Saya Temannya Bang Malinkundang
Kawan-kawan tentu tahu
siapa dia. Sejak kecil, dari cerita bergambar dan buku kumpulan cerita legenda,
kita sudah tahu siapa itu Bang Malin: seorang anak kanduang yang durhaka pada
bundo kanduangnyo.
Sebelum tragedi kutukan
yang sangat terkenal itu, saya sendiri diajak Bang Malin untuk sama-sama
merantau, tapi sayang aku lagi ga punya uang. Ia bilang, bahwa tujuan merantau,
selain ingin berdagang, juga ingin menuntut ilmu yang tak terdapat di Tanah
Minang. Ia tak puas dengan jawaban akan pertanyaan yang sangat mengganggunya:
mengapa atap rumah Minang berbentuk tanduk kerbau? Ia ingin jawaban yang lebih
dramatis. Aku sendiri jadinya hanya mengantar kawanku itu hingga dermaga,
menemani ibunya yang sangat bangga anak semata wayangnya akan go internasional.
Berdestar sutra, berbaju hitam, dengan keris malela di sabuk, sambil membawa
gembolan berisi kain, sarung, rendang, sambal balado, dan sate padang, Bang
Malin mencium kaki sang bunda takzim, ditaburi doa-petuah sang ibu. Di perahu
yang layarnya mulai terkembang itu, Bang Malin yang lebih tampan dari biasanya
itu melambaikan tangan pada semua pengantar. Sang ibu, juga tunangan Bang
Malin, menangis sambil membalasnya dengan saputangan sutra buatan Cina.
Enam bulan kemudian,
terdengarlah tragedi kemanusiaan itu: Bang Malin dikutuk jadi batu karang! Aku,
yang saat itu sedang di lapau, langsung diajak kawan ke rumah Bang Malin.
Tampak ibu Bang Malin menangis sedu sedan ,dikelilingi tetangga dan kerabat.
Kawanku itu bilang, tadi pagi ibu dan saudara-saudari Bang Malin pergi ke
pelabuhan hendak menyongsong kedatangan Bang Malin. Begitu yang ditunggu turun
dari perahu, semua orang merasa pangling dengan tampilan baru Bang Malin:
berjubah seputih kapas dengan destar sangat tebal sewarna, menyoren pedang
buatan seberang, berjanggut—membuatnya terlihat makin tampan, membikin para
perawan di dermaga histeris—dikuti belasan anak buah yang menggotong peti-peti
besar berisi barang-barang seberang yang mewah. Tapi, begitu melintasi
kerumunan orang di mana sang ibu, yang memakai penutup kepala berbentuk tanduk
kerbau itu, berdiri, Bang Malin tak menoleh pun ketika namanya
dipanggil-panggil sang ibu. Barulah setelah sang ibu berteriak namanya, Bang
Malin menoleh.
“Sumpah, awak lihat
sendiri,” terang kawanku itu yang juga ikut menyongsong Bang Malin di dermaga.
“Bang Malin tak kenal lagi pada ibunya. Malah kosakatanya banyak yang baru,
yang tak dimengerti sang ibu. Aku lalu menyeruak ke depan, meyakinkan Bang
Malin bahwa wanita itu benar-benar ibunya. Tapi, duh, kata-kata yang
dilontarkan Bang Malin begitu menyakitkan, melebihi tusukan berjuta sembilu.
Malah ia singkirkan lengan sang ibu yang hendak memeluk kakinya. Bang Balin
berkata bahwa wanita itu sengaja mengaku-aku sebagai ibunya karena melihat
dirinya telah jadi saudagar kaya dan telah paham ilmu pengetahuan baru yang,
menurutnya, jauh lebih keren, lebih masuk akal, dan punya kitab yang lebih
tebal. Saking sakit hati, sang ibu lalu berkata bahwa hati Bang Malin telah
membatu sepulang merantau, lebih keras dari batu karang yang teratos sekalipun.
Dan semua hadirin terhenyak begitu melihat sosok Bang Malin berubah menjadi
segunduk batu karang. Tunangan Bang Malin hingga kini malah masih di sana,
meratapi kekasih-batunya.”
"Batu Malinkundang" yang hingga kini teronggok di sebuah pantai di Sumatra Barat |
Aku menengok ke dalam
rumah. Kini, tangis ibu Bang Malin telah reda. Beliau mengaku, kata-katanya itu
bukanlah kutukan, hanya luapan amarah sesaat yang tak terbendung. Katanya, seandainya
Bang Malin masih mengakuinya sebagai ibunya walau pribadi, busana, dan gaya
bicara Bang Malin telah berubah, maka ia masih akan tetap menyayanginya. Karena
Bang Malin sudah keterlaluan, keluarlah kata-kata itu. Beliau tak menyangka,
ucapannya jadi kutukan maha dahsyat.
Ah, ibunda Bang Malin.
Andai saja aku ada di dermaga saat itu, tentu aku akan berusaha menahanmu agar
kata-kata saktimu itu tak terlisankan, dengan begitu kemungkinan Bang Malin
lambat-laun mau mengakui bahwa kau bunda kanduangnya yang paling sah, sehingga tragedi
tersebut tak pernah ada dalam sejarah umat manusia. Tapi daun papaya sudah jadi
lalapan, tak bisa dikembalikan.
Tapi, Ibu, tahukah kau
bahwa batu karang jelmaan anakmu itu ternyata tak kutemukan di dermaga legenda
itu? Kata warga setempat, tak pernah ada batu Bang Malin di sana; itu hanya
legenda bodoh ciptaan orang-orang penggemar takhayul. Kata mereka, Malin
Kundang itu justru menghilang bersama jasadnya saat ibunya menumpahkan
kutukannya. Malah aku ditunjuki warga setempat kuburan Malin Kundang. Katanya,
Malinkundang wafat secara wajar setelah sukses menjadi tokoh pendiri kampung
bersangkutan.
Kini kau telah lama
tiada, Bu. Tapi aku masih hidup di zaman ini, enam abad setelah zamannya Bang
Malin, Bu. Entah kenapa, sepertinya aku ditakdirkan menjadi saksi bisu atas
sejarah bangsa ini—seperti Kiai Semar di Tanah Jawa.
Ternyata, Bu, bangsa ini kerap
dipenuhi peperangan, amuk sosial, pertentangan antar-agama, dan korupsi pikiran
sejak usia dini. Bahwa di hari-hari kini, makin banyak Bang Malin Bang Malin baru,
Bu, dengan busana yang jauh berbeda, perahu lebih otomatis, dan makanan lebih
instan. Mereka sama, seperti Bang Malin putramu itu, tak ingin lagi mengenal
ibu pertiwinya, merasa asing dengan tanah-airnya, penuh curiga terhadap apa pun
warisan ibu kandungnya.
Oh, Ibunda kami semua,
wanita mulia yang malang, perempuan yang berputra durhaka tak kepalang.
Ojel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar