Laman

Sabtu, 07 Januari 2017

perang bharatayuddha
Imaji perang Bharatayuddha, di mana Pandawa yang protagonis
melawan Kurawa yang antagonis, sebuah peperangan legendaris yang
kerap dijadikan "ilham" negara-negara kuno di Nusantara dulu
dalam menaklukkan lawan-lawannya


Nasionalisme Konfrontatif


“Ganyang Malaysia!” dan “Ganyang Nekolim!” adalah dua dari banyak seruan patriotik nan riuh-rendah yang begitu mengharu biru di zaman Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno, di tengah situasi Perang Dingin yang memanas serta pertarungan partai-partai ideologis dalam negeri yang tak kalah panas saat itu, begitu gemar membakar gelora nasionalisme orang Indonesia yang untuk menghancurkan neokolonialisme seperti di Malaya. Sang Presiden ingin buktikan pada PBB dan Amerika Serikat bahwa Indonesia bukanlah budak mereka, karena itu politik luar negeri Indonesia cenderung menoleh pada Soviet dan RRC. Ia makin percaya diri setelah Papua Barat jatuh ke dalam pelukan Indonesia dari Belanda yang sebelumnya enggan menyerahkan wilayah itu sejak KMB ditandatangani di Den Haag akhir 1949.


Soekarno—yang tak pernah menciptakan perang saudara sejak Proklamasi hingga kejatuhannya—paham betul bahwa mentalitas orang Indonesia begitu agresif terhadap musuh bersama. Karena itulah ia, yang sejak mahasiswa lihai beragitasi dengan bahasa hiperbolis dan suara yang menggetarkan langit, kembali menjadi “pemersatu” bangsa dengan mencanangkan Dwikora dan seabreg ajakan konfrontatif lain terhadap apa pun yang dinilai merugikan kedaulatan negara. Ia sadar benar, perannya sebagai orang nomor satu sejak masa pergerakan nasional hingga menjadi presiden RI di masa Revolusi bisa diaktifkan kembali saat negara dilanda kekisruhan politik dalam negeri. Bung Besar rupanya ingin memalingkan perhatian rakyat sejenak ke arah luar, ke arah musuh di seberang lautan, agar konflik dalam negeri seperti gerakan separatisme dan perseteruan komunis-militer dapat didinginkan.

Kita tahu, konfrontasi bersenjata atas rasa nasionalitas dimulai saat Revolusi 1945-49. Saat itu yang jadi musuh adalah Sekutu dan Belanda. Segala yang berbau merah-putih-biru adalah lawan yang patut dijebol. Garis antara generasi tua dengan generasi muda main jelas. Laskar-laskar bentukan rakyat menjamur, dengan masing-masing garis perjuangan dan politiknya. Kursus-kursus politik—sebagaimana kesaksian Pramoedya Ananta Toer—menjadi pemandangan umum. Orang muda, termasuk perempuan, demam revolusi, demam politik. Semangat jurnalisme yang sempat mati di zaman Jepang kembali berkobar dengan terbitnya surat kabar dan majalah revolusioner. Konfrontasi terhadap penjajahan-kembali dalam segala bentuknya mendapatkan wadah yang paling tepat bagi bangsa yang tengah yuporia terbebas dari belenggu imperialisme modern, dengan segala kecut dan manisnya.

Peperangan. Inilah yang kerap mengisi lembar-lembar sejarah negeri ini. Sejak Sriwijaya hingga Majapahit, peranglah yang lebih banyak dikisahkan. Begitu negeri ini didatangi para pelaut Portugis dan Spanyol kemudian Belanda, peperanganlah yang menjadi kisah besar zaman itu. Abad ke-16, Ternate, Tidore, Demak, Ambon, Aceh, misalnya, harus berperang di lautan melawan Portugis. Di abad selanjutnya, giliran Mataram, Aceh, Banten, Makassar, Palembang harus menghadapi kapal-kapal Kompeni. Di abad ke-18 yang relatif tenang, para bangsawan Mataram masih berkutat rebutan takhta di mana Kompeni diminta bantuannya oleh salah satu pihak yang bertikai, sementara gerakan Kiai Tapa dari Banten dalam melawan VOC tak mencapai klimaks, serta Riau di bawah Raja Haji kalah jua oleh VOC, dan di lain pihak Kompeni meraup keuntungan besar ekspor dari kopi yang ditanam di Priangan. Seabad kemudian, abad ke-19, kembali pertempuran bersenjata meletus. Kali ini medan pertempuran sudah melesak di pedalaman, bukan lagi di lautan seperti dua-tiga abad sebelumnya—menandakan kekuatan bahari kerajaan-kerajaan pesisir sudah punah. Yang menggerakkannya adalah kaum agamawan dan bangsawan di Jawa, Aceh, Batak, Ambon, Lombok, dan Bali. Tak hanya perang berskala besar, gerakan-gerakan sosial yang juga mengangkat senjata terhadap Belanda bermunculan di mana-mana, yang dipimpin tokoh kharismatik yang dianggap Ratu Adil pengusir sumber petaka. Namun, kita pun tahu, semua peperangan dan angkat senjata itu gagal, baik di tengah jalan atau hingga titik darah pamungkas. Bangsa Indonesia di abad ke-19 telah kehabisan peluru, taktik, semangat, dan juga makin ketinggalan zaman, sementara para bupati telah diberi gaji bulanan sebagai pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda. Bangsa kita otomatis telah jadi bedinde dan budak di bumi sendiri.

Peperangan-peperangan dari abad ke-16 hingga ke-19 dan awal abad ke-20 meletus karena satu hal saja: musuh bersama. Inilah nasionalisme-konfrontatif, rasa cinta kepada tanah-air dan ibu pertiwi karena musuh di luar. Mereka baru sadar bahwa musuh benar-benar mengancam kehidupan mereka saat musuh sudah mendirikan benteng yang berbastion di keempat penjurunya di sungai seberang rumah mereka. Dan mereka baru bahu-membahu saat moncong-moncong meriam di benteng musuh itu telah disulut mengarah pintu rumah mereka. Mereka terlambat. Dari sini kita kemudian tahu, Indonesia bukan Jepang. Walau sama negara kepulauan, Jepang sejak abad abad ke-7 SM sudah punya kaisar yang sosoknya bisa mempersatukan orang-orang Jepang berbeda pulau. Sementara, raja-raja Indonesia tak pernah bersatu walau Gajah Mada mencanangkan gagasan persatuan Nusantara di abad ke-14. Nusantara tetap bukan kerajaan, sementara Majapahit tak lama menjadi kemaharajaan karena keburu terancam disintegrasi sejak Perang Paregreg.

Setelah konfrontasi bersenjata menemui kegagalannya, mulailah para bumiputera Indonesia di awal abad ke-20 sadar bahwa penjajah harus dilawan dengan senjata lain yang lebih modern dan jauh lebih mujarab: organisasi. Inilah periode ketika bangsa Indonesia melepaskan diri dari nasionalisme konfrontatif, menjadi manusia modern hasil didikan Barat yang tahu kekuatan bahasa sebagai modal mendidik bangsa sendiri untuk berpikir dan bertindak seperti musuh mereka. Lahirlah Pattimura baru, Diponegoro baru, Cut Nyak Dhien baru, Si Singamangaraja XII baru, bahkan pejuang Islam "garis keras" semodel Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol baru, dengan alam pikiran, siasat, dan teknologi yang serba baru dan canggih. Bukan pedang bukan bedil, melainkan pena dan surat kabar. Yang dihembuskan bukan lagi Ratu Adil dan ramalan, melainkan demokrasi, liberalisme, sosialisme, komunisme, dan Pan-Islamisme. Indonesia, juga negara-negara terjajah lain, sedang berada di titik balik penentu masa depannya sendiri.

Namun, begitu merdeka, kembali orang Indonesia diseret ke zaman primitifnya: kokang senjata menuding musuh bersama, dan ini berlanjut setelah Gestapu 1965 pecah. Oleh tangan Mayjen Soeharto, Indonesia diperhadapkan dengan musuh bersama yang baru, komunis di dalam negeri. Pembersihan dan pembunuhan terhadap ribuan simpatisan PKI dan yang loyal terhadap Soekarno pun terjadi; kebanyakan tanpa proses peradilan. Anggapan mayoritas bahwa komunis adalah ateis tentu melempangkan jalan bagi orang Indonesia yang sangat religius-emosional dalam melakukan penangkapan dan pembinasaan terhadap siapa yang dinilai komunis di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan basis-basis komunis lain, sejak medio Oktober 1965 hingga 1969.

Saat diwawancarai televisi Belanda, Oktober 1976, Kopkamtib Laksamana Soedomo menyebutkan, mereka yang telah dilepas nyawanya diperkirakan lebih dari 500.000. Sumber-sumber lain menyebutkan kira-kira 700.000 hingga sejuta lebih nyawa telah dicabut. Komandan RPKAD Sarwo Edhie yang memimpin pembersihan massal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali malah mengklaim telah membunuh 3 juta simpatisan komunis. Chaerul Saleh, tokoh pemuda dalam peristiwa Proklamasi serta Ketua MPRS dan Wakil Perdana Menteri II, karena dikenal loyal terhadap Soekarno lantas dibawa ke rumah tahahan tanpa diajukan ke pengadilan lalu meninggal dunia beberapa bulan kemudian. Setelah jenazahnya diantarkan kepada keluarganya, Jenderal Soeharto menyatakan kepada istri Chaerul Saleh bahwa suaminya tak terlibat G30S/PKI. Di sini, konfrontasi memerlukan kambing hitam dan di saat yang sama menampik sendi-sendi demokrasi.

Alam pikiran orang Indonesia memang tak pernah kosong dari ketakutan terhadap Tuhan dan prasangka keagamaan. Alam pikiran yang emosional seperti ini merupakan lahan subur bagi tumbuhnya benih-benih konfrontasi. Karena itulah, orang Indonesia selalu melihat sejarah secara emosional. Kita tak pernah diajarkan membaca sejarah secara kritis. Yang dipaparkan buku-buku sejarah yang ditulis orang Indonesia, terutama buku sejarah SD-SMA, hanyalah segi-segi positif dari masa lalu. Tak pernah guru sejarah menyinggung alasan orang-orang Indonesia sejak dulu selalu berada di lingkaran peperangan. Sejarah Jawa sejak zaman Hindu-Buddha hingga masa sultan-sunan Mataram dipenuhi peperangan, intrik istana, dan kudeta merangkak. Juga sejarah Bugis-Makassar yang penuh dengan adegan perang sejak Islam belum dianut daeng dan karaeng mereka. Tak pernah ada sebuah “renaissance” dalam sejarah Indonesia, gerakan pembaharuan yang berusaha meninggalkan sebagian dogma agama yang dinilai mempersempit gerak dan pikiran manusia yang berkehendak bebas. Yang terjadi berkesinambungan justru pencerahan atas dasar agama. Candi-candi dan pustaka-pustaka kuno menjelaskan itu. Agamalah sakaguru kehidupan manusia Indonesia sejak zaman “menyembah pohon” hingga “menyembah internet”. Dan jika modal kita yang seperti itu tak dikelola secara bijaksana dan kritis, maka nasionalisme konfrontatif akan terus mewarnai tanah air ini dengan sapuannya yang, bisa jadi, lebih dahsyat dan kelam.


Ojel
1 November 2014





Tidak ada komentar:

Posting Komentar