Korupsi Sejarah
Bagi masyarakat
yang melandaskan segala aktivitasnya berdasarkan sistem religi, maka mitologi dan dongeng
adalah fakta sekaligus acuan hidup. Kenyataan fiksi adalah kenyataan sosial
yang tak terbantah. Kisah-kisah yang tertera dalam kakawin, kidung, carita, serat, kemudian hikayat, babad, sajarah, dan wawacan,
banyak mengandung alam pikiran seperti itu, yang bagi kita manusia modern akan
menimbulkan kerutan di kening seraya setengah menyanggahnya. Terlalu banyak
kisah mitos dan peristiwa sejarah yang bercampur aduk di dalam karya-karya
tulis tersebut, membuat kita kesulitan mengurai dan memisahkannya satu dari
yang lain. Dan inilah korupsi sejarah, tatkala fakta dan fiksi saling-silang
begitu erat dan membentuk realitias baru yang tak mudah dimengerti bagi kita di
zaman sekarang.
Manusia memang
membutuhkan pedoman hidup yang sifatnya transendental. Maka, mitos Dewi Sri
sebagai sumber tanaman padi begitu penting bagi masyarakat agraris. Walau padi
tumbuh dari bumi namun asalnya tetap dari langit, dari jasad Dewi Sri (di Sunda
disebut Sanghyang Pohaci Sri) yang lahir dari sebuah telur tanpa proses
seksual. Malah, saat islamisasi, telur itu diceritakan berasal dari salah satu
tetes air mata Allah SWT. Inilah nilai kesucian mitos ini, bahwa yang berasal
dari langit jelas berbeda dengan dunia manusia dan manusia itu sendiri ada karena
proses seksual orangtua—kecuali Adam dan Hawa dan Dewi Sri
tadi. Bahkan Sanghyang Sri merupakan gadis yang belum
menstruasi saat meninggal di kahyangan dan kemudian dikubur di bumi atas
perintah Batara Guru. Kelahirannya yang istimewa sama seperti kematiannya.
Dari jasadnyalah tumbuh padi, palawija, pohon kepala, kawung, dan pelbagai
tumbuhan yang dibutuhkan masyarakat tani; karena itu mereka harus
menghormatinya sejak benih disebar hingga padi disimpan di lumbung dan kemudian
dinanak di rumah. Masing-masing momentum tersebut memiliki mantra-mantra
tertentu dan tak boleh dilanggar. Dalam taraf ini, di mana teks agama
dikebumikan dan dibudayakan, belumlah terjadi korupsi yang merugikan banyak
orang, karena ia masih sebatas kepercayaan yang justru mempersatukan alam
pikiran masyarakat tertentu agar bersyukur pada kehendak Langit.
Korupsi mulai
terjadi ketika teks agama dijadikan alat politik. Kehadiran Dewa Wisnu dan Dewi
Sri Laksmi yang turun dari kahyangan, misalnya, lalu beranak pinak di Pulau
Jawa dan mendirikan kerajaan di mana kelak melahirkan kerajaan-kerajaan lain kemudian
hari di Jawa, merupakan satu contoh bagaimana kekuasaan politik di zamannya
melahirkan kisah tersebut. Pada taraf ini, korupsi memang masih berfungsi
sebagai pemersatu sebuah kelompok sosial tertentu di masa tertentu, namun tetap
saja sudah memiliki tendensi politis di mana raja merupakan wakil dewa atau
jelmaan Dewa Wisnu. Babad Tanah Jawi
dan Serat Manikmaya menguraikan
tendensi ini sekaligus keadiluhungan silsilah raja-raja Mataram-Islam yang
dirunut sejak Nabi Adam, Sis, dan seterusnya.
Kisah-kisah yang
berisi pemalsuan data, yang didorong oleh peralihan kepercayaan raja dan bupati
Jawa ke agama baru, cukup banyak tertuang dalam kisah-kisah lisan dan
pustaka-pustaka terbitan istana. Silsalah raja yang sebagian terpaksa direkayasa
dikarenakan anutan agama raja yang berubah, bisa dilihat pada Carita Waruga Guru produk abad ke-18. Sama
seperti Babad Tanah Jawi, naskah
berbahasa Sunda ini menyebutkan bahwa leluhur raja-raja Sunda berasal dari Nabi
Adam, Isis, Nuh, yang berlanjut hingga Darmasiksa, Ciung Wanarah, Lutung
Kasarung, dan Siliwangi. Tokoh Darmasiksa—yang dalam naskah-naskah Sunda kuno yang lebih tua
merupakan raja yang berkedudukan awal di Saunggalah, lalu Kawali, kemudian Pakuan
Pajajaran,
serta mewasiatkan agar Galunggung dijaga oleh keturunannya—disebutkan pendiri
Imbanagara dan sezaman dengan Nabi Enoh alias Nuh. Juga naskah ini menyebutkan
penyebab peralihan agama orang Pulau Jawa. Diceritakan, saat itu penduduk Nusa
Jawa sujud “menghadap gunung”
yang dijadikan pemujaan. Melihat mereka yang menyembah pada kayu dan batu, malaikat pun menurunkan
panah-panah batu dan rusaklah gunung kabuyutan
tersebut. Sejak itu, penduduk Jawa bersujud ke Baitullah.
Kisah peralihan
kepercayaan suatu masyarakat yang terkesan damai juga dapat diteliti pada kisah
Kean Santang yang cukup populer hingga kini di Jawa Barat—bahkan diangkat
menjadi sinetron di sebuah TV swasta nasional. Melalui peran Kean Santang, maka
Islam diterima secara damai oleh rakyat Sunda karena langsung dari tangan putra mahkota Pajajaran
ini, yang sebelumnya bertemu dengan Baginda Ali dan Rasullah di Mekah. Kisah
ini rupanya dibuat sebagai “penyeimbang” kisah sejarah yang menerangkan bahwa
islamisasi di Jawa Barat dibarengi dengan peperangan di sejumlah tempat antara
laskar Cirebon-Demak dengan prajurit Kerajaan Sunda dan berakhir saat Kota
Pakuan Pajajaran diserbu pasukan Banten pimpinan Mawlana Yusuf. Sungguh kisah
Kean Santang merupakan hasil cipta seorang ulama cerdik yang hendak membuat
realitas sejarah yang baru tentang islamisasi di Jawa Barat.
Penyelewengan atas
data sejarah melalui kisah-kisah lisan merupakan merupakan jalur yang sangat
efektif dalam membentuk alam kesadaran masyarakat awam yang buta aksara
terhadap wujud kekuasaan dan dominasi religius penguasa. Pantun Ciung Wanara di Sunda, misalnya,
mengisahkan pendirian Pajajaran dan Majapahit secara bersamaan oleh dua
bersaudara Ciung Wanara dan Hariang Banga. Kisah yang juga tertera dalam naskah
Carita Waruga Guru ini jelas
bertentangan dengan data-data primer tentang sejarah dua kerajaan sepulau
tersebut. Masa hidup tokoh Ciung Wanara dan Hariang Banga dalam pantun
tersebut—yang seyogyanya diasumsikan sebagai tokoh sejarah Sang Manarah dan
Rahiyang Banga yang hidup di abad ke-8 menurut Carita Parahyangan (disusun abad ke-16)—malah berada di abad ke-13.
Kekacauan masa hidup si tokoh dan ketumpangtindihan masalah tempat cerita dalam
pantun tersebut diserap begitu saja oleh masyarakat awam di zamannya sebagai
peristiwa sejarah yang nyata. Lagi pula, bagi masyarakat lisan, yang terpenting
dari pengisahan pantun tersebut adalah bahwa tokoh-tokohnya merupakan pilihan
dewata, bukan perkara ia sahih atau tidak sebagai kisah sejarah. Masyarakat
lisan menempatkan pengalaman spiritual di atas pengalaman faktual. Di sini, anakronisme sejarah tak dianggap
penyimpangan.
Korupsi sejarah
makin menampilkan wajah aslinya saat pribumi sudah kalah secara politis oleh
kekuatan asing. Babad, serat, dan wawacan di Sunda dan Jawa secara simbolis dan juga munafik memperlihatkan
hal ini. Serat Sakender yang ditulis
di abad ke-19, contohnya, mengisahkan bahwa pendudukan VOC di Tatar Priangan
harus diterima karena orang Belanda merupakan keturunan raja Pajajaran.
Diceritakan bahwa Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia)
dilahirkan dari seorang putri keturunan raja Pajajaran, sementara ayahnya
adalah Sukmul, keponakan Raja Spanyol. Karena itu, kepemimpinan para gubernur
jenderal Kompeni, yang disebut sebagai keturunan Murjangkung, haruslah diterima
oleh masyarakat Priangan, sebagaimana mereka mengakui Sunan Mataram, mengingat
Murjangkung berjanji akan melindungi Nyi Ratu Kidul dan juga wilayah Priangan.
Kisah di atas serupa
dengan yang dibeberkan Wawacan Sajarah
Galuh yang menerangkan bahwa penguasaan Kompeni terhadap Sunda Kelapa dan
kemudian Priangan sudah diramalkan oleh Ki Ajar Sukaresi yang berkata bahwa
kelak wilayah Priangan akan dikuasai oleh raja asing yang membalas sakit
hatinya. Konon, putri Ki Ajar dari seorang putri raja Pajajaran tersebut, yang
bernama Nyi Tanduran Gagang, dijadikan “istri bergilir” oleh raja Cirebon, raja
Banten, dan raja Mataram. Dari kemaluannya selalu
keluar api panas jika hendak dicampuri, dan akhirnya oleh ketiga mantan
suaminya diserahkan kepada orang Eropa dengan imbalan masing-masing sebuah
meriam. Mengetahui kabar buruk itu, ibu si putri melapor kepada suaminya, Ki
Ajar, yang kemudian mengucapkan kutukan bahwa kelak raja Jawa akan tunduk
kepada penguasa asing keturunan Nyi Tanduran Gagang. Inilah langkah (para) bupati Galuh untuk
menenangkan masyarakatnya agar tetap tunduk pada Kompeni yang saat itu telah berkuasa
atas Mataram, Cirebon, dan Banten. Ramalan dan kutukan dijadikan senjata dan
benteng untuk melindungi diri dari kekalahan yang total.
Korupsi sejarah
ternyata terus dilakukan oleh para penguasa Indonesia. Soeharto, yang sangat
antikomunis, menyuruh seorang sutradara film untuk membuat film Pengkhianatan G30S/PKI untuk membuat
asumsi dalam masyarakat bahwa komunis itu si tengik nan kejam dan bahwa
komunisme sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan beragama.
Baru sejak
Reformasi, fakta-fakta sejarah yang sebelumnya dibungkam bisa disampaikan ke
masyarakat luas. Akses mendapatkan informasi kini juga dipermudah oleh layanan
internet di mana tak ada aparat hukum yang mampu menghanguskannya. Inilah
kesempatan bagi kita untuk membeberkan korupsi sejarah yang telah disusun sejak
zaman kuno hingga zaman modern.
Ojel
1 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar