Nasionalisme Konfrontatif
“Ganyang Malaysia!”
dan “Ganyang Nekolim!” adalah dua dari banyak seruan patriotik nan riuh-rendah
yang begitu mengharu biru di zaman Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno, di
tengah situasi Perang Dingin yang memanas serta pertarungan partai-partai ideologis
dalam negeri yang tak kalah panas saat itu, begitu gemar membakar gelora nasionalisme
orang Indonesia yang untuk
menghancurkan neokolonialisme seperti di Malaya. Sang Presiden ingin
buktikan pada PBB dan Amerika Serikat bahwa Indonesia bukanlah budak mereka,
karena itu politik luar negeri Indonesia cenderung menoleh pada Soviet dan RRC.
Ia makin percaya diri setelah Papua Barat jatuh ke dalam pelukan Indonesia dari
Belanda yang sebelumnya enggan menyerahkan wilayah itu sejak KMB ditandatangani
di Den Haag akhir 1949.
Soekarno—yang tak
pernah menciptakan perang saudara sejak Proklamasi hingga kejatuhannya—paham
betul bahwa mentalitas orang Indonesia begitu agresif terhadap musuh bersama. Karena
itulah ia, yang sejak mahasiswa lihai beragitasi dengan bahasa hiperbolis dan
suara yang menggetarkan langit, kembali menjadi “pemersatu” bangsa dengan
mencanangkan Dwikora dan seabreg ajakan konfrontatif lain terhadap apa pun yang
dinilai merugikan kedaulatan negara. Ia sadar benar, perannya sebagai orang
nomor satu sejak masa pergerakan nasional hingga menjadi presiden RI di masa
Revolusi bisa diaktifkan kembali saat negara dilanda kekisruhan politik dalam
negeri. Bung Besar rupanya ingin memalingkan perhatian rakyat sejenak ke arah
luar, ke arah musuh di seberang lautan, agar konflik dalam negeri seperti
gerakan separatisme dan perseteruan komunis-militer dapat didinginkan.
Kita tahu, konfrontasi
bersenjata atas rasa nasionalitas dimulai saat Revolusi 1945-49. Saat itu yang
jadi musuh adalah Sekutu dan Belanda. Segala yang berbau merah-putih-biru
adalah lawan yang patut dijebol. Garis antara generasi tua dengan generasi muda
main jelas. Laskar-laskar bentukan rakyat menjamur, dengan masing-masing garis
perjuangan dan politiknya. Kursus-kursus politik—sebagaimana kesaksian
Pramoedya Ananta Toer—menjadi pemandangan umum. Orang muda, termasuk perempuan,
demam revolusi, demam politik. Semangat jurnalisme yang sempat mati di zaman
Jepang kembali berkobar dengan terbitnya surat kabar dan majalah revolusioner. Konfrontasi
terhadap penjajahan-kembali dalam segala bentuknya mendapatkan wadah yang
paling tepat bagi bangsa yang tengah yuporia terbebas dari belenggu
imperialisme modern, dengan segala kecut dan manisnya.
Peperangan. Inilah
yang kerap mengisi lembar-lembar sejarah negeri ini. Sejak Sriwijaya hingga
Majapahit, peranglah yang lebih banyak dikisahkan. Begitu negeri ini didatangi
para pelaut Portugis dan Spanyol kemudian Belanda, peperanganlah yang menjadi
kisah besar zaman itu. Abad ke-16, Ternate, Tidore, Demak, Ambon, Aceh,
misalnya, harus berperang di lautan melawan Portugis. Di abad selanjutnya,
giliran Mataram, Aceh, Banten, Makassar, Palembang harus menghadapi kapal-kapal
Kompeni. Di abad ke-18 yang relatif tenang, para bangsawan Mataram masih
berkutat rebutan takhta di mana Kompeni diminta bantuannya oleh salah satu
pihak yang bertikai, sementara gerakan Kiai Tapa dari Banten dalam melawan VOC
tak mencapai klimaks, serta Riau di bawah Raja Haji kalah jua oleh VOC, dan di lain pihak Kompeni
meraup keuntungan besar ekspor dari kopi yang ditanam di Priangan. Seabad
kemudian, abad ke-19, kembali pertempuran bersenjata meletus. Kali ini medan
pertempuran sudah melesak di pedalaman, bukan lagi di lautan seperti dua-tiga
abad sebelumnya—menandakan kekuatan bahari kerajaan-kerajaan pesisir sudah
punah. Yang menggerakkannya adalah kaum agamawan dan bangsawan di Jawa, Aceh, Batak,
Ambon, Lombok, dan Bali. Tak hanya perang berskala besar, gerakan-gerakan
sosial yang juga mengangkat senjata terhadap Belanda bermunculan di mana-mana,
yang dipimpin tokoh kharismatik yang dianggap Ratu Adil pengusir sumber petaka.
Namun, kita pun tahu, semua peperangan dan angkat senjata itu gagal, baik di
tengah jalan atau hingga titik darah pamungkas. Bangsa Indonesia di abad ke-19 telah
kehabisan peluru, taktik, semangat, dan juga makin ketinggalan zaman, sementara para bupati
telah diberi gaji bulanan sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda.
Bangsa kita otomatis telah jadi bedinde
dan budak di bumi sendiri.
Peperangan-peperangan
dari abad ke-16 hingga ke-19 dan awal abad ke-20 meletus karena satu hal saja:
musuh bersama. Inilah nasionalisme-konfrontatif, rasa cinta kepada tanah-air dan ibu
pertiwi karena musuh di luar. Mereka baru sadar bahwa musuh benar-benar mengancam
kehidupan mereka saat musuh sudah mendirikan benteng yang berbastion di keempat
penjurunya di sungai seberang rumah mereka. Dan mereka baru bahu-membahu saat moncong-moncong meriam
di benteng musuh itu telah disulut mengarah pintu rumah mereka. Mereka
terlambat. Dari sini kita kemudian tahu, Indonesia bukan Jepang. Walau sama
negara kepulauan, Jepang sejak abad abad ke-7 SM sudah punya kaisar yang sosoknya
bisa mempersatukan orang-orang Jepang berbeda pulau. Sementara, raja-raja
Indonesia tak pernah bersatu walau Gajah Mada mencanangkan gagasan persatuan
Nusantara di abad ke-14. Nusantara tetap bukan kerajaan, sementara Majapahit
tak lama menjadi kemaharajaan karena keburu terancam disintegrasi sejak Perang
Paregreg.
Setelah konfrontasi
bersenjata menemui kegagalannya, mulailah para bumiputera Indonesia di awal abad
ke-20 sadar bahwa penjajah harus dilawan dengan senjata lain yang lebih modern
dan jauh lebih mujarab: organisasi. Inilah periode ketika bangsa Indonesia
melepaskan diri dari nasionalisme konfrontatif, menjadi manusia modern hasil didikan
Barat yang tahu kekuatan bahasa sebagai modal mendidik bangsa sendiri untuk
berpikir dan bertindak seperti musuh
mereka. Lahirlah Pattimura baru, Diponegoro baru, Cut Nyak
Dhien baru, Si Singamangaraja XII baru, bahkan pejuang Islam "garis keras" semodel Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol baru, dengan alam pikiran, siasat,
dan teknologi yang serba baru dan canggih. Bukan pedang bukan bedil, melainkan
pena dan surat kabar. Yang dihembuskan bukan lagi Ratu Adil dan ramalan,
melainkan demokrasi, liberalisme, sosialisme, komunisme, dan Pan-Islamisme.
Indonesia, juga negara-negara terjajah lain, sedang berada di titik balik
penentu masa depannya sendiri.
Namun, begitu merdeka,
kembali orang Indonesia diseret ke zaman primitifnya: kokang senjata menuding
musuh bersama, dan ini berlanjut setelah Gestapu 1965 pecah. Oleh tangan Mayjen
Soeharto, Indonesia diperhadapkan dengan musuh bersama yang baru, komunis di
dalam negeri. Pembersihan dan pembunuhan terhadap ribuan simpatisan PKI dan
yang loyal terhadap Soekarno pun terjadi; kebanyakan tanpa proses peradilan. Anggapan
mayoritas bahwa komunis adalah ateis tentu melempangkan jalan bagi orang
Indonesia yang sangat religius-emosional dalam melakukan penangkapan dan
pembinasaan terhadap siapa yang dinilai komunis di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, dan basis-basis komunis lain, sejak medio Oktober 1965 hingga 1969.
Saat diwawancarai televisi Belanda, Oktober 1976, Kopkamtib Laksamana
Soedomo menyebutkan, mereka yang telah dilepas nyawanya diperkirakan lebih dari
500.000. Sumber-sumber lain menyebutkan kira-kira 700.000 hingga sejuta lebih
nyawa telah dicabut. Komandan RPKAD Sarwo Edhie yang
memimpin pembersihan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali malah mengklaim telah membunuh 3 juta simpatisan komunis. Chaerul Saleh, tokoh pemuda dalam peristiwa Proklamasi serta Ketua MPRS
dan Wakil Perdana Menteri II, karena dikenal loyal terhadap Soekarno lantas dibawa ke rumah tahahan tanpa
diajukan ke pengadilan lalu meninggal dunia beberapa bulan kemudian. Setelah
jenazahnya diantarkan kepada keluarganya, Jenderal Soeharto menyatakan kepada
istri Chaerul Saleh bahwa suaminya tak terlibat G30S/PKI. Di sini, konfrontasi memerlukan kambing hitam dan di saat yang sama menampik sendi-sendi
demokrasi.
Alam pikiran orang
Indonesia memang tak pernah kosong dari ketakutan terhadap Tuhan dan prasangka
keagamaan. Alam pikiran yang emosional seperti ini merupakan lahan subur bagi
tumbuhnya benih-benih konfrontasi. Karena itulah, orang Indonesia selalu
melihat sejarah secara emosional. Kita tak pernah diajarkan membaca sejarah
secara kritis. Yang dipaparkan buku-buku sejarah yang ditulis orang Indonesia,
terutama buku sejarah SD-SMA, hanyalah segi-segi positif dari masa lalu. Tak
pernah guru sejarah menyinggung alasan orang-orang Indonesia sejak dulu selalu
berada di lingkaran peperangan. Sejarah Jawa sejak zaman Hindu-Buddha hingga
masa sultan-sunan Mataram dipenuhi peperangan, intrik istana, dan kudeta
merangkak. Juga sejarah Bugis-Makassar yang penuh dengan adegan perang sejak
Islam belum dianut daeng dan karaeng mereka. Tak pernah ada sebuah
“renaissance” dalam sejarah Indonesia, gerakan pembaharuan yang berusaha
meninggalkan sebagian dogma agama yang dinilai mempersempit gerak dan pikiran
manusia yang berkehendak bebas. Yang terjadi berkesinambungan justru pencerahan
atas dasar agama. Candi-candi dan pustaka-pustaka kuno menjelaskan itu.
Agamalah sakaguru kehidupan manusia Indonesia sejak zaman “menyembah pohon” hingga “menyembah internet”. Dan
jika modal kita yang seperti itu tak dikelola secara bijaksana dan kritis, maka
nasionalisme konfrontatif akan terus mewarnai tanah air ini dengan sapuannya
yang, bisa jadi, lebih dahsyat dan
kelam.
Ojel
1 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar