Manggarai, secara rahasia dijadikan gundik tuan
rumah. Cilakanya, budak itu hamil dan melahirkan anak. Pecahlah pertengkaran
antara tuan dengan nyonya rumah. Tapi, saking lihainya tuanku itu merayu sang
bini, maka mereka tak jadi cerai. Hasilnya: si “anak haram” itu diserahkan ke
Panti Yatim Piatu yang berada di Kota. Kabarnya, anak tak beruntung itu
diadopsi oleh seorang warga bebas Eropah, sehingga jadi warga bebas, bukan
budak seperti bunda kandungnya. Pihak pengadopsi membuat akta pembebasan (akta
emansipasi) yang dibuat oleh notaries, dan akta ini harus diperlihatlan kepada
Dewan Gereja jika diminta. Ibunya sendiri dijual kepada seorang Singkeh di
Manggadua, luar tembok Kota. Kasihan.
Dua tahun
mengabdi, masalah pun terbit. Karena disinyalir terlalu akrab dengan si noni
yang umurnya 3 tahun di atasku itu, aku dijual kepada seorang Mardiker warga
Tugu oleh majikanku seharga 70 ringgit. Hidup di rumah orang Mardiker ternyata
lebih semrawut, Abang dan None. Orang Mardiker itu—budak atau tawanan perang yang
berasal dari Hindustan sepertiku, atau Malaka, atau mana saja, bisa Muslim atau
Hindu, yang lalu dibebaskan sebagai budak asal jadi penganut Protestan seperti
orang Olanda—rajin amat mengirim dua budak perempuannya ke jalan-jalan,
terutama gerbang-gerbang kota, untuk melacurkan diri. Keduanya kudu bawa pulang
paling sedikit satu real per hari guna diserahkan ke si majikan. Itulah nasib
budak di mana pun. Dijadikan mesin uang bagi sang juragan. Malah, satu di
antara mereka lantas dijual seharga 60 ringgit karena majikanku butuh duit buat
beli candu (sebagai perbandingannya, harga sehelai kain kafan adalah 4 ringgit).
Majikan adalah tuhan bagi budak-budak mereka. Jika si budak jatuh sakit yang
tak tertolong atau jadi tua, enteng saja si majikan mengusirnya. Budak yang
terusir biasanya jadi fakir miskin, pengemis, pelacur kelas teri, pencuri
profesional, atau perampok yang doyan madat. Kota yang sarat masalah sosial
yang ruwet.
Karena sering diperlakukan tak sedap oleh majikan, banyak
budak yang akhirnya nekad. Seorang budak tetanggaku, karena sakit hati berani meracuni
si majikan dengan racun tikus yang didapat murah dari warung-warung orang Cina
yang banyak tersebar di Kota Batavia Barat dan luar tembok Kota. Setelah
tertangkap, si budak kelahiran Batavia itu dihukum ngeri: digeleng oleh roda
kereta hingga remuk di depan Stadhuis
alias Balaikota (kini Museum Fatahillah), ditonton warga Batavia. Memang
Pemerintah Agung Batavia cukup keras menegakkan hukum di tengah masyarakat yang
heterogen dan cenderung susah diatur. Bagi yang mencoba meracuni orang, maka
siap-siap saja ia disalib lalu dicekik di depan Balaikota, lalu mayatnya
dibakar. Cik, cik, cik! Berkenaan dengan penyalahgunaan racun tikus, Pemerintah
Batavia lalu melarang penjualan semua jenis racun di dalam Kota dan luar Kota (Ommelanden), dan racun hanya bisa dibeli
di toko milik Kompeni. Pintar orang Olanda!
Di samping pembunuhan, banyak budak yang sering menculik dan
merampok sesama budak untuk diserahkan kepada majikan baru. Agar tak seterusnya
jadi budak, sebagian, terutama budak wanita, berusaha untuk kawin-mawin dengan
warga bebas alias vrijburger,
sehingga ia sendiri bisa jadi warga bebas. Dan majikan itu tak selamanya orang
Eropah, Cina, Hindustan, Persia, atau Arab; banyak pula orang Bali, Bugis, Melayu,
Jawa, Deli, dan bumiputra lainnya. Banyak pula wanita Bali yang penjual budak
sesama orang Bali, orang Makassar dan Bugis menjual budak orang Mandar,
Sumbawa, Ende, dan Maros; orang Batak marga A memperbudak orang Batak marga B;
orang Melayu Sumatra memperbudak orang-orang Sumatra pedalaman yang tak
diadabkan oleh peradaban Kristen atau Islam. Buktinya? Tahun 1689-1690
diketahui: dari 874 penjual budak, 385 di antaranya adalah orang Nusantara
sendiri, 199 orang Cina, 182 orang Eropah, 89 orang Mardiker, dan 20 orang Moor
(terutama Muslim asal India). Rincinya, wanita penjual budak terdiri dari 9
wanita Cina, 40 wanita Eropa, dan 21 wanita Mardiker. Dari 385 penjual budak
orang Nusantara, 179 adalah wanita yang sebagian besar berasal dari Bali, yakni
99 orang, selebihnya adalah 47 wanita Batavia dan sisanya wanita asal Nusantara
yang lain. Sebagian besar penjual budak Hindia Belanda (Nusantara) itu tinggal
di luar tembok Kota.
Tapi, bila beranggapan perbudakan itu ciptaan Kompeni,
maka kita keliru besar. Ney, ney, ney, tuan sinyo. Jauh sebelum orang Eropah
buang sauh di pantai-pantai Nusantara, perbudakan telah lazim di tanah ini.
Penyebabnya? Perang yang kerap berkecamuk dan melahirkan tawanan perang.
Maraknya perjudian di mana yang kalah nekat menggadaikan hidupnya. Hutang yang
tak bisa dibayar tepat waktu. Perompakan di laut yang bersimarajalela dan tak
kenal belas kasih. Jaringan perdagangan budak itu makin melebar ketika
orang-orang Islam, disusul orang-orang Eropa-Kristen, ikut terjun langsung ke
kancah perniagaan di tanah yang kemudian jadi koloni mereka, temporer atau
permanen. Budak merupakan pondasi
ekonomi setiap bangsa—yang baru dihapuskan secara resmi di abad ke-19.
Makin sering perang makin banyaklah budak-budak. Lihatlah kitab suci umat
Nasrani, Islam, dan Hindu, di mana pasti membahas aturan-aturan mengenai
perbudakan.
Dan Batavia hanyalah salah satu kota pesisir modern yang
tiang-tiang perekonomiannya disangga oleh meriahnya perbudakan. Kota ini
dirancang terutama sebagai tempat mengumpulkan uang bagi orang Olanda dan
Eropah. Habis masa dinas, harta telah terkantongi, pulanglah mereka ke negeri
moyangnya, meninggalkan nyai-nyai bunting dan anak-anak Eurosia yang tak pernah
dianggap sebagai orang Barat oleh babehnya. Batavia kota bisnis, Abang-None, hingga
sekarang setelah jadi Jakarta. Karena itu, pemkot Batavia menelurkan peraturan:
semua majikan yang mengizinkan budaknya bekerja atau pergi ke luar Kota agar
melengkapinya dengan surat identitas, dengan begitu dapat diketahui siapa
majikannya. Tanggal 3 Mei 1686, ada pengumuman anyar di Batavia bahwa seorang
budak bisa dibebaskan melalui surat wasiat majikan. Jika si budak tak mampu
membiayai hidupnya selama 6 tahun ke depan maka ia akan jadi milik ahli waris
si majikan yang disebutkan dalam surat. Kompeni hendak membatasi gelombang
pembebasan budak. Siapa suruh datang ke Batavia!
Tentu,
tak semua majikan hanya ingin dilayani. Banyak yang berhati lapang membebaskan
budak-budaknya. Ada seorang wanita berdarah Cina-Melayu, istri seorang Melayu
bernama Encik Samsu, pergi ke notaris saat sang suami pergi untuk urusan
dagang. Di kantor notaris si istri membuat akta (ia diberi kebebasan oleh suami
membuat akta), di mana dengan akta itu ia mewariskan 100 ringgit kepada Wan
Abdul Bagus Kapiten Melayu, dan kepada seorang pedagang Cina dengan jumlah uang
yang sama. Ia pun mewariskan 50 ringgit kepada seorang Cina, 200 ringgit
masing-masing kepada wanita Melayu bernama Matsimbung dan wanita Cina bernama
Ganti Ong Nio (keduanya Cina Peranakan). Kepada anak perempuan angkatnya, wanita
berhati mulia itu mewariskan sejumlah kain dan busana berharga. Di akhir surat
wasiatnya, bila meninggal, ia membebaskan sejumlah budak, yakni budak perempuan
bernama Gambeer asal Borneo, Sadja asal Mangray, Anglong asal Bali, dan Djohor
asal Quilangh.
Berbeda dengan keluarga Eropa, keluarga Mardiker—juga
keluarga bumiputra lainnya—cenderung longgar dalam mematuhi aturan dan hukum.
Nyonya rumahku sering berbuat serong dengan budaknya asal Ende yang bertubuh gelap,
tegap, dan cukup tampan, tatkala suaminya pergi dinas dua tahun di Sumatra. Sialnya,
rahasia itu terkuak, mengakibatkan si nyonya dipenjara hingga 50 tahun serta denda
80 real! Aku sendiri yang sudah menghamba 4 tahun? Ambil langah seribu ke
Banten secara sembunyi-sembunyi, di mana hubungan diplomasi Sultan Ageng
Tirtaya dengan Kompeni kembali memanas, karena tak ingin ketahuan. Jujur saja, Abang-None,
aku pun pernah bermadu kasih dengan si nyonya montok itu, walau tak sesering
budak Ende itu.
Di Banten, lagi-lagi aku jadi budak. Majikanku kini seorang
saudagar Cina-Hokkian yang tinggal di Pecinan, sebelah barat Kali Cibanten yang
memisahkannya dengan tembok barat Kota Banten. Sungguh ajaib seorang Tionghoa
mau mengambil hamba sahaya seorang budak asal Asia Selatan. Di rumahnya, dekat
dengan Loji Inggris, aku dapat tugas: menjual candu yang diharamkan di Banten
tapi banyak peminatnya di Pulau Jawa. Untuk kembali ke Benggali, malas nian. Kusudah
merasa jadi orang Nusa Jawa berbangsa Betawi-Melayu. Lagi pula oleh si babah
itu aku dikawinkan dengan budak perempuannya asal Bima, gundiknya sendiri dan
sudah punya satu anak hasil hubungannya dengan si babah. Bekas belum tentu
rongsokan, ya kan? Puji Tuhan!
Oh, budak peradaban yang acapkali keruh—bagai kulit keniscayaan
nasibku serta Ciliwung pembelah Batavia, yang tiada pernah sepi dan mustahil suci
itu!
Ojel
3 Januari 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar