Prajurit
Estri Mataram
Dunia kemiliteran ternyata tak
cuma milik lelaki. Di Indonesia, keberadaan prajurit perempuan sudah lama ada. Itulah
kesaksian laksamana Prancis, Augustin
de Beaulieu, saat berkunjung ke istana Aceh dan
menyaksikan sendiri keberadaan prajurit perempuan di sana di abad ke-17. Kesaksian lain datang dari Rijklof van
Goens dan Valentijn tentang prajurit-estri di Mataram.
Van Goens, yang
mengunjungi Mataram medio abad ke-17, memperkirakan korps prajurit-estri itu terdiri atas 150 wanita
muda. Tiga puluh di antaranya selalu mengawal sang raja ketika muncul di depan
orang banyak; 10 dari mereka
mengusung perkakas-perkakas sang raja (bejana air minum, sirih komplet, pipa
tembakau, keset, payung, kotak minyak wangi, dan pakaian-pakaian yang akan
diberikan kepada tamu raja); sementara itu, 20 lainnya
mengawal raja di semua sisi,
lengkap dengan tombak dan sumpit. Goens pun menggambarkan, prajurit-estri
tak hanya berlatih senjata,
namun juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Berdasarkan catatan
orang Belanda yang pertama berkunjung ke Mataram, tradisi prajurit-estri
ini telah ada sejak zaman Sultan Agung (memerintah hingga 1645 M).
Menurut Ann Kumar (dalam Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir
Abad ke-18. Depok: Komunits Bambu, 2008) walau
prajurit-prajurit itu dipilih dari perempuan-perempuan tercantik seantero
kerajaan, raja hampir tak pernah mengambil mereka jadi selir. Francois
Valentijn, pendeta Belanda yang banyak meneliti kekayaan laut di Ambon di awal abad ke-18 menggambarkan: wanita-wanita muda itu kelihatan
“bersemangat dan bangga” ketika dihadiahkan sebagai istri (pejabat yang loyal kepada raja) karena mereka
sadar suami mereka takkan
berani memperlakukan mereka dengan buruk karena takut raja murka.
Keberadaan mereka diperkuat
oleh sumber yang berasal
dari Mataram sendiri, berupa catatan harian seorang prajurit estri dari
istana Mangkunegara zaman Pangeran Mangkunegara I (1726-1796) abad ke-18. Melalui
catatan harian prajurit yang tak
menyebutkan namanya ini, kita mendapati keterangan mengenai kegiatan
para prajurit-estri
ketika bertugas mengawal raja hingga kegiatan di rumah masing-masing. Bila
pulang dari tugas mengawal raja saat berkunjung ke salah seorang residen (tentu orang Belanda) dan
menembakkan salvo, misalnya, para prajurit-estri melepaskan busana emas gaya lelaki yang mereka kenakan untuk
upacara penyambutan tadi, lalu berganti
pakaian wanita putih polos, kemudian pergi berlatih memanah. Keahlian menembak
salvo dipertunjukkan kembali
oleh mereka ketika giliran
gubernur mengunjungi kediaman Mangkunegara.
Keahlian prajurit estri dalam
menembakkan salvo dicatat pula oleh seorang gubernur, Jan Greeve, saat berkunjung ke Surakarta. Dalam
catatan hariannya, ia bercerita tentang penyambutan di
loji Belanda, bahwa tiga
tembakan salvo tersebut ditembakkan “dengan teratur dan tepat hingga membuat
kita kagum” oleh “laskar perempuan itu”; dan sekali lagi sang gubernur
terkagum-kagum menyaksikan laskar perempuan itu menembakkan senjata tangannya
tiga kali, diikuti tembakan dari senjata kecil (artileri) lain yang diletakkan
di samping mereka.
Ojel
Catatan: artikel ini pernah dimuat di rubrik "Indonesia Once Upon A Time" pada viewpaper Sunday People edisi September 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar