Laman

Sabtu, 21 Januari 2017

rumah dinas gubernur jenderal VOC di Kastil Batavia abad ke-17
Rumah dinas para gubernur jenderal VOC di Kastil Batavia abad ke-17,
tempat dirumuskannya kebijakan sosial-politik-ekononi oleh gubernur jenderal

Masalah Perizinan Mendirikan Masjid di Batavia Abad ke-17


Masalah perizinan mendirikan tempat beribadah kerap jadi masalah di sebuah wilayah yang pemerintahannya berbeda keyakinan. Seperti yang terjadi di medio abad ke-17 di Batavia. Sejak berdirinya, Batavia, kota ala Eropa ciptaan Jan Pieterszoon Coen tahun 1619 ini, memang diperuntukkan sebagai koloni orang-orang Belanda dan Eropa lain yang harus patuh pada kebijakan VOC-Belanda. “Orang-orang asing” seperti Cina, India, Arab, Portugis, dan “Moor” serta Hindia lain semisal Jawa, Melayu, Bugis, Makassar, Bali, Ambon, dan Maluku, pun harus taat pada kebijakan Pemerintah Agung Batavia yang resminya beragama Protestan. 


Tapi, penduduk Eropa di Batavia tetaplah minoritas jika dibandingkan mereka yang tinggal di dalam benteng Kota (termasuk budak-budak) dan mayoritas yang berdiam di luar benteng Kota. Kebanyakan mereka penganut Islam. Dan sebagai Muslim, mereka tentu ingin beribadah dengan nyaman di dalam masjid yang legal. Semasa Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (1636-45), orang Moor (baca: Muslim) memang diberi kebebasan beribadah, namun itu tak berlangsung lama.

Gubjen Cornelis van der Lijn, pengganti van Diemen, berencana merobohkan masjid dan berjanji apabila “pendeta Moor” (baca: kiai atau ustad) tertangkap basah melakukan “ibadah kafir melawan Kristus, Juru Selamat kami”, mereka akan dirantai dan dijebloskan ke penjara. Keputusannya mendapat dukungan dewan gereja Batavia yang berpendapat jika ibadah orang Moor dibiarkan maka akan merusak masyarakat Mardiker, karena dulu sebelum dibaptis menjadi Mardiker mereka adalah muslim yang berasal dari Benggali (Bangladesh kini). Namun, entah kenapa, hingga masa pemerintahan Carel Reinersz (1650-53) masjid di dalam Kota tetap aktif. Hanya akibat tekanan dewan gereja, Carel berjanji akan merobohkan masjid dan membuang Lebai Assua (Aswad?) ke Formosa (Taiwan).

Secercah harapan terbit kala Carel Reinersz digantikan Mr. Joan Maetsuyker (1653-1678). Saat Maetsuycker menjadi gubjen, Lebai Assua kembali bebas bergerak di Kota Batavia. Kaum Muslim meminta Pemerintah Agung untuk diizinkan bikin masjid baru. Maetsuycker membela mereka dengan berkata bukankah orang Muslim juga percaya satu Tuhan Yang Esa dan mereka tak bisa disalahkan karena tak mengakui azas Tritunggal dalam Nasrani hanya karena dalam Quran tak ada keterangan yang benar akan kebenaran sejarah Nasrani?”

Melalui kebijakannya, para pendeta dalam dewan gereja Batavia hanya bisa gigit jari melihat kaum Muslim bisa beribadah di masjid di dalam Kota tanpa halangan. Malah kaum Mardiker, orang India yang sudah dinasranikan dan tinggal di kawasan mayoritas muslim, tertarik ikut bersembahyang di masjid dan tak bisa menarik diri dari kebiasaan orang Muslim. Kemajemukan memang tak bisa diseragamkan.

Ojel

Catatan: esai ini pernah dimuat di dalam rubrik "Indonesia Once Upon A Time" di Sunday People edisi Juli 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar