Laman

Selasa, 17 Januari 2017

sawah korupsi pajak
Sawah, "lahan basah" untuk dikorupsi oleh oknum pejabat di masa Jawa Kuno

Korupsi Pajak di Zaman Jawa Kuno

Power tends to corrupt. Di mana dan kapan pun. Termasuk di Indonesia zaman baheula. Buktinya adalah Prasasti Palepangan yang dikeluarkan seorang penjabat tinggi di Jawa sebelas abad silam.


Suatu hari di tahun 828 Saka (906 M), menurut prasasti itu, terjadi perselisihan panas antara seorang pegawai pajak versus warga Desa Palepangan. Menurut si pegawai pajak, sawah Desa Palepangan itu luasnya 2 lamwit, karena itu harus dibebani pajak 6 dharana perak (nilai tukar uang perak seberat 38,6 gr) untuk tiap tampah (1 tampah = ½ lamwit; sekitar 6.750 - 7.680 m2). Tapi warga Palepangan tak merasa sawah mereka demikian luas. Mereka pun memohon Rakryan Mahamantri I Hino Pu Daksa, seorang menteri sekaligus putra mahkota kerajaan, agar sawah mereka diukur ulang dengan satuan tampah haji (tampah standar kerajaan, sekitar 9.818 - 11.170 m2). Mereka yakin, sawah mereka luasnya hanya 100 x 30 depa sihwa (depa sihwa itu panjang dari telapak kaki hingga ujung jari kiri/kanan jika tangan diangkat ke atas). 

Permohonan pun dikabulkan Sang Rakryan. Usut punya usut, setelah diukur ulang, ternyata sawah mereka hanya 1 lamwit 7,5 tampah, dengan begitu pajak yang harus dibayar hanya 5 kati dan 5 dharana perak (satu kati = 6,24 ons; satuan berat dan instrinsik untuk emas dan perak). Jelas si pegawai hendak mengambil keuntungan pribadi sebesar 12,5 x 6 dharana perak (75 dharana), atau 31% dari pajak yang seharusnya diterima. Sayang, prasasti tersebut tak memberitakan lebih lanjut mengenai nasib si pegawai korup itu, apakah dipecat, didenda, atau dimutasi. Yang jelas, cukup banyak prasasti di Jawa zaman Hindu-Buddha yang membeberkan penanganan kasus korupsi menyangkut pertanahan.

Yup! Pajak acap kali jadi perkara licin di lahan basah. Dan aparat hukum Indonesia, apapun lembaganya, dengan becermin pada penegak hukum masa lalu negeri ini, selayaknya bahu-membahu memberantas korupsi. Harapan akan keadilan, walau terdengar utopis, tetap merupakan naluri manusia.

Ojel 
16 Jan. 16

NB: esa ini pernah dimuat di viewpaper bulanan Sunday People bulan Januari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar