Rumah dinas para gubernur jenderal VOC di Kastil Batavia abad ke-17, tempat dirumuskannya kebijakan sosial-politik-ekononi oleh gubernur jenderal |
Masalah
Perizinan Mendirikan Masjid di Batavia Abad ke-17
Masalah perizinan mendirikan tempat beribadah kerap jadi
masalah di sebuah wilayah yang pemerintahannya berbeda keyakinan. Seperti yang
terjadi di medio abad ke-17 di Batavia. Sejak berdirinya, Batavia, kota ala
Eropa ciptaan Jan Pieterszoon Coen tahun 1619 ini, memang diperuntukkan sebagai
koloni orang-orang Belanda dan Eropa lain yang harus patuh pada kebijakan
VOC-Belanda. “Orang-orang asing” seperti Cina, India, Arab, Portugis, dan
“Moor” serta Hindia lain semisal Jawa, Melayu, Bugis, Makassar, Bali, Ambon,
dan Maluku, pun harus taat pada kebijakan Pemerintah Agung Batavia yang
resminya beragama Protestan.
Tapi, penduduk Eropa di Batavia tetaplah minoritas
jika dibandingkan mereka yang tinggal di dalam benteng Kota (termasuk
budak-budak) dan mayoritas yang berdiam di luar benteng Kota. Kebanyakan mereka
penganut Islam. Dan sebagai Muslim, mereka tentu ingin beribadah dengan nyaman
di dalam masjid yang legal. Semasa Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (1636-45), orang “Moor” (baca: Muslim) memang diberi kebebasan beribadah,
namun itu tak berlangsung lama.
Gubjen Cornelis van der Lijn, pengganti van Diemen, berencana merobohkan masjid dan
berjanji apabila “pendeta Moor” (baca: kiai atau ustad) tertangkap basah melakukan
“ibadah kafir melawan Kristus, Juru Selamat kami”, mereka akan dirantai dan
dijebloskan ke penjara. Keputusannya mendapat dukungan dewan gereja Batavia yang berpendapat jika ibadah
orang Moor dibiarkan maka akan merusak masyarakat Mardiker, karena dulu sebelum
dibaptis menjadi Mardiker mereka adalah muslim yang berasal dari Benggali (Bangladesh
kini). Namun, entah kenapa,
hingga masa
pemerintahan Carel Reinersz (1650-53) masjid di dalam Kota tetap aktif. Hanya akibat tekanan dewan gereja,
Carel berjanji akan merobohkan masjid dan membuang Lebai Assua (Aswad?) ke Formosa (Taiwan).
Secercah harapan terbit kala Carel Reinersz digantikan Mr. Joan Maetsuyker (1653-1678). Saat Maetsuycker menjadi
gubjen, Lebai Assua kembali bebas
bergerak di Kota Batavia. Kaum Muslim meminta Pemerintah Agung untuk diizinkan bikin
masjid baru. Maetsuycker membela mereka dengan berkata “bukankah orang Muslim juga
percaya satu Tuhan Yang Esa dan mereka tak bisa disalahkan karena tak mengakui
azas Tritunggal dalam Nasrani hanya karena dalam Quran tak ada keterangan yang
benar akan kebenaran sejarah Nasrani?”
Melalui kebijakannya, para pendeta dalam dewan
gereja Batavia hanya
bisa gigit jari melihat kaum Muslim bisa beribadah di masjid di dalam Kota tanpa halangan. Malah kaum
Mardiker, orang
India yang sudah dinasranikan dan tinggal di kawasan mayoritas muslim, tertarik
ikut bersembahyang di masjid dan tak bisa menarik diri dari kebiasaan orang Muslim. Kemajemukan
memang tak bisa diseragamkan.
Ojel
Catatan: esai ini pernah dimuat di dalam rubrik "Indonesia Once Upon A Time" di Sunday People edisi Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar