Laman

Selasa, 24 Januari 2017

lukisan diri raden saleh
Lukisan diri Raden Saleh

Raden Saleh, Pelukis Modern Pertama Indonesia


Siapa tak kenal nama lelaki yang dijuluki “bapak seni lukis” ini? Ialah pelukis Indonesia pertama yang secara sistematis menggunakan cat minyak dan mengambil teknik-teknik lukis Barat. Di tangannya, lukisan tak lagi simbolis semacam bentuk wayang atau suluran seperti dalam batik yang sejak berabad-abad dilakukan seniman Indonesia. Realisme pada potret, pencairan gerak, perspektif serta komposisi berbentuk piramidalah yang ia terapkan; dan itu semua merupakan ilmu seni rupa Barat.


Lahir di Terbaya, sekitar Semarang, tahun 1814, Raden Saleh Sjarief Boestaman berasal dari keluarga priyayi (terlihat dari gelar raden) yang juga mungkin berdarah Arab (terlihat dari nama sjarief). Saat pemuda, ia bertemu pelukis asal Belgia bernama Payen yang begitu tertarik akan bakat dan potensi Saleh. Tahun 1829, Saleh mendapatkan beasiswa untuk belajar di Eropa—suatu hal yang belum pernah terjadi kala itu. Ia pun pergi ke Belanda dan menetap di sana untuk belajar melukis pada Schelfhout dan Kruseman hingga 1837.
Ketika beasiswanya habis, ia memutuskan untuk melakukan perjalanan dengan tujuan menambah pengalaman melukisnya dengan tunjangan hidup dari para maesenas yang tertarik pada lukisannya. Dengan cara “berdagang” lukisan seperti itu, ia lalu ke Jerman dan menetap di Dresden. Ketika terjadi Revolusi 1814, ia tengah di Paris, Prancis, di mana ia berkenalan dengan Horace Vernet serta, konon menurut keterangan yang kebenarannya tak bisa dipastikan, menemaninya ke Afrika Utara.

Sekembalinya di Jawa tahun 1851, Saleh menetap di Batavia, di sebuah rumah yang dirancangnya sendiri dengan bergaya gotik di Cikini. Di rumahnya ini ia tenggelam dalam melukis, seperti melukis pertarungan antarbanteng dan pelbagai binatang buas dengan gaya Eropanya. Untuk model lukisannya, ia bangun kebun khusus binatang-binatang langka yang menjadi cikal bakal kebun binatang di Jakarta. Juga ia melukis wajah orang, pemandangan, dan adegan-adegan bersejarah menurut gaya pelukis-pelukis romantik Prancis. Salah satunya lukisannya adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro, sebagai bentuk simpatinya terhadap perjuangan Sang Pangeran yang berperang selama lima (1830-35) dalam melawan kolonial Hindia Belanda.

Comte de Beauvoir, ketika ke Batavia tahun 1866 dan berkunjung ke rumah Saleh, menulis beberapa baris kalimat mengenai Saleh dalam Voyage autour du monde (Perjalanan keliling dunia). Tulisnya: “ia adalah arsitek asli rumahnya yang dicat merah jambu lembut. Ia bicara Prancis sedikit-dikit dan berbahasa Jerman sangat baik. ‘Yang saya impikan,’ begitu kata Saleh dalam bahasa Jerman, ‘hanyalah Eropa; karena semuanya begitu mempesona sehingga kita tak punya banyak waktu memikirkan kematian.’ Sungguh kontras yang aneh, mendengar pria berkulit bewarna ini, yang mengenakan jas hijau dan ikat kepala merah, bersenjatakan sebuah keris dan palet, berbicara dalam bahasa Goethe mengenai seni Prancis, keindahan Inggris, dan kenangannya yang menarik tentang kehidupannya di Eropa.”

Karena begitu mengagumi dan rindu kepada keagungan seni Eropa, Saleh—yang kemudian menjadi anggota Masyarakat Ilmiah Batavia, anggota Racing Club Buitenzorg, dan makan malan satu meja dengan gubernur jenderal Hindia Belanda—bersama kedua istrinya tahun 1875 lalu pergi ke Amsterdam, Sachsen, Firenze, Napoli, Genova, Gent, Baden-Baden, Coburg, dan Paris. Ia kembali ke Buitenzorg tahun 1879 dan wafat setahun kemudian. Tiga tahun sepeninggalnya, 1883, dipamerkan 19 lukisan karyanya di Amsterdam, yang dipinjam dari sejumlah kolektor lukisannya seperti Raja Wilhelm III dan Herzog von Sachsen-Coburg-Gotha.

Pada pameran Agustus 1976 di Jakarta, untuk kali pertama dipamerkan sebagian koleksi lukisan mantan Presiden Soekarno, yang salah satunya adalah lukisan Saleh berjudul Perkelahian dengan Singa dan menduduki tempat kehormatan. Pantaslah ia dilukis pada kanvas sejarah Indonesia dengan cat emas.

Ojel 
15 April 2016


Catatan: artikel ini pernah dimuat dalam rubrik "History" pada viewpaper bulanan Sunday People edisi Mei 2016
Sumber: Nusa Jawa: Silang Budaya 1, Lombard, 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar