Laman

Rabu, 25 Januari 2017

Gerakan Nyi Aciah, Sumedang (1870 – 1871) 


Kolonialisasi melahirkan harapan akan datangnya keajaiban, dan keajaiban di abad ke-19 itu bernama "Ratu Adil". Harapan itu pula yang menyelimuti benak masyarakat Sumedang sezaman saat seorang wanita setempat memperlihatkan keajaiban dalam dirinya. Ya, Ratu Adil bernama Nyi Aciah itu sudah berada di antaranya mereka.


Menurut laporan Verbaal, 30 Januari 1873, No. 33; dan surat dari Residen Priangan, 20 Januari 1871, nama Nyi Aciah sebenarnya adalah Dewi Siti Johar Manikam. Karena kasaktiannya, ia dianggap bukan manusia sembarang, melainkan putri dari Jamadilkubra. Kepadanya banyak orang berobat, dan sebagai hadiah ia sering menerima pelbagai hadiah sebagai tanda terima kasih.

Kesaktian Nyi Aciah telah terkenal di kalangan masyarakat Sumedang sejak ia berusia empata atau lima tahun. Ketenarannya makin menjadi setelah Nyi Aciah bisa menyembuhkan penyakit mata ayahnya, Bapa Naip, dan membuat warga sekitar makin menganggapnya sebagai orang suci. Setiap kunjungannya ke tempat2 lain ia selalu disertai para pengiringnya, termasuk sang ayah. Semua fenomena ini memunculkan ramalan bahwa akan muncul dua buah kerajaan Sunda, masing2 di Keling, sebelah selatan Banjar, dan Tegal Luar.
Saat rombongan Nyi Aciah berkunjung ke rumah Bapa Asminem di Cibiana, Distrik Majalengka, diadakanlah pertemuan yang dihadiri juga oleh Hasan Mohamad dari daerah Urug yang mengaku sebagai salah seorang keturunan Jawa asal Bagelen.

Sebelumnya, Hasan mendapat pendidikan agama di pesantren Malangbong, Garut, dan pesantern di Madiun dan Kediri di Jawa Timur. Pada tahun 1869 Hasan pulang ke kampungnya, Kapung Urug dan mengangkat diri sebagai ustad dan juga dukun. Karena pandai dalam keagamaan, penduduk menyebutnya “kiai” dan begitu menghormatinya. Hasan juga pernah beberapa kali bertapa, dan dalam tapanya jiwanya sering dikuasai roh suci yang kemudian dianggapnya sebagai “ilham”. Setiap “ilham” yang diperolehnya ia tulis sebagai “piagem”, yang kemudian dikenal sebagai “surat tobat”. Salinan “piagem” ini disebarluaskan di antara pengikutnya ketika gerakan keagamaannya mulai dilancarkan.

Dalam pertemuan dengan Nyi Aciah, Hasan yang baru bertemu dengan Nyi Aciah spontan memanggilnya dengan sebutan “anak” yang telah lama dicarinya. Hasan mengungkapkan bahwa kini saatnya akan pecah perang dan semua peraturan yang berlaku kini harus dimusnahkan. Juga disebutkan bahwa kelak anak berdiri dua kerajaan: Keling dan Tegal Luar. Dalam salinan piagem pertamanya yang diberikan kepada Nyi Aciah disebutkan bahwa Nyi Aciah akan diangkat sebagai Ratu Kerajaan Tegal Luar sedangkan Hasan menjadi patih atau wakilnya. Sebagai langkah persiapan dalam melawan penguasa yang ada, dibagi-bagikanlah jimat2 dan surat tobat (yang sebenarnya berisi ramalan yang dibuat Hasan Mohamad bahwa Nyi Aciah akan menjadi Ratu Sunda) yang harus disimpan baik2 hingga “saatnya tiba”.

Bapa Enom dan anaknya masing2 dicalonkan sebagai panglima dan sebagai pembawa payung kebesaran Kerajaan Sunda. Dalam usahanya ini, Hasan Mohamad berhasil memengaruhi sejumlah tokoh ulama terkemuka: Raden Mohamad Ahmad (Naib Tasikmalaya), Mohamad Sanusi (Naib Indihiang), Mas Abdul Manan (Naib Malangbong), bapa Enom dan Bapa Arsinem (keduanya dari Cibiana), Bapa Naip dan Ambu Aciah (ayah-ibu Nyi Aciah), Haji Abdullah, dan Haji Abdullah Umar.

Saat berkunjung ke Malangbong pada Mei 1871 Nyi Aciah mendapatkan sambutan luar biasa masyarakat setempat. Diadakanlah arak2an ke makam2 suci di Malangbong yang diikuti banyak kaum wanita, termasuk istri Wedana Malangbong dan para kepala2 subdistrik setempat. Penyanjungan terhadap Aciah membuat pemerintah Hindia Belanda memerlukan  diri untuk segera bertindak dan segera menangkap para pengikut Nyi Aciah, membuat gerakan Nyi Aciah padam sama sekali.

Gerakan mesianistis sebelum Nyi Aciah ini merupakan "virus" yang telah "ditularkan" sebelumnya oleh gerakan Raksa Praja (1841), gerakan Bapa Kantang (1853), dan gerakan Mutayam (1863).



Ojel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar