Laman

Rabu, 11 Januari 2017

Nyi Roro Kidul Basoeki Abdullah
Imaji Nyi Roro Kidul yang dilukis oleh Basoeki Abdullah

Pembantu Kanjeng Nyi Roro Kidul


Kenalin, kakangku dan mbokku, aku ini seorang pembantu Kanjeng Nyi Roro Kidul yang bersemayam di Laut Selatan.

Iiih, bikin bulu roma dan bulu kuduk berdiri tegang! Bagaimana tidak? Nama Kanjeng Nyi Roro selalu dikaitkan dengan klenik, Kejawen, yang suka disuguhi sesajen pada hari-hari tertentu. Sebagian besar, mungkin termasuk kalian, yang hidup di zaman ini, menganggap Nyi Roro hanya legenda atau mitos yang cuma cocok untuk telinga bocah-bocah ingusan. Padahal dulu, sebelum penduduk negeri ini benar-benar berpikiran modern ala Barat, sosoknya dianggap sebagai pelindung raja-raja Jawa sepanjang masa, sejak beliau berkuasa atas Segara Kidul.


Memang, kisahnya lebih banyak beredar mulut ke mulut. Banyaklah versi atau gosip tentangnya. Ada yang bilang, ia asalnya bernama Cinde Maya alias Dewi Sri Pohaci, yang menikah dengan Sutawijaya alias Panembahan Senopati raja pertama Mataram. Panembahan diwanti-wanti oleh Sunan Kalijaga untuk terus berwirid selama 40 malam sebelum menghabiskan malam pertama dengan sang istri. Karena kepanasan oleh ayat-ayat suci, maka Jaka Manggala, adik Sri Pohaci yang berdiam di kemaluan sang kakak dalam rangka menjaga kehormatan sang kakak, melesat keluar dari balik kelambu, membuat Sri Pohaci merasa malu karena dianggap telah berkhianat pada suami. Setiba di pantai selatan Jawa, ia berniat ceburkan diri ke laut, namun dihalangi Nabi Khidir—nabi yang pernah memberikan pelajaran beharga pada Nabi Musa mengenai hikmah dan takdir manusia. Oleh Nabi Khidir, nabi Bani Israil itu dinasehati bahwa bunuh diri itu dosa yang tak terampuni Gusti Allah. Sebaliknya Nyi Sri disuruh menjaga harta peninggalan Nabi Sulaiman di Laut Selatan, dan bergelar Nyi Ratu Kidul. Penembahan sendiri akhirnya hanya bisa menemuinya di Laut Selatan di hari-hari tertentu. 

Ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa ia itu asalnya bernama Dewi Kadita, putri Raja Pajajaran, yang melarikan diri ke Pantai Selatan. Kadita dikeluarkan dari istana karena mengidap kudis, akibat keirihatian ibu tirinya (mirip sinetron ya). Begitu menenggelamkan diri ke Laut Selatan, hilanglah semua penyakitnya, dan sejak itu ia jadi penguasa Laut Kidul yang tak masuk hitungan sebagai lalu lintas perdagangan internasional.  

Tapi, mbok dan kakangku, aku punya kisah lain tentang muasal Kanjeng Nyai ini, karena aku sendiri pernah menggendongnya saat beliau masih kecil. Ibunya bernama Nawangwulan, gadis asli Mataram, yang menikah dengan Rahaden Bondan Kejawan, anak Bhre Kertabumi Raja Majapahit dari selir, yang melarikan diri ke Mataram di abad ke-16. Mas Bondan, diiringi segelintir pengikut setianya, termasuk aku ini, kabur karena ibukota Majapahit diserang Bhre Wijaya dari Daha. Baik Nawangwulan atau Bondan beragama Siwa-Buddha, juga anak mereka kemudian yang diberi nama Ratu Angin-Angin. Setelah gadis remaja, Ratu Angin-Angin dinikahi Ngabehi Lor ing Pasar alias Panembahan Senapati yang Islam. Karena beda keyakinan, Panembahan disuruh menceraikan sang istri oleh salah seorang Wali.

Nah, dari sinilah mitos Nyi Rara Kidul dimulai. Oleh Sultan Agung, cucu Panembahan, atau mungkin oleh Panembahan sendiri, diciptakan kisah bahwa Ratu Angin-Angin alias Rara Kidul—kebetulan Mataram berada di selatan atau kidul Jawa—merupakan peri cantik penunggu Laut Selatan; sementara Nawangwulan, ibunya, dijadikan Nyi Ratu Kidul, penguasanya. Bahkan, menurut kisah itu, sosok Nyi Rara bila sedang tak dikunjungi Panembahan di istana lautnya sebenarnya jauh dari cantik, melainkan buruk sekali melebihi Betari Durga, dan tak lain penjelmaan jin pengganggu iman manusia. Yang jadi pertanyaan: mengapa sosoknya harus dilegendakan demikian rupa sementara di lain sisi ia disingkirkan?

Itulah kebijakan ganda raja Mataram. Sebagai sosok yang bukan Islam, Nyi Roro, juga Nyi Ratu, dikesampingkan dari pusat politik-sosial-ekonomi Mataram sebagai negeri agraris. Ia dibuang ke kawasan pantai yang tak pernah punya pelabuhan dagang dan karenanya tak disibuki lalu lalang kapal-kapal dagang mancanegara. Sebelum lahir Mataram, tak pernah disebutkan adanya seorang dewi atau dewa penguasa Laut Selatan, baik di zaman Pajang, Demak, apalagi di era Majapahit dan Singasari. Namun, di lain pihak, ia cukup dimuliakan sebagai “istri” dari raja-raja Mataram selanjutnya. Mengapa?

Selatan merupakan salah satu arah angin yang sakral dalam sistem mandala pada Hindu dan Buddha. Ia adalah pelengkap barat, utara, selatan, dan tengah sebagai poros dunia. Raja Mataram, walau resminya Muslim, tetap saja memerlukan konsep papat kalima pancer (empat, kelimanya sempurna) dalam menegakkan kekuasaan politik. Bagi mereka, juga raja-raja Jawa berabad-abad sebelumnya, kekuasaan tak hanya perkara wilayah, tapi juga penjabaran dari spiritualitas. Mereka menganggap bahwa ibukota, gunung, bahkan sebuah desa terpencil, merupakan pusat semesta, lingga, atau axis mundi. Jangan heran bila di setiap kota zaman dulu di Jawa, juga di pulau-pulau lain, selalu terdapat beringin, satu atau dua, sebagai simbol hurip sekaligus petanda keberadaan nenek moyang dari mana mereka berasal. Karena itu, mereka memerlukan empat penjuru mata angin guna menggenapi purusha atau poros semesta agar kekuasaannya tetap ajeg, selamet, dan negerinya loh jinawi

Dan raja Mataram, mungkin dengan saran seorang Wali, menempatkan Nyi Roro di pojok selatan, mengisi tempat yang idealnya merupakan kediaman Dewa Brahma. Bila sawah milik Dewi Sri Pohaci, maka sejak saat itu Laut Selatan punya Kanjeng Nyi Roro.

Penghormatan terhadap sosoknya bisa dilihat pada tari bedhoyo. Kesembilan—atau kedepalan—penari gadis belia yang belum datang bulan itu memakai busana nikah tradisonal Jawa, lengkap dengan tiara, gelang, cincin, rambutnya bergelung seperti bokor, kain penutup kaki, dan kemban (tanpa kebaya, lho!). Busana itu secara simbolis melukiskan Nyi Roro Kidul sebagai pengantin yang siap bermadu kasih dengan Panembahan. Saat tarian berlangsung, diiringi gamelan mendayu-syahdu dan bubungan asap dupa nan wangi, secara gaib akan muncul sosok Peri Laut Kidul itu, ikut menari di antara mereka; dan yang bisa melihatnya hanyalah raja-raja keturunan Panembahan. Bisa dikatakan: penguasa Mataram itu benci tapi rindu kepada Kanjeng Nyi Roro, secara tak langsung pula kepada Nyi Ratu, yang merupakan yoni alias pasangan lingga mereka. 

Persis Ken Angrok terhadap Ken Dedes, Panembahan memerlukan Nyi Roro Kidul sebagai saktinya. Lengkaplah sudah kekuatan kosmik Mataram. Hasil sinkretisasi yang khas dari mentalitas raja petani yang telah meninggalkan agama lama walau sebagian alam pikirannya masih seperti moyang mereka. Dengan modal sosial seperti itu, Panembahan, yang hanya anak seorang petani, yang ditunjuk oleh Hadiwijaya sebagai penguasa desa Mataram bernama Ki Ageng Pemanahan, mampu meyakinkan khalayak bahwa dirinya punya daya kosmik dari kekuatan ilahiah, karenanya sah untuk menguasai Jawa. Karena sibuk invasi terhadap para bupati di Tanah Jawi dalam rangka menjadi penguasa tunggal, ia tak pernah mengusik sekalipun kapal-kapal Portugis yang wara-wiri antara Malaka-Maluku melalui Laut Jawa (kecuali di masa Demak di mana Dipati Unus beserta armada raksasanya menyerang Portugis di Malaka--walau tetap kalah juga).

Kenapa pula ada Nabi Khidir? Nabi yang satu ini memang istimewa. Disebutkan oleh Al Quran hanya dalam salah satu episode Nabi Musa, namun uniknya sering muncul dalam kesusastraan Parsi, India, dan hikayat-hikayat Melayu. Dalam Hikayat Iskandar Dzulkarnain dikisahkan bahwa Nabi Khidir adalah guru spiritual Raja Iskandar Dzulkarnain dari Makeduniah, sementara Iskandar Dzulkarnain sendiri murid Aristatalis, seorang filsuf cemerlang penyembah Allah Yang Satu. Diceritakan pula Raja Makeduniah, yang disebut pahlawan sejati monoteis itu, masuk ke dalam peti dan menceburkan diri ke lautan. Peti itu ditelan ikan berbadan kaca yang membawanya memasuki tujuh dunia, di mana ia melihat tujuh lapis bumi—agak mirip dengan kisah Dewa Ruci. Iskandar Dzulkarnain pun disebut-sebut oleh sejumlah hikayat Melayu (Hikayat Hang Tuah dan Sajarah Melayu misalnya, yang kemudian berkembang secara lisan) sebagai moyangnya raja-raja Pasai, Malaka, Minangkabau, dan Palembang.

Dan ternyata, motif perkawinan manusia dengan peri bukan “monopoli” orang Jawa. Cukup banyak hikayat Melayu yang mengisahkan seorang lelaki, biasanya putra mahkota, menikah dengan peri dari kahyangan. Bacalah Hikayat Parang Puting atau Hikayat Indera Patera. Juga pantun-pantun Sunda. Seperti Lutung Kasarung yang menikahi Purbasari (walau keadaan berbalik, di mana Lutung Kasarunglah yang berasal dari kahyangan). 

Perkawinan dua insan beda dunia itu tak lain penggambaran bersatunya dua kekuatan kosmik yang saling bertolak belakang dan begitu penting bagi religi kuno. Karena itu, bisa jadi, kisah Peri Laut Kidul itu (termasuk kisah tujuh bidadari yang mandi di telaga di planet kita ini) terilhami dari hikayat Melayu yang berpangkal pada kesusastraan Persia dan India, baik kesusatraan pra-Islam, atau yang telah disisipi ajaran Islam (biasanya ada tokoh jin Islam dan jin kafir yang saling berperang dan dimenangkan jin Islam—simbol kejayaan politik-militer Islam dalam mengenyahkan kekuatan non-Islam).

Aku sendiri? Setelah Ratu Angin-Angin wafat, aku ditugaskan oleh Panembahan tuk berdiam di Nusa Kambangan, menjaga sebuah taman rahasia. Taman itu hanya berisi pohon istimewa yang bunganya disebut Wijayakusuma. Bila sedang galau atau dirundung kekhawatiran mendalam, raja-raja Mataram dan keturunannya suka pergi ke pulau di selatan Jawa itu, guna memetiknya sepucuk sehingga jiwanya tenang dan jagat pun adem kembali. Setelah mati dalam usia tinggi, aku tak tahu lagi apakah Wijayakusuma masih dipelihara semerbak atau sudah busuk semua. Satu hal yang kutahu: gelombang itu akan tetap mengalun di samudra dan berdebur di pantai Nusa Kambangan jadi buih-buih putih, sejak manusia belum lagi mengenal kitab suci.

Kini, kakang dan mbokku pun mulai paham: begitu mudah sesosok manusia historis dimasukkan ke dalam kotak wayang untuk ditampilkan kembali sebagai tokoh mitos atau legenda sebagai akibat keterdesakan yang gawat dan mencakup kepentingan mayoritas, dengan segala keanggunan yang meliuk-liuk eksotis tapi samar di dalam selubung masa lalu yang gulita.


Ojel 
17 Jan 16


Tidak ada komentar:

Posting Komentar