Lukisan diri Raden Saleh |
Raden Saleh, Pelukis Modern Pertama Indonesia
Siapa tak kenal nama lelaki yang dijuluki “bapak seni lukis”
ini? Ialah pelukis Indonesia pertama yang secara sistematis menggunakan cat
minyak dan mengambil teknik-teknik lukis Barat. Di tangannya, lukisan tak lagi
simbolis semacam bentuk wayang atau suluran seperti dalam batik yang sejak
berabad-abad dilakukan seniman Indonesia. Realisme pada potret, pencairan
gerak, perspektif serta komposisi berbentuk piramidalah yang ia terapkan; dan
itu semua merupakan ilmu seni rupa Barat.
Lahir di Terbaya, sekitar Semarang, tahun 1814, Raden Saleh
Sjarief Boestaman berasal dari keluarga priyayi (terlihat dari gelar raden) yang juga mungkin berdarah Arab (terlihat
dari nama sjarief). Saat pemuda, ia bertemu
pelukis asal Belgia bernama Payen yang begitu tertarik akan bakat dan potensi
Saleh. Tahun 1829, Saleh mendapatkan beasiswa untuk belajar di Eropa—suatu hal
yang belum pernah terjadi kala itu. Ia pun pergi ke Belanda dan menetap di sana
untuk belajar melukis pada Schelfhout dan Kruseman hingga 1837.
Ketika beasiswanya habis, ia memutuskan untuk melakukan
perjalanan dengan tujuan menambah pengalaman melukisnya dengan tunjangan hidup
dari para maesenas yang tertarik pada
lukisannya. Dengan cara “berdagang” lukisan seperti itu, ia lalu ke Jerman dan
menetap di Dresden. Ketika terjadi Revolusi 1814, ia tengah di Paris, Prancis,
di mana ia berkenalan dengan Horace Vernet serta, konon menurut keterangan yang
kebenarannya tak bisa dipastikan, menemaninya ke Afrika Utara.
Sekembalinya di Jawa tahun 1851, Saleh menetap di Batavia,
di sebuah rumah yang dirancangnya sendiri dengan bergaya gotik di Cikini. Di
rumahnya ini ia tenggelam dalam melukis, seperti melukis pertarungan
antarbanteng dan pelbagai binatang buas dengan gaya Eropanya. Untuk model
lukisannya, ia bangun kebun khusus binatang-binatang langka yang menjadi cikal
bakal kebun binatang di Jakarta. Juga ia melukis wajah orang, pemandangan, dan
adegan-adegan bersejarah menurut gaya pelukis-pelukis romantik Prancis. Salah
satunya lukisannya adalah Penangkapan
Pangeran Diponegoro, sebagai bentuk simpatinya terhadap perjuangan Sang
Pangeran yang berperang selama lima (1830-35) dalam melawan kolonial Hindia
Belanda.
Comte de Beauvoir, ketika ke Batavia tahun 1866 dan berkunjung
ke rumah Saleh, menulis beberapa baris kalimat mengenai Saleh dalam Voyage autour du monde (Perjalanan
keliling dunia). Tulisnya: “ia adalah arsitek asli rumahnya yang dicat merah
jambu lembut. Ia bicara Prancis sedikit-dikit dan berbahasa Jerman sangat baik.
‘Yang saya impikan,’ begitu kata Saleh dalam bahasa Jerman, ‘hanyalah Eropa;
karena semuanya begitu mempesona sehingga kita tak punya banyak waktu
memikirkan kematian.’ Sungguh kontras yang aneh, mendengar pria berkulit
bewarna ini, yang mengenakan jas hijau dan ikat kepala merah, bersenjatakan
sebuah keris dan palet, berbicara dalam bahasa Goethe mengenai seni Prancis,
keindahan Inggris, dan kenangannya yang menarik tentang kehidupannya di Eropa.”
Karena begitu mengagumi dan rindu kepada keagungan seni
Eropa, Saleh—yang kemudian menjadi anggota Masyarakat Ilmiah Batavia, anggota
Racing Club Buitenzorg, dan makan malan satu meja dengan gubernur jenderal
Hindia Belanda—bersama kedua istrinya tahun 1875 lalu pergi ke Amsterdam,
Sachsen, Firenze, Napoli, Genova, Gent, Baden-Baden, Coburg, dan Paris. Ia
kembali ke Buitenzorg tahun 1879 dan wafat setahun kemudian. Tiga tahun
sepeninggalnya, 1883, dipamerkan 19 lukisan karyanya di Amsterdam, yang
dipinjam dari sejumlah kolektor lukisannya seperti Raja Wilhelm III dan Herzog
von Sachsen-Coburg-Gotha.
Pada pameran Agustus 1976 di Jakarta, untuk kali pertama
dipamerkan sebagian koleksi lukisan mantan Presiden Soekarno, yang salah
satunya adalah lukisan Saleh berjudul Perkelahian
dengan Singa dan menduduki tempat
kehormatan. Pantaslah ia dilukis pada kanvas sejarah Indonesia dengan cat emas.
Ojel
15 April 2016
Catatan: artikel ini pernah dimuat dalam rubrik "History" pada viewpaper bulanan Sunday People edisi Mei 2016
Sumber: Nusa Jawa:
Silang Budaya 1, Lombard, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar