Laman

Sabtu, 21 Januari 2017

Prajurit Estri Mataram


Dunia kemiliteran ternyata tak cuma milik lelaki. Di Indonesia, keberadaan prajurit perempuan sudah lama ada. Itulah kesaksian laksamana Prancis, Augustin de Beaulieu, saat berkunjung ke istana Aceh dan menyaksikan sendiri keberadaan prajurit perempuan di sana di abad ke-17. Kesaksian lain datang dari Rijklof van Goens dan Valentijn tentang prajurit-estri di Mataram. 


Van Goens, yang mengunjungi Mataram medio abad ke-17, memperkirakan korps prajurit-estri itu terdiri atas 150 wanita muda. Tiga puluh di antaranya selalu mengawal sang raja ketika muncul di depan orang banyak; 10 dari mereka mengusung perkakas-perkakas sang raja (bejana air minum, sirih komplet, pipa tembakau, keset, payung, kotak minyak wangi, dan pakaian-pakaian yang akan diberikan kepada tamu raja); sementara itu, 20 lainnya mengawal raja di semua sisi, lengkap dengan tombak dan sumpit. Goens pun menggambarkan, prajurit-estri tak hanya berlatih senjata, namun juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Berdasarkan catatan orang Belanda yang pertama berkunjung ke Mataram, tradisi prajurit-estri ini telah ada sejak zaman Sultan Agung (memerintah hingga 1645 M).

Menurut Ann Kumar (dalam Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18. Depok: Komunits Bambu, 2008) walau prajurit-prajurit itu dipilih dari perempuan-perempuan tercantik seantero kerajaan, raja hampir tak pernah mengambil mereka jadi selir. Francois Valentijn, pendeta Belanda yang banyak meneliti kekayaan laut di Ambon di awal abad ke-18 menggambarkan: wanita-wanita muda itu kelihatan “bersemangat dan bangga” ketika dihadiahkan sebagai istri (pejabat yang loyal kepada raja) karena mereka sadar suami mereka takkan berani memperlakukan mereka dengan buruk karena takut raja murka.

Keberadaan mereka diperkuat oleh sumber yang berasal dari Mataram sendiri, berupa catatan harian seorang prajurit estri dari istana Mangkunegara zaman Pangeran Mangkunegara I (1726-1796) abad ke-18. Melalui catatan harian prajurit yang tak menyebutkan namanya ini, kita mendapati keterangan mengenai kegiatan para prajurit-estri ketika bertugas mengawal raja hingga kegiatan di rumah masing-masing. Bila pulang dari tugas mengawal raja saat berkunjung ke salah seorang residen (tentu orang Belanda) dan menembakkan salvo, misalnya, para prajurit-estri melepaskan busana emas gaya lelaki yang mereka kenakan untuk upacara penyambutan tadi, lalu berganti pakaian wanita putih polos, kemudian pergi berlatih memanah. Keahlian menembak salvo dipertunjukkan kembali oleh mereka ketika giliran gubernur mengunjungi kediaman Mangkunegara.

Keahlian prajurit estri dalam menembakkan salvo dicatat pula oleh seorang gubernur, Jan Greeve, saat berkunjung ke Surakarta. Dalam catatan hariannya, ia bercerita tentang penyambutan di loji Belanda, bahwa tiga tembakan salvo tersebut ditembakkan “dengan teratur dan tepat hingga membuat kita kagum” oleh “laskar perempuan itu”; dan sekali lagi sang gubernur terkagum-kagum menyaksikan laskar perempuan itu menembakkan senjata tangannya tiga kali, diikuti tembakan dari senjata kecil (artileri) lain yang diletakkan di samping mereka.


Ojel

Catatan: artikel ini pernah dimuat di rubrik "Indonesia Once Upon A Time" pada viewpaper Sunday People edisi September 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar