Ramalan
Setiap zaman yang
resah melahirkan ramalan yang
menggugah. Jangka
Jayabaya di Jawa, Uga Siliwangi
di Sunda, Mesiah dan Imam Mahdi di Timur Tengah, yang menawarkan Sang Ratu Adil.
Ratu itulah, begitu kata mereka yang yakin, yang kelak membawa masyarakat di
mana peramal berasal menuju keadaan yang serba sempurna tanpa cela dan minus petaka di zaman kemudian.
Orang-banyak
percaya, ramalan terucap dari mulut sang tokoh besar di zamannya. Sang
tokoh—bisa raja yang menganggap diri penjelmaan dewa atau nabi yang merasa
diutus Tuhan—menerangkan gejala-gejala alam dan materi yang menandai kedatangan
Sang Ratu Adil. Namun, benarkah si tokoh itu yang bicara?
Ramalan Jayabaya, konon,
pertama ditulis pada 1618 M oleh Sunan Prapen, keturunan Sunan Giri, dalam Kitab Musasar, lima abad setelah era
raja Kediri itu. Selanjutnya, para pujangga keraton Yogyakarta dan Surakarta
tergugah untuk mengabadikannya. Uga Siliwangi malah ditulis dalam aksara Latin,
yang baru dipahami orang Indonesia di awal abad ke-20. Ia tak ditulis dengan aksara
Sunda, aksara yang dipakai zaman Siliwangi dan sudah dilupakan pada abad ke-18.
Tidakkah menutup kemungkinan bahwa ia sebenarnya dibuat seorang pujangga yang
paham psikologi massa di zamannya?
Orang Indonesia
sejak dulu akrab dengan legenda dan mitos. Dewa, asura, kesatria, peri,
raksasa, punakawan datang ke panggung silih berganti, kadang saling bercengkrama, kadang pula
saling cakar meraung. Keajaiban dan kegaiban, juga
petatah-petitih, jadi tiang cerita. Dan para pendengar dan penonton percaya itu
semua bisa terjadi di alam nyata. Realitas fiksional dianggap faktual. Mitos sama dengan logos. Maka,
saat ramalan dikisahkan, mereka mencernanya dengan cara demikian. Juga saat Islam disebarkan.
Dan tatkala Jawa
tercengkram cakar-cakar kolonialisme, ramalan terus diproduksi. Tersebarlah
kisah bahwa Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia) itu keturunan
Ratu Pajajaran yang minta haknya, yakni wilayah bekas Pajajaran, dengan begitu
takdirlah jika Jawa Barat dikuasai Belanda dan itu bukanlah kesalahan
raja/bupati setempat. Juga ramalan lain yang senada dalam Wawacan Sajarah Galuh, yang mengisahkan kutukan Ki Ajar Sukarsa
bahwa kelak jika Belanda (baca: VOC) sudah berkuasa atas Tanah Jawa, maka raja
Sunda dan raja Jawa akan kehilangan kekuasaannya. Kutukan itu diucapkan karena
Ki Ajar sakit hati mengetahui putrinya, Nyi Tanduran Gagang (yang disebut
sebagai cucu Prabu Siliwangi), dijadikan “istri bergilir” oleh raja Cirebon,
raja Banten, dan raja Mataram (ketiganya tak kuat melihat api muntab dari
kemaluan Nyi Tanduran) yang lalu menukarnya dengan tiga pucuk meriam kepada
orang Belanda (dalam sumber lain raja Inggris).
Ramalan melahirkan
harapan, juga ilusi. Syahdan, tahun 1869 di Sumedang, muncul Nyi Aciah yang dianggap masyarakat setempat sebagai manusia
istimewa. Popularitasnya makin melesat setelah ia menyembuhkan penyakit mata
ayahnya. Seorang kiai di Malangbong, Hasan, yang baru pertama bertemu dengannya
langsung mengungkapkan bahwa sudah saatnya pecah perang dan
semua peraturan yang berlaku harus dimusnahkan. Ia pun memberikan salinan piagam
kepada Nyi Aciah yang menyebutkan Nyi Aciah akan diangkat menjadi Ratu Kerajaan
Tegal Luar sedangkan Hasan menjadi patihnya. Sebagai persiapan dalam melawan
penguasa Belanda, dibagi-bagikanlah jimat-jimat dan surat tobat (yang berisi
ramalan itu) yang harus disimpan baik-baik hingga “saatnya tiba”. Hasan pun berhasil
memengaruhi sejumlah ulama sekitarnya. Saat berkunjung ke Malangbong pada Mei 1871,
Nyi Aciah mendapatkan sambutan luar biasa. Diadakanlah arak-arakan ke
makam-makam suci di Malangbong yang diikuti banyak kaum wanita. Di tahun itu
juga pemerintah Hindia Belanda bertindak, menangkap para pengikut Nyi Aciah. Gerakan
ini pun padam. Juga gerakan-gerakan mesianisme lain di Pulau Jawa di abad yang
sama. Dan kerajaan yang dijanjikan tinggallah angan-angan di langit.
Kekalahan mendorong
lahirnya ramalan. Jika kita baca Uga
Siliwangi dan percaya bahwa uga
(baca: ramalan) itu diucapkan oleh Raja Pajajaran itu, terlihat bahwa saat
mengucapkan ramalannya, Siliwangi dan para pengikut loyalnya sudah terdesak ke
pedalaman, dirongrong kekuatan Cirebon-Banten yang lebih menjanjikan. Ramalan
adalah kekuatan terakhir mereka yang kalah, yang tak mampu menghalau gelombang
angkuh yang melibas apa saja yang lemah dan tak siap. Dengan ramalan, si
penguasa dan wangsanya tetap akan dipandang suci dan tak pernah kalah.
Dan rakyat yang
ditinggalkannya? Tetap berharap ramalan itu datang hingga Ratu Adil itu
berbicara di depan mereka membawa kabar gembira. Dengan keresahan tak berujung.
Sampai waktu melibas mereka semua
dan panggung kehidupan lalu diisi umat selanjutnya.
Ojel
8 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar