Laman

Jumat, 06 Januari 2017

nusantara - indonesia buffalo

Nusantara

Sejak kapan manusia Indonesia mengenal istilah Nusantara? Siapa pula yang menciptakannya dan di abad ke berapakah? Setahu saya, istilah itu tercantum dalam Desawarnana (lebih dikenal dengan Nagarakrtagama) buah tangan Prapanca abad ke-14. Apakah istilah itu telah tertulis dalam pustaka yang lebih tua? Saya belum tahu.

Nusantara, yang secara sederhana berarti “antara nusa”, memang sesui dengan gambaran geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan, terdiri atas pulau-pulau dari yang besar hingga yang mungil dan terpencil. Bahkan jika membaca Nagarakrtagama, kita tahu bahwa yang termasuk Nusantara bukan hanya wiayah NKRI kini, melainkan juga mencakup Malaysia dan pulau-pulau selatan Filipina. Pun di dalam pustaka berbahasa Jawa Kuno tersebut ada istilah lain yang artinya tak jauh dengan Nusantara, yakni Dwipantara dan Dirgantara. Secara morfologis, kata nusantara bersifat Sansekerta karena diawali kata nusa, bukan diawali kata antara.
Namun, untuk tujuan apa istilah Nusantara dibuat? Jika ia diciptakan untuk mempersatukan, apa yang hendak dipersatukan? Bila ia bermakna sebagai “pulau-pulau di luar Jawa”, tentu yang berkreasi menciptakan ini istilah adalah “orang pintar” di Jawa. Bila benar, maka orang Jawa dalam hal ini merupakan subyek, pencipta yang aktif, si empunya gagasan. Makna Nusantara tersebut jelas mencerminkan agresivitas si pencipta terhadap wilayah-wilayah tetangga mereka seberang pulau.
Majapahit di bawah kendali Mapatih Gajah Mada memang melancarkan ekspansi, baik melalui senjata atau damai, hingga ke Pasai di ujung Sumatra dan Wanin di Papua. Namun itu semua tetap atas nama Majapahit, bukan atas nama Nusantara. Nusantara bukanlah sebuah negara, baik kerajaan atau federasi atau perserikatan. Ia, menurut perhitungan saya, mengandung makna yang lebih bersifat ekonomis, mengingat Majapahit merupakan negara bahari terbesar di Asia Tenggara dan karenanya berperan aktif dalam jaringan perdagangan bebas sepanjang India-Cina di eranya. Atas dasar kepentingan dagang pula Sri Kretanagara Raja Singasari menggalang persatuan dengan raja Melayu guna menghadapi ekspansi Kubilai Khan Raja Mongol. Perahu dari Malaka yang hendak ke Maluku, juga sebaliknya, memerlukan singgah di pelabuhan-pelabuhan milik Majapahit.
Lantas, bagaimana dengan Naskah Pangeran Wangsakerta yang disusun di awal akhir abad ke-17 di mana banyak pustaka yang judulnya menggunakan kata Nusantara? Mengenai isi naskah-naskah tersebut, yang konon merupakan hasil seminar para budayawan/sastrawan/bangsawan dari pelbagai kerajaan di Nusantara yang diadakan di Cirebon dan diketuai Pangeran Wangsakerta, saya sendiri cenderung percaya, karena banyak data dalam Naskah Wangsakerta sesuai dengan isi prasasti-prasasti dan pustaka-pustaka kuno yang ditulis semasa kerajaan Hindu-Buddha masih berjaya, namun dengan catatan: pustaka-pustaka yang disebut sebagai sumber-sumber penulisan naskah tersebut harus juga ditemukan dan diteliti oleh para filolog dan sejarawan. Terhadap penggunaan kata Nusantara dalam sejumlah naskah tersebut yang terkesan sebagai tali pengikat kerajaan-kerajaan Indonesia di akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 itu sendiri saya masih mempertanyakannya. Jika pun benar, tentu penggunaan kata Nusantara pada naskah-naskah Wangsakerta dengan makna yang demikian disebabkan karena saat itu Jawa, termasuk Cirebon sebagai tempat seminar, sudah dikuasai VOC, minimal secara de jure, dan kata tersebut dianggap pemersatu kerajaan-kerajaan bersangkutan. Dengan kata lain, Pangeran Wangsakerta dkk berupaya mempertemukan nasib para kerajaan atau kesultanan bersangkutan yang saat itu sebagian besar sudah jatuh ke tangan Kompeni Belanda, dan kata “Nusantara” adalah modal melawan musuh bersama tersebut walau sebatas dalam benak. Masih diperlukan penelitian lebih saksama atas Naskah Wangsakerta—walau dalam hati saya berharap naskah itu benar-benar sahih dan dengan begitu bisa dijadikan pedoman pembelajaran sejarah masa kuno di Indonesia.
Istilah Nusantara baru dijadikan alat politik adalah ketika pergerakan nasional bergolak, dan yang menggunakan adalah para aktivis politik dari Jawa, misalnya Soekarno. Bung Karno, dengan PNI-nya, sering mengutip kata Nusantara dan Gajah Mada dengan tujuan mempersatukan semangat dan menyatukan alam pikiran orang Indonesia yang sedang terjajah. Namun, tak semua bapak bangsa setuju dengan istilah ini. Sebagian, terutama yang berasal dari Minang, memandang istilah Nusantara begitu berbau feodalisme sementara semangat nasionalisme begitu menggelorakan azas demokrasi.
Istilah Indonesia sendiri? Istilah Indunesia (bukan Indonesia) konon lahir dari seorang etnolog Inggris, George Samuel Windsor Earl, tahun 1850, dan memiliki arti “Pulau-pulau Hindia”. Istilah ini termuat dalam majalah ilmiah tahunan terbitan Singapura yakni Journal of the Indian Archipleago and Eastern Asia. Ia menegaskan, sudah saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, sebab nama Hindia tidaklah tepat karena mengacu kepada India. Maka, George S.W. Earl mengajukan dua istilah: Indunesia dan Malayunesia. Akhirnya, ia memilih Malayunesia untuk Kepulauan Hindia, mengingat  istilah ini tepat untuk ras Melayu dan bahasa Melayu digunakan oleh orang Kepulauan Hindia, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Selanjutnya, munculllah istilah Indonesia atas inisiasi James Richardson Logan, pengelola majalah yang sama, asal Skotlandia. Ia menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan Hindia-Belanda, mengingat istilah “Indian Archipelago” (Kepulauan Hindia) terlalu rancu. Logan lalu memungut nama Indunesia buatan Earl, lalu menggantinya dengan Indonesia (huruf u diganti o). Sejak saat itu ia terus menggunakan istilah Indonesia dalam tulisan-tulisannya, yang mengacu kepada wilayah Kepulauan Indonesia, termasuk Malaysia, Filipina, dan Papua, dan segera menyebar di kalangan ilmuwan etnologi dan geografi. Tahun 1884, guru besar etnologi Universitas Berlin, Adolf Bastian, menerbitkan buku berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (“Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”) yang memuat hasil penelitiannya. Buku inilah yang mempopulerkan istilah Indonesia di kalangan sarjana Belanda, sehingga timbul anggapan bahwa istilah tersebut merupakan ciptaan Adolf Bastian. Istilah geografis-etnis ini kemudian dipergunakan para tokoh pergerakan nasional sebagai lawan dari Hindia-Belanda.
Jadi jelas, jika istilah Indonesia digunakan untuk menyatukan bangsa-bangsa yang terjajah oleh Belanda di lingkungan Hindia-Belanda, dengan begitu dimensi politiknya sangat mengemuka; maka istilah Nusantara dipergunakan bagi pulau-pulau luar Jawa yang berdekatan dan saling berhubungan dagang, dengan begitu sifatnya sangat ekonomis. Pendeknya, Indonesia itu sebuah kesatuan, Nusantara itu sebuah persatuan. Keduanya memuat kata yang mengandung arti “pulau”, yakni nesia dan nusa.

Ojel
1 November 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar