Nusantara
Sejak kapan manusia
Indonesia mengenal istilah Nusantara? Siapa pula yang menciptakannya dan di
abad ke berapakah? Setahu saya, istilah itu tercantum dalam Desawarnana (lebih dikenal dengan Nagarakrtagama) buah tangan Prapanca
abad ke-14. Apakah istilah itu telah tertulis dalam pustaka yang lebih tua?
Saya belum tahu.
Nusantara, yang
secara sederhana berarti “antara nusa”, memang sesui dengan gambaran geografis
Indonesia yang berbentuk kepulauan, terdiri atas pulau-pulau dari yang besar
hingga yang mungil dan terpencil. Bahkan jika membaca Nagarakrtagama, kita tahu bahwa yang termasuk Nusantara bukan hanya
wiayah NKRI kini, melainkan juga mencakup Malaysia dan pulau-pulau selatan
Filipina. Pun di dalam pustaka berbahasa Jawa Kuno tersebut ada istilah lain yang artinya
tak jauh dengan Nusantara, yakni Dwipantara
dan Dirgantara. Secara morfologis,
kata nusantara bersifat Sansekerta karena diawali kata nusa, bukan diawali kata antara.
Namun, untuk tujuan
apa istilah Nusantara dibuat? Jika ia diciptakan untuk mempersatukan, apa yang
hendak dipersatukan? Bila ia bermakna sebagai “pulau-pulau di luar Jawa”, tentu
yang berkreasi menciptakan ini istilah adalah “orang pintar” di Jawa. Bila
benar, maka orang Jawa dalam hal ini merupakan subyek, pencipta yang aktif, si
empunya gagasan. Makna Nusantara tersebut jelas mencerminkan “agresivitas” si pencipta terhadap
wilayah-wilayah tetangga mereka seberang pulau.
Majapahit di bawah
kendali Mapatih Gajah Mada memang melancarkan ekspansi, baik melalui senjata
atau damai, hingga ke Pasai di ujung Sumatra dan Wanin di Papua. Namun itu
semua tetap atas nama Majapahit, bukan atas nama Nusantara. Nusantara bukanlah
sebuah negara, baik kerajaan atau federasi atau perserikatan. Ia, menurut perhitungan
saya, mengandung makna yang lebih bersifat ekonomis, mengingat Majapahit
merupakan negara bahari terbesar di Asia Tenggara dan karenanya berperan aktif
dalam jaringan perdagangan bebas sepanjang India-Cina di eranya. Atas dasar
kepentingan dagang pula Sri Kretanagara Raja Singasari menggalang persatuan dengan raja
Melayu guna menghadapi ekspansi Kubilai Khan Raja Mongol. Perahu dari Malaka
yang hendak ke Maluku, juga sebaliknya, memerlukan singgah di
pelabuhan-pelabuhan milik Majapahit.
Lantas, bagaimana
dengan Naskah Pangeran Wangsakerta
yang disusun di awal akhir abad ke-17 di mana banyak pustaka yang judulnya menggunakan kata
Nusantara? Mengenai isi naskah-naskah tersebut, yang konon merupakan hasil
seminar para budayawan/sastrawan/bangsawan dari pelbagai kerajaan di Nusantara
yang diadakan di Cirebon dan diketuai Pangeran Wangsakerta, saya sendiri
cenderung percaya, karena banyak data dalam Naskah
Wangsakerta sesuai dengan isi prasasti-prasasti dan pustaka-pustaka kuno
yang ditulis semasa kerajaan Hindu-Buddha masih berjaya, namun dengan catatan:
pustaka-pustaka yang disebut sebagai sumber-sumber penulisan naskah tersebut
harus juga ditemukan dan diteliti oleh para filolog dan sejarawan. Terhadap
penggunaan kata Nusantara dalam sejumlah naskah tersebut yang terkesan sebagai
tali pengikat kerajaan-kerajaan Indonesia di akhir abad ke-17 dan awal abad
ke-18 itu sendiri saya masih mempertanyakannya. Jika pun benar, tentu
penggunaan kata Nusantara pada naskah-naskah Wangsakerta dengan makna yang demikian
disebabkan karena saat itu Jawa, termasuk Cirebon sebagai tempat seminar, sudah
dikuasai VOC, minimal secara de jure, dan kata tersebut dianggap pemersatu
kerajaan-kerajaan bersangkutan. Dengan kata lain, Pangeran Wangsakerta dkk
berupaya mempertemukan nasib para kerajaan atau kesultanan bersangkutan yang
saat itu sebagian besar sudah jatuh ke tangan Kompeni Belanda, dan kata
“Nusantara” adalah modal melawan musuh bersama tersebut walau sebatas dalam
benak. Masih diperlukan penelitian lebih saksama atas Naskah Wangsakerta—walau dalam hati saya berharap naskah itu
benar-benar sahih dan dengan begitu bisa dijadikan pedoman pembelajaran sejarah
masa kuno di Indonesia.
Istilah Nusantara
baru dijadikan alat politik adalah ketika pergerakan nasional bergolak, dan
yang menggunakan adalah para aktivis politik dari Jawa, misalnya Soekarno. Bung
Karno, dengan PNI-nya, sering mengutip kata Nusantara dan Gajah Mada dengan tujuan
mempersatukan semangat dan menyatukan alam pikiran orang Indonesia yang sedang
terjajah. Namun, tak semua bapak bangsa setuju dengan istilah ini. Sebagian,
terutama yang berasal dari Minang, memandang istilah Nusantara begitu berbau
feodalisme sementara semangat nasionalisme begitu menggelorakan azas demokrasi.
Istilah Indonesia sendiri?
Istilah Indunesia (bukan Indonesia) konon lahir dari seorang
etnolog Inggris, George Samuel Windsor Earl, tahun 1850, dan memiliki arti
“Pulau-pulau Hindia”. Istilah ini termuat dalam majalah ilmiah tahunan terbitan
Singapura yakni Journal of the Indian
Archipleago and Eastern Asia. Ia menegaskan, sudah saatnya bagi
penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, sebab
nama Hindia tidaklah tepat karena mengacu kepada India. Maka, George S.W. Earl
mengajukan dua istilah: Indunesia dan Malayunesia. Akhirnya, ia memilih Malayunesia untuk Kepulauan Hindia, mengingat istilah ini tepat untuk ras Melayu dan
bahasa Melayu digunakan oleh orang Kepulauan Hindia, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk
Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Selanjutnya, munculllah istilah Indonesia atas inisiasi James Richardson
Logan, pengelola majalah yang sama, asal Skotlandia. Ia menyatakan perlunya
nama khas bagi kepulauan Hindia-Belanda, mengingat istilah “Indian Archipelago” (Kepulauan
Hindia) terlalu rancu. Logan lalu memungut nama Indunesia buatan Earl, lalu menggantinya dengan Indonesia (huruf u diganti o). Sejak saat itu ia terus menggunakan
istilah Indonesia dalam
tulisan-tulisannya, yang mengacu kepada wilayah Kepulauan Indonesia, termasuk
Malaysia, Filipina, dan Papua, dan segera menyebar di kalangan ilmuwan etnologi dan geografi. Tahun 1884, guru besar etnologi Universitas Berlin, Adolf Bastian, menerbitkan
buku berjudul Indonesien oder
die Inseln des Malayischen Archipel (“Indonesia atau Pulau-pulau di
Kepulauan Melayu”) yang memuat hasil penelitiannya. Buku inilah yang mempopulerkan
istilah Indonesia di kalangan sarjana
Belanda, sehingga timbul anggapan bahwa istilah tersebut merupakan ciptaan Adolf
Bastian. Istilah geografis-etnis ini kemudian dipergunakan para tokoh pergerakan nasional sebagai lawan dari Hindia-Belanda.
Jadi jelas, jika
istilah Indonesia digunakan untuk menyatukan bangsa-bangsa yang terjajah oleh
Belanda di lingkungan Hindia-Belanda, dengan begitu dimensi politiknya sangat mengemuka;
maka istilah Nusantara dipergunakan bagi pulau-pulau luar Jawa yang berdekatan
dan saling berhubungan dagang, dengan begitu sifatnya sangat ekonomis. Pendeknya,
Indonesia itu sebuah kesatuan, Nusantara itu sebuah persatuan. Keduanya memuat
kata yang mengandung arti “pulau”, yakni nesia
dan nusa.
Ojel
1 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar