Laman

Senin, 09 Januari 2017

Saya Temannya Bang Malinkundang


Kawan-kawan tentu tahu siapa dia. Sejak kecil, dari cerita bergambar dan buku kumpulan cerita legenda, kita sudah tahu siapa itu Bang Malin: seorang anak kanduang yang durhaka pada bundo kanduangnyo.


Sebelum tragedi kutukan yang sangat terkenal itu, saya sendiri diajak Bang Malin untuk sama-sama merantau, tapi sayang aku lagi ga punya uang. Ia bilang, bahwa tujuan merantau, selain ingin berdagang, juga ingin menuntut ilmu yang tak terdapat di Tanah Minang. Ia tak puas dengan jawaban akan pertanyaan yang sangat mengganggunya: mengapa atap rumah Minang berbentuk tanduk kerbau? Ia ingin jawaban yang lebih dramatis. Aku sendiri jadinya hanya mengantar kawanku itu hingga dermaga, menemani ibunya yang sangat bangga anak semata wayangnya akan go internasional. Berdestar sutra, berbaju hitam, dengan keris malela di sabuk, sambil membawa gembolan berisi kain, sarung, rendang, sambal balado, dan sate padang, Bang Malin mencium kaki sang bunda takzim, ditaburi doa-petuah sang ibu. Di perahu yang layarnya mulai terkembang itu, Bang Malin yang lebih tampan dari biasanya itu melambaikan tangan pada semua pengantar. Sang ibu, juga tunangan Bang Malin, menangis sambil membalasnya dengan saputangan sutra buatan Cina.

Enam bulan kemudian, terdengarlah tragedi kemanusiaan itu: Bang Malin dikutuk jadi batu karang! Aku, yang saat itu sedang di lapau, langsung diajak kawan ke rumah Bang Malin. Tampak ibu Bang Malin menangis sedu sedan ,dikelilingi tetangga dan kerabat. Kawanku itu bilang, tadi pagi ibu dan saudara-saudari Bang Malin pergi ke pelabuhan hendak menyongsong kedatangan Bang Malin. Begitu yang ditunggu turun dari perahu, semua orang merasa pangling dengan tampilan baru Bang Malin: berjubah seputih kapas dengan destar sangat tebal sewarna, menyoren pedang buatan seberang, berjanggut—membuatnya terlihat makin tampan, membikin para perawan di dermaga histeris—dikuti belasan anak buah yang menggotong peti-peti besar berisi barang-barang seberang yang mewah. Tapi, begitu melintasi kerumunan orang di mana sang ibu, yang memakai penutup kepala berbentuk tanduk kerbau itu, berdiri, Bang Malin tak menoleh pun ketika namanya dipanggil-panggil sang ibu. Barulah setelah sang ibu berteriak namanya, Bang Malin menoleh.

“Sumpah, awak lihat sendiri,” terang kawanku itu yang juga ikut menyongsong Bang Malin di dermaga. “Bang Malin tak kenal lagi pada ibunya. Malah kosakatanya banyak yang baru, yang tak dimengerti sang ibu. Aku lalu menyeruak ke depan, meyakinkan Bang Malin bahwa wanita itu benar-benar ibunya. Tapi, duh, kata-kata yang dilontarkan Bang Malin begitu menyakitkan, melebihi tusukan berjuta sembilu. Malah ia singkirkan lengan sang ibu yang hendak memeluk kakinya. Bang Balin berkata bahwa wanita itu sengaja mengaku-aku sebagai ibunya karena melihat dirinya telah jadi saudagar kaya dan telah paham ilmu pengetahuan baru yang, menurutnya, jauh lebih keren, lebih masuk akal, dan punya kitab yang lebih tebal. Saking sakit hati, sang ibu lalu berkata bahwa hati Bang Malin telah membatu sepulang merantau, lebih keras dari batu karang yang teratos sekalipun. Dan semua hadirin terhenyak begitu melihat sosok Bang Malin berubah menjadi segunduk batu karang. Tunangan Bang Malin hingga kini malah masih di sana, meratapi kekasih-batunya.”

bang malinkundan
"Batu Malinkundang" yang hingga kini teronggok di sebuah pantai di Sumatra Barat

Aku menengok ke dalam rumah. Kini, tangis ibu Bang Malin telah reda. Beliau mengaku, kata-katanya itu bukanlah kutukan, hanya luapan amarah sesaat yang tak terbendung. Katanya, seandainya Bang Malin masih mengakuinya sebagai ibunya walau pribadi, busana, dan gaya bicara Bang Malin telah berubah, maka ia masih akan tetap menyayanginya. Karena Bang Malin sudah keterlaluan, keluarlah kata-kata itu. Beliau tak menyangka, ucapannya jadi kutukan maha dahsyat.

Ah, ibunda Bang Malin. Andai saja aku ada di dermaga saat itu, tentu aku akan berusaha menahanmu agar kata-kata saktimu itu tak terlisankan, dengan begitu kemungkinan Bang Malin lambat-laun mau mengakui bahwa kau bunda kanduangnya yang paling sah, sehingga tragedi tersebut tak pernah ada dalam sejarah umat manusia. Tapi daun papaya sudah jadi lalapan, tak bisa dikembalikan.

Tapi, Ibu, tahukah kau bahwa batu karang jelmaan anakmu itu ternyata tak kutemukan di dermaga legenda itu? Kata warga setempat, tak pernah ada batu Bang Malin di sana; itu hanya legenda bodoh ciptaan orang-orang penggemar takhayul. Kata mereka, Malin Kundang itu justru menghilang bersama jasadnya saat ibunya menumpahkan kutukannya. Malah aku ditunjuki warga setempat kuburan Malin Kundang. Katanya, Malinkundang wafat secara wajar setelah sukses menjadi tokoh pendiri kampung bersangkutan.

Kini kau telah lama tiada, Bu. Tapi aku masih hidup di zaman ini, enam abad setelah zamannya Bang Malin, Bu. Entah kenapa, sepertinya aku ditakdirkan menjadi saksi bisu atas sejarah bangsa ini—seperti Kiai Semar di Tanah Jawa. 

Ternyata, Bu, bangsa ini kerap dipenuhi peperangan, amuk sosial, pertentangan antar-agama, dan korupsi pikiran sejak usia dini. Bahwa di hari-hari kini, makin banyak Bang Malin Bang Malin baru, Bu, dengan busana yang jauh berbeda, perahu lebih otomatis, dan makanan lebih instan. Mereka sama, seperti Bang Malin putramu itu, tak ingin lagi mengenal ibu pertiwinya, merasa asing dengan tanah-airnya, penuh curiga terhadap apa pun warisan ibu kandungnya.

Oh, Ibunda kami semua, wanita mulia yang malang, perempuan yang berputra durhaka tak kepalang. 


Ojel


Tidak ada komentar:

Posting Komentar