Laman

Selasa, 10 Januari 2017

Ramalan


Setiap zaman yang resah melahirkan ramalan yang menggugah. Jangka Jayabaya di Jawa, Uga Siliwangi di Sunda, Mesiah dan Imam Mahdi di Timur Tengah, yang menawarkan Sang Ratu Adil. Ratu itulah, begitu kata mereka yang yakin, yang kelak membawa masyarakat di mana peramal berasal menuju keadaan yang serba sempurna tanpa cela dan minus petaka di zaman kemudian


Orang-banyak percaya, ramalan terucap dari mulut sang tokoh besar di zamannya. Sang tokoh—bisa raja yang menganggap diri penjelmaan dewa atau nabi yang merasa diutus Tuhan—menerangkan gejala-gejala alam dan materi yang menandai kedatangan Sang Ratu Adil. Namun, benarkah si tokoh itu yang bicara?

Ramalan Jayabaya, konon, pertama ditulis pada 1618 M oleh Sunan Prapen, keturunan Sunan Giri, dalam Kitab Musasar, lima abad setelah era raja Kediri itu. Selanjutnya, para pujangga keraton Yogyakarta dan Surakarta tergugah untuk mengabadikannya. Uga Siliwangi malah ditulis dalam aksara Latin, yang baru dipahami orang Indonesia di awal abad ke-20. Ia tak ditulis dengan aksara Sunda, aksara yang dipakai zaman Siliwangi dan sudah dilupakan pada abad ke-18. Tidakkah menutup kemungkinan bahwa ia sebenarnya dibuat seorang pujangga yang paham psikologi massa di zamannya?

Orang Indonesia sejak dulu akrab dengan legenda dan mitos. Dewa, asura, kesatria, peri, raksasa, punakawan datang ke panggung silih berganti, kadang saling bercengkrama, kadang pula saling cakar meraung. Keajaiban dan kegaiban, juga petatah-petitih, jadi tiang cerita. Dan para pendengar dan penonton percaya itu semua bisa terjadi di alam nyata. Realitas fiksional dianggap faktual. Mitos sama dengan logos. Maka, saat ramalan dikisahkan, mereka mencernanya dengan cara demikian. Juga saat Islam disebarkan.

nyi roro kidul dan ramalan
Sosok Nyi Roro Kidul menurut "penglihatan" seorang pelukis. Sosoknya tak lepas dari ramalan yang menurut cerita lisan
berkenaan dengan keberlangsungan  Mataram-Baru dan berhubungan dengan keruntuhan Kerajaan Sunda-Pajajaran

Dan tatkala Jawa tercengkram cakar-cakar kolonialisme, ramalan terus diproduksi. Tersebarlah kisah bahwa Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia) itu keturunan Ratu Pajajaran yang minta haknya, yakni wilayah bekas Pajajaran, dengan begitu takdirlah jika Jawa Barat dikuasai Belanda dan itu bukanlah kesalahan raja/bupati setempat. Juga ramalan lain yang senada dalam Wawacan Sajarah Galuh, yang mengisahkan kutukan Ki Ajar Sukarsa bahwa kelak jika Belanda (baca: VOC) sudah berkuasa atas Tanah Jawa, maka raja Sunda dan raja Jawa akan kehilangan kekuasaannya. Kutukan itu diucapkan karena Ki Ajar sakit hati mengetahui putrinya, Nyi Tanduran Gagang (yang disebut sebagai cucu Prabu Siliwangi), dijadikan “istri bergilir” oleh raja Cirebon, raja Banten, dan raja Mataram (ketiganya tak kuat melihat api muntab dari kemaluan Nyi Tanduran) yang lalu menukarnya dengan tiga pucuk meriam kepada orang Belanda (dalam sumber lain raja Inggris). 

Ramalan melahirkan harapan, juga ilusi. Syahdan, tahun 1869 di Sumedang, muncul Nyi Aciah yang dianggap masyarakat setempat sebagai manusia istimewa. Popularitasnya makin melesat setelah ia menyembuhkan penyakit mata ayahnya. Seorang kiai di Malangbong, Hasan, yang baru pertama bertemu dengannya langsung mengungkapkan bahwa sudah saatnya pecah perang dan semua peraturan yang berlaku harus dimusnahkan. Ia pun memberikan salinan piagam kepada Nyi Aciah yang menyebutkan Nyi Aciah akan diangkat menjadi Ratu Kerajaan Tegal Luar sedangkan Hasan menjadi patihnya. Sebagai persiapan dalam melawan penguasa Belanda, dibagi-bagikanlah jimat-jimat dan surat tobat (yang berisi ramalan itu) yang harus disimpan baik-baik hingga “saatnya tiba”. Hasan pun berhasil memengaruhi sejumlah ulama sekitarnya.  Saat berkunjung ke Malangbong pada Mei 1871, Nyi Aciah mendapatkan sambutan luar biasa. Diadakanlah arak-arakan ke makam-makam suci di Malangbong yang diikuti banyak kaum wanita. Di tahun itu juga pemerintah Hindia Belanda bertindak, menangkap para pengikut Nyi Aciah. Gerakan ini pun padam. Juga gerakan-gerakan mesianisme lain di Pulau Jawa di abad yang sama. Dan kerajaan yang dijanjikan tinggallah angan-angan di langit.

Kekalahan mendorong lahirnya ramalan. Jika kita baca Uga Siliwangi dan percaya bahwa uga (baca: ramalan) itu diucapkan oleh Raja Pajajaran itu, terlihat bahwa saat mengucapkan ramalannya, Siliwangi dan para pengikut loyalnya sudah terdesak ke pedalaman, dirongrong kekuatan Cirebon-Banten yang lebih menjanjikan. Ramalan adalah kekuatan terakhir mereka yang kalah, yang tak mampu menghalau gelombang angkuh yang melibas apa saja yang lemah dan tak siap. Dengan ramalan, si penguasa dan wangsanya tetap akan dipandang suci dan tak pernah kalah.

Dan rakyat yang ditinggalkannya? Tetap berharap ramalan itu datang hingga Ratu Adil itu berbicara di depan mereka membawa kabar gembira. Dengan keresahan tak berujung. Sampai waktu melibas mereka semua dan panggung kehidupan lalu diisi umat selanjutnya.


Ojel 
8 Februari 2014





  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar