Laman

Sabtu, 07 Januari 2017

jan pieterszoon coen aka murjangkung
Dalam Serat Sakender dikisahkan bahwa Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia) dilahirkan dari seorang putri keturunan raja Pajajaran, sementara ayahnya adalah Sukmul, keponakan Raja Spanyol.

Korupsi Sejarah

Bagi masyarakat yang melandaskan segala aktivitasnya berdasarkan sistem religi, maka mitologi dan dongeng adalah fakta sekaligus acuan hidup. Kenyataan fiksi adalah kenyataan sosial yang tak terbantah. Kisah-kisah yang tertera dalam kakawin, kidung, carita, serat, kemudian hikayat, babad, sajarah, dan wawacan, banyak mengandung alam pikiran seperti itu, yang bagi kita manusia modern akan menimbulkan kerutan di kening seraya setengah menyanggahnya. Terlalu banyak kisah mitos dan peristiwa sejarah yang bercampur aduk di dalam karya-karya tulis tersebut, membuat kita kesulitan mengurai dan memisahkannya satu dari yang lain. Dan inilah korupsi sejarah, tatkala fakta dan fiksi saling-silang begitu erat dan membentuk realitias baru yang tak mudah dimengerti bagi kita di zaman sekarang. 

Manusia memang membutuhkan pedoman hidup yang sifatnya transendental. Maka, mitos Dewi Sri sebagai sumber tanaman padi begitu penting bagi masyarakat agraris. Walau padi tumbuh dari bumi namun asalnya tetap dari langit, dari jasad Dewi Sri (di Sunda disebut Sanghyang Pohaci Sri) yang lahir dari sebuah telur tanpa proses seksual. Malah, saat islamisasi, telur itu diceritakan berasal dari salah satu tetes air mata Allah SWT. Inilah nilai kesucian mitos ini, bahwa yang berasal dari langit jelas berbeda dengan dunia manusia dan manusia itu sendiri ada karena proses seksual orangtua—kecuali Adam dan Hawa dan Dewi Sri tadi. Bahkan Sanghyang Sri merupakan gadis yang belum menstruasi saat meninggal di kahyangan dan kemudian dikubur di bumi atas perintah Batara Guru. Kelahirannya yang istimewa sama seperti kematiannya. Dari jasadnyalah tumbuh padi, palawija, pohon kepala, kawung, dan pelbagai tumbuhan yang dibutuhkan masyarakat tani; karena itu mereka harus menghormatinya sejak benih disebar hingga padi disimpan di lumbung dan kemudian dinanak di rumah. Masing-masing momentum tersebut memiliki mantra-mantra tertentu dan tak boleh dilanggar. Dalam taraf ini, di mana teks agama dikebumikan dan dibudayakan, belumlah terjadi korupsi yang merugikan banyak orang, karena ia masih sebatas kepercayaan yang justru mempersatukan alam pikiran masyarakat tertentu agar bersyukur pada kehendak Langit.

Korupsi mulai terjadi ketika teks agama dijadikan alat politik. Kehadiran Dewa Wisnu dan Dewi Sri Laksmi yang turun dari kahyangan, misalnya, lalu beranak pinak di Pulau Jawa dan mendirikan kerajaan di mana kelak melahirkan kerajaan-kerajaan lain kemudian hari di Jawa, merupakan satu contoh bagaimana kekuasaan politik di zamannya melahirkan kisah tersebut. Pada taraf ini, korupsi memang masih berfungsi sebagai pemersatu sebuah kelompok sosial tertentu di masa tertentu, namun tetap saja sudah memiliki tendensi politis di mana raja merupakan wakil dewa atau jelmaan Dewa Wisnu. Babad Tanah Jawi dan Serat Manikmaya menguraikan tendensi ini sekaligus keadiluhungan silsilah raja-raja Mataram-Islam yang dirunut sejak Nabi Adam, Sis, dan seterusnya.

Kisah-kisah yang berisi pemalsuan data, yang didorong oleh peralihan kepercayaan raja dan bupati Jawa ke agama baru, cukup banyak tertuang dalam kisah-kisah lisan dan pustaka-pustaka terbitan istana. Silsalah raja yang sebagian terpaksa direkayasa dikarenakan anutan agama raja yang berubah, bisa dilihat pada Carita Waruga Guru produk abad ke-18. Sama seperti Babad Tanah Jawi, naskah berbahasa Sunda ini menyebutkan bahwa leluhur raja-raja Sunda berasal dari Nabi Adam, Isis, Nuh, yang berlanjut hingga Darmasiksa, Ciung Wanarah, Lutung Kasarung, dan Siliwangi. Tokoh Darmasiksayang dalam naskah-naskah Sunda kuno yang lebih tua merupakan raja yang berkedudukan awal di Saunggalah, lalu Kawali, kemudian Pakuan Pajajaran, serta mewasiatkan agar Galunggung dijaga oleh keturunannyadisebutkan pendiri Imbanagara dan sezaman dengan Nabi Enoh alias Nuh. Juga naskah ini menyebutkan penyebab peralihan agama orang Pulau Jawa. Diceritakan, saat itu penduduk Nusa Jawa sujud menghadap gunungyang dijadikan pemujaan. Melihat mereka yang menyembah pada kayu dan batu, malaikat pun menurunkan panah-panah batu dan rusaklah gunung kabuyutan tersebut. Sejak itu, penduduk Jawa bersujud ke Baitullah.

Kisah peralihan kepercayaan suatu masyarakat yang terkesan damai juga dapat diteliti pada kisah Kean Santang yang cukup populer hingga kini di Jawa Barat—bahkan diangkat menjadi sinetron di sebuah TV swasta nasional. Melalui peran Kean Santang, maka Islam diterima secara damai oleh rakyat Sunda karena langsung dari tangan putra mahkota Pajajaran ini, yang sebelumnya bertemu dengan Baginda Ali dan Rasullah di Mekah. Kisah ini rupanya dibuat sebagai “penyeimbang” kisah sejarah yang menerangkan bahwa islamisasi di Jawa Barat dibarengi dengan peperangan di sejumlah tempat antara laskar Cirebon-Demak dengan prajurit Kerajaan Sunda dan berakhir saat Kota Pakuan Pajajaran diserbu pasukan Banten pimpinan Mawlana Yusuf. Sungguh kisah Kean Santang merupakan hasil cipta seorang ulama cerdik yang hendak membuat realitas sejarah yang baru tentang islamisasi di Jawa Barat.

Penyelewengan atas data sejarah melalui kisah-kisah lisan merupakan merupakan jalur yang sangat efektif dalam membentuk alam kesadaran masyarakat awam yang buta aksara terhadap wujud kekuasaan dan dominasi religius penguasa. Pantun Ciung Wanara di Sunda, misalnya, mengisahkan pendirian Pajajaran dan Majapahit secara bersamaan oleh dua bersaudara Ciung Wanara dan Hariang Banga. Kisah yang juga tertera dalam naskah Carita Waruga Guru ini jelas bertentangan dengan data-data primer tentang sejarah dua kerajaan sepulau tersebut. Masa hidup tokoh Ciung Wanara dan Hariang Banga dalam pantun tersebut—yang seyogyanya diasumsikan sebagai tokoh sejarah Sang Manarah dan Rahiyang Banga yang hidup di abad ke-8 menurut Carita Parahyangan (disusun abad ke-16)—malah berada di abad ke-13. Kekacauan masa hidup si tokoh dan ketumpangtindihan masalah tempat cerita dalam pantun tersebut diserap begitu saja oleh masyarakat awam di zamannya sebagai peristiwa sejarah yang nyata. Lagi pula, bagi masyarakat lisan, yang terpenting dari pengisahan pantun tersebut adalah bahwa tokoh-tokohnya merupakan pilihan dewata, bukan perkara ia sahih atau tidak sebagai kisah sejarah. Masyarakat lisan menempatkan pengalaman spiritual di atas pengalaman faktual. Di sini, anakronisme sejarah tak dianggap penyimpangan.

Korupsi sejarah makin menampilkan wajah aslinya saat pribumi sudah kalah secara politis oleh kekuatan asing. Babad, serat, dan wawacan di Sunda dan Jawa secara simbolis dan juga munafik memperlihatkan hal ini. Serat Sakender yang ditulis di abad ke-19, contohnya, mengisahkan bahwa pendudukan VOC di Tatar Priangan harus diterima karena orang Belanda merupakan keturunan raja Pajajaran. Diceritakan bahwa Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia) dilahirkan dari seorang putri keturunan raja Pajajaran, sementara ayahnya adalah Sukmul, keponakan Raja Spanyol. Karena itu, kepemimpinan para gubernur jenderal Kompeni, yang disebut sebagai keturunan Murjangkung, haruslah diterima oleh masyarakat Priangan, sebagaimana mereka mengakui Sunan Mataram, mengingat Murjangkung berjanji akan melindungi Nyi Ratu Kidul dan juga wilayah Priangan.

Kisah di atas serupa dengan yang dibeberkan Wawacan Sajarah Galuh yang menerangkan bahwa penguasaan Kompeni terhadap Sunda Kelapa dan kemudian Priangan sudah diramalkan oleh Ki Ajar Sukaresi yang berkata bahwa kelak wilayah Priangan akan dikuasai oleh raja asing yang membalas sakit hatinya. Konon, putri Ki Ajar dari seorang putri raja Pajajaran tersebut, yang bernama Nyi Tanduran Gagang, dijadikan “istri bergilir” oleh raja Cirebon, raja Banten, dan raja Mataram. Dari kemaluannya selalu keluar api panas jika hendak dicampuri, dan akhirnya oleh ketiga mantan suaminya diserahkan kepada orang Eropa dengan imbalan masing-masing sebuah meriam. Mengetahui kabar buruk itu, ibu si putri melapor kepada suaminya, Ki Ajar, yang kemudian mengucapkan kutukan bahwa kelak raja Jawa akan tunduk kepada penguasa asing keturunan Nyi Tanduran Gagang. Inilah langkah (para) bupati Galuh untuk menenangkan masyarakatnya agar tetap tunduk pada Kompeni yang saat itu telah berkuasa atas Mataram, Cirebon, dan Banten. Ramalan dan kutukan dijadikan senjata dan benteng untuk melindungi diri dari kekalahan yang total.

Korupsi sejarah ternyata terus dilakukan oleh para penguasa Indonesia. Soeharto, yang sangat antikomunis, menyuruh seorang sutradara film untuk membuat film Pengkhianatan G30S/PKI untuk membuat asumsi dalam masyarakat bahwa komunis itu si tengik nan kejam dan bahwa komunisme sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan beragama.

Baru sejak Reformasi, fakta-fakta sejarah yang sebelumnya dibungkam bisa disampaikan ke masyarakat luas. Akses mendapatkan informasi kini juga dipermudah oleh layanan internet di mana tak ada aparat hukum yang mampu menghanguskannya. Inilah kesempatan bagi kita untuk membeberkan korupsi sejarah yang telah disusun sejak zaman kuno hingga zaman modern.


Ojel 
1 November 2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar