Imaji Nyi Roro Kidul yang dilukis oleh Basoeki Abdullah |
Pembantu Kanjeng Nyi Roro Kidul
Kenalin, kakangku dan mbokku, aku ini seorang pembantu
Kanjeng Nyi Roro Kidul yang bersemayam di Laut Selatan.
Iiih, bikin bulu roma dan bulu kuduk berdiri
tegang! Bagaimana tidak? Nama Kanjeng Nyi Roro selalu dikaitkan dengan klenik, Kejawen,
yang suka disuguhi sesajen pada hari-hari tertentu. Sebagian besar, mungkin
termasuk kalian, yang hidup di zaman ini, menganggap Nyi Roro hanya legenda
atau mitos yang cuma cocok untuk telinga bocah-bocah ingusan. Padahal dulu,
sebelum penduduk negeri ini benar-benar berpikiran modern ala Barat, sosoknya
dianggap sebagai pelindung raja-raja Jawa sepanjang masa, sejak beliau berkuasa
atas Segara Kidul.
Memang, kisahnya lebih banyak beredar mulut ke
mulut. Banyaklah versi atau gosip tentangnya. Ada yang bilang, ia asalnya
bernama Cinde Maya alias Dewi Sri Pohaci, yang menikah dengan Sutawijaya alias
Panembahan Senopati raja pertama Mataram. Panembahan diwanti-wanti oleh Sunan
Kalijaga untuk terus berwirid selama 40 malam sebelum menghabiskan malam
pertama dengan sang istri. Karena kepanasan oleh ayat-ayat suci, maka Jaka
Manggala, adik Sri Pohaci yang berdiam di kemaluan sang kakak dalam rangka
menjaga kehormatan sang kakak, melesat keluar dari balik kelambu, membuat Sri
Pohaci merasa malu karena dianggap telah berkhianat pada suami. Setiba di
pantai selatan Jawa, ia berniat ceburkan diri ke laut, namun dihalangi Nabi
Khidir—nabi yang pernah memberikan pelajaran beharga pada Nabi Musa mengenai hikmah dan takdir manusia. Oleh Nabi Khidir, nabi Bani Israil itu dinasehati bahwa bunuh
diri itu dosa yang tak terampuni Gusti Allah. Sebaliknya Nyi Sri disuruh menjaga
harta peninggalan Nabi Sulaiman di Laut Selatan, dan bergelar Nyi Ratu Kidul.
Penembahan sendiri akhirnya hanya bisa menemuinya di Laut Selatan di hari-hari
tertentu.
Ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa ia itu asalnya bernama Dewi Kadita, putri Raja Pajajaran, yang melarikan diri ke Pantai Selatan. Kadita dikeluarkan dari istana karena mengidap kudis, akibat keirihatian ibu tirinya (mirip sinetron ya). Begitu menenggelamkan diri ke Laut Selatan, hilanglah semua penyakitnya, dan sejak itu ia jadi penguasa Laut Kidul yang tak masuk hitungan sebagai lalu lintas perdagangan internasional.
Ada pula versi lain yang menyebutkan bahwa ia itu asalnya bernama Dewi Kadita, putri Raja Pajajaran, yang melarikan diri ke Pantai Selatan. Kadita dikeluarkan dari istana karena mengidap kudis, akibat keirihatian ibu tirinya (mirip sinetron ya). Begitu menenggelamkan diri ke Laut Selatan, hilanglah semua penyakitnya, dan sejak itu ia jadi penguasa Laut Kidul yang tak masuk hitungan sebagai lalu lintas perdagangan internasional.
Tapi, mbok dan kakangku, aku punya kisah lain
tentang muasal Kanjeng Nyai ini, karena aku sendiri pernah menggendongnya
saat beliau masih kecil. Ibunya bernama Nawangwulan, gadis asli Mataram, yang
menikah dengan Rahaden Bondan Kejawan, anak Bhre Kertabumi Raja Majapahit dari
selir, yang melarikan diri ke Mataram di abad ke-16. Mas Bondan, diiringi
segelintir pengikut setianya, termasuk aku ini, kabur karena ibukota Majapahit
diserang Bhre Wijaya dari Daha. Baik Nawangwulan atau Bondan beragama
Siwa-Buddha, juga anak mereka kemudian yang diberi nama Ratu Angin-Angin.
Setelah gadis remaja, Ratu Angin-Angin dinikahi Ngabehi Lor ing Pasar alias Panembahan
Senapati yang Islam. Karena beda keyakinan, Panembahan disuruh menceraikan sang
istri oleh salah seorang Wali.
Nah, dari sinilah mitos Nyi Rara Kidul
dimulai. Oleh Sultan Agung, cucu Panembahan, atau mungkin oleh Panembahan
sendiri, diciptakan kisah bahwa Ratu Angin-Angin alias Rara Kidul—kebetulan
Mataram berada di selatan atau kidul Jawa—merupakan peri cantik penunggu Laut
Selatan; sementara Nawangwulan, ibunya, dijadikan Nyi Ratu Kidul, penguasanya.
Bahkan, menurut kisah itu, sosok Nyi Rara bila sedang tak dikunjungi Panembahan
di istana lautnya sebenarnya jauh dari cantik, melainkan buruk sekali melebihi
Betari Durga, dan tak lain penjelmaan jin pengganggu iman manusia. Yang jadi
pertanyaan: mengapa sosoknya harus dilegendakan demikian rupa sementara di lain
sisi ia disingkirkan?
Itulah kebijakan ganda raja Mataram. Sebagai
sosok yang bukan Islam, Nyi Roro, juga Nyi Ratu, dikesampingkan dari pusat politik-sosial-ekonomi
Mataram sebagai negeri agraris. Ia dibuang ke kawasan pantai yang tak pernah
punya pelabuhan dagang dan karenanya tak disibuki lalu lalang kapal-kapal
dagang mancanegara. Sebelum lahir Mataram, tak pernah disebutkan adanya seorang
dewi atau dewa penguasa Laut Selatan, baik di zaman Pajang, Demak, apalagi di
era Majapahit dan Singasari. Namun, di lain pihak, ia cukup dimuliakan sebagai
“istri” dari raja-raja Mataram selanjutnya. Mengapa?
Selatan merupakan salah satu arah angin yang
sakral dalam sistem mandala pada Hindu dan Buddha. Ia adalah pelengkap barat,
utara, selatan, dan tengah sebagai poros dunia. Raja Mataram, walau resminya
Muslim, tetap saja memerlukan konsep papat
kalima pancer (empat, kelimanya sempurna) dalam menegakkan kekuasaan
politik. Bagi mereka, juga raja-raja Jawa berabad-abad sebelumnya, kekuasaan
tak hanya perkara wilayah, tapi juga penjabaran dari spiritualitas. Mereka
menganggap bahwa ibukota, gunung, bahkan sebuah desa terpencil, merupakan pusat
semesta, lingga, atau axis mundi.
Jangan heran bila di setiap kota zaman dulu di Jawa, juga di pulau-pulau lain,
selalu terdapat beringin, satu atau dua, sebagai simbol hurip sekaligus petanda keberadaan nenek moyang dari mana mereka
berasal. Karena itu, mereka memerlukan empat penjuru mata angin guna menggenapi
purusha atau poros semesta agar
kekuasaannya tetap ajeg, selamet, dan negerinya loh jinawi.
Dan raja Mataram, mungkin dengan saran seorang Wali, menempatkan Nyi Roro di pojok selatan, mengisi tempat yang idealnya merupakan kediaman Dewa Brahma. Bila sawah milik Dewi Sri Pohaci, maka sejak saat itu Laut Selatan punya Kanjeng Nyi Roro.
Dan raja Mataram, mungkin dengan saran seorang Wali, menempatkan Nyi Roro di pojok selatan, mengisi tempat yang idealnya merupakan kediaman Dewa Brahma. Bila sawah milik Dewi Sri Pohaci, maka sejak saat itu Laut Selatan punya Kanjeng Nyi Roro.
Penghormatan terhadap sosoknya bisa dilihat
pada tari bedhoyo. Kesembilan—atau kedepalan—penari gadis belia yang belum
datang bulan itu memakai busana nikah tradisonal Jawa, lengkap dengan tiara,
gelang, cincin, rambutnya bergelung seperti bokor, kain penutup kaki, dan
kemban (tanpa kebaya, lho!). Busana itu secara simbolis melukiskan Nyi Roro
Kidul sebagai pengantin yang siap bermadu kasih dengan Panembahan. Saat tarian
berlangsung, diiringi gamelan mendayu-syahdu dan bubungan asap dupa nan wangi, secara
gaib akan muncul sosok Peri Laut Kidul itu, ikut menari di antara mereka; dan
yang bisa melihatnya hanyalah raja-raja keturunan Panembahan. Bisa dikatakan:
penguasa Mataram itu benci tapi rindu kepada Kanjeng Nyi Roro, secara tak
langsung pula kepada Nyi Ratu, yang merupakan yoni alias pasangan lingga mereka.
Persis Ken Angrok terhadap Ken Dedes, Panembahan memerlukan Nyi Roro Kidul sebagai saktinya. Lengkaplah sudah kekuatan kosmik Mataram. Hasil sinkretisasi yang khas dari mentalitas raja petani yang telah meninggalkan agama lama walau sebagian alam pikirannya masih seperti moyang mereka. Dengan modal sosial seperti itu, Panembahan, yang hanya anak seorang petani, yang ditunjuk oleh Hadiwijaya sebagai penguasa desa Mataram bernama Ki Ageng Pemanahan, mampu meyakinkan khalayak bahwa dirinya punya daya kosmik dari kekuatan ilahiah, karenanya sah untuk menguasai Jawa. Karena sibuk invasi terhadap para bupati di Tanah Jawi dalam rangka menjadi penguasa tunggal, ia tak pernah mengusik sekalipun kapal-kapal Portugis yang wara-wiri antara Malaka-Maluku melalui Laut Jawa (kecuali di masa Demak di mana Dipati Unus beserta armada raksasanya menyerang Portugis di Malaka--walau tetap kalah juga).
Persis Ken Angrok terhadap Ken Dedes, Panembahan memerlukan Nyi Roro Kidul sebagai saktinya. Lengkaplah sudah kekuatan kosmik Mataram. Hasil sinkretisasi yang khas dari mentalitas raja petani yang telah meninggalkan agama lama walau sebagian alam pikirannya masih seperti moyang mereka. Dengan modal sosial seperti itu, Panembahan, yang hanya anak seorang petani, yang ditunjuk oleh Hadiwijaya sebagai penguasa desa Mataram bernama Ki Ageng Pemanahan, mampu meyakinkan khalayak bahwa dirinya punya daya kosmik dari kekuatan ilahiah, karenanya sah untuk menguasai Jawa. Karena sibuk invasi terhadap para bupati di Tanah Jawi dalam rangka menjadi penguasa tunggal, ia tak pernah mengusik sekalipun kapal-kapal Portugis yang wara-wiri antara Malaka-Maluku melalui Laut Jawa (kecuali di masa Demak di mana Dipati Unus beserta armada raksasanya menyerang Portugis di Malaka--walau tetap kalah juga).
Kenapa pula ada Nabi Khidir? Nabi yang satu
ini memang istimewa. Disebutkan oleh Al
Quran hanya dalam salah satu episode Nabi Musa, namun uniknya sering muncul
dalam kesusastraan Parsi, India, dan hikayat-hikayat Melayu. Dalam Hikayat Iskandar Dzulkarnain dikisahkan
bahwa Nabi Khidir adalah guru spiritual Raja Iskandar Dzulkarnain dari
Makeduniah, sementara Iskandar Dzulkarnain sendiri murid Aristatalis, seorang
filsuf cemerlang penyembah Allah Yang Satu. Diceritakan pula Raja Makeduniah, yang
disebut pahlawan sejati monoteis itu, masuk ke dalam peti dan menceburkan diri
ke lautan. Peti itu ditelan ikan berbadan kaca yang membawanya memasuki tujuh
dunia, di mana ia melihat tujuh lapis bumi—agak mirip dengan kisah Dewa Ruci. Iskandar Dzulkarnain pun
disebut-sebut oleh sejumlah hikayat Melayu (Hikayat
Hang Tuah dan Sajarah Melayu
misalnya, yang kemudian berkembang secara lisan) sebagai moyangnya raja-raja
Pasai, Malaka, Minangkabau, dan Palembang.
Dan ternyata, motif perkawinan manusia dengan
peri bukan “monopoli” orang Jawa. Cukup banyak hikayat Melayu yang mengisahkan
seorang lelaki, biasanya putra mahkota, menikah dengan peri dari kahyangan. Bacalah
Hikayat Parang Puting atau Hikayat Indera Patera. Juga
pantun-pantun Sunda. Seperti Lutung Kasarung yang menikahi Purbasari (walau
keadaan berbalik, di mana Lutung Kasarunglah yang berasal dari kahyangan).
Perkawinan dua insan beda dunia itu tak lain penggambaran bersatunya dua kekuatan kosmik yang saling bertolak belakang dan begitu penting bagi religi kuno. Karena itu, bisa jadi, kisah Peri Laut Kidul itu (termasuk kisah tujuh bidadari yang mandi di telaga di planet kita ini) terilhami dari hikayat Melayu yang berpangkal pada kesusastraan Persia dan India, baik kesusatraan pra-Islam, atau yang telah disisipi ajaran Islam (biasanya ada tokoh jin Islam dan jin kafir yang saling berperang dan dimenangkan jin Islam—simbol kejayaan politik-militer Islam dalam mengenyahkan kekuatan non-Islam).
Perkawinan dua insan beda dunia itu tak lain penggambaran bersatunya dua kekuatan kosmik yang saling bertolak belakang dan begitu penting bagi religi kuno. Karena itu, bisa jadi, kisah Peri Laut Kidul itu (termasuk kisah tujuh bidadari yang mandi di telaga di planet kita ini) terilhami dari hikayat Melayu yang berpangkal pada kesusastraan Persia dan India, baik kesusatraan pra-Islam, atau yang telah disisipi ajaran Islam (biasanya ada tokoh jin Islam dan jin kafir yang saling berperang dan dimenangkan jin Islam—simbol kejayaan politik-militer Islam dalam mengenyahkan kekuatan non-Islam).
Aku sendiri? Setelah Ratu Angin-Angin wafat,
aku ditugaskan oleh Panembahan tuk berdiam di Nusa Kambangan, menjaga sebuah
taman rahasia. Taman itu hanya berisi pohon istimewa yang bunganya disebut
Wijayakusuma. Bila sedang galau atau dirundung kekhawatiran mendalam, raja-raja
Mataram dan keturunannya suka pergi ke pulau di selatan Jawa itu, guna
memetiknya sepucuk sehingga jiwanya tenang dan jagat pun adem kembali. Setelah
mati dalam usia tinggi, aku tak tahu lagi apakah Wijayakusuma masih dipelihara semerbak
atau sudah busuk semua. Satu hal yang kutahu: gelombang itu akan tetap mengalun
di samudra dan berdebur di pantai Nusa Kambangan jadi buih-buih putih, sejak
manusia belum lagi mengenal kitab suci.
Kini, kakang dan mbokku pun mulai paham: begitu
mudah sesosok manusia historis dimasukkan ke dalam kotak wayang untuk
ditampilkan kembali sebagai tokoh mitos atau legenda sebagai akibat
keterdesakan yang gawat dan mencakup kepentingan mayoritas, dengan segala
keanggunan yang meliuk-liuk eksotis tapi samar di dalam selubung masa lalu yang
gulita.
Ojel
17 Jan 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar