Laman

Senin, 16 Januari 2017

Ketuhanan Yang Berkebudayaan


Tuhan dan budaya. Sejarah mencatat, pemahaman manusia atas kedua kutub ini acap melahirkan ketegangan. Bahkan menerbitkan luka. Firman mewajibkan manusia tunduk dan sumerah. Namun manusia, sejak turun ke bumi, selalu saja tak pernah puas, bahkan melawan. Mereka merasa, kitab suci tak bisa menjawab semua fenomena dan tantangan hidup. Di seberang jalan, mereka yang percaya bahwa firman adalah jalan lurus, memandang budaya sebagai pahatan manusia yang pasti hancur oleh hunjaman air dari langit.


Sejak zaman Yunani Kuno, manusia sudah mempertanyakan keberadaan dewa-dewi. Para filsuf tak lagi percaya bahwa kehidupan mereka diatur makhluk-makhluk langit. Dewa hanya mitos; atau jika pun makhluk transenden, mereka juga punya kegagalan. Mulailah manusia mengedepankan logos. Filsafat pun berkembang. Mereka mengupas gejala alam dengan pisau baru: akal.

Di tempat lain, para nabi bermunculan, silih berganti sesuai tantangan zaman. Mereka berseru-seru: berhala hanya khayalan manusia. Tuhan tak perlu sesajen. Dia tak berupa, mahagaib, dan manusia wajib mengesakan Dia. Tapi, manusia tak patuh semua. Sebagian tetap ingkar dan kembali memuja patung sapi betina. Yang terjadi selanjutnya, begitu kitab-kitab suci bercerita, Tuhan murka, juga terhadap kaum lain yang membandel. Gempa, hujan batu api, dan bencana maha mengerikan menghantam bumi tempat para pendosa. Hanya mereka yang beriman, yang merasa senasib dengan sang nabi—yang hidup penuh hinaan dan nestapa tak berkesudahan namun tetap tawakal—yang tak diazab. Mereka hanya mengharap surga, bukan dunia yang sekejap dan dikuasai orang-orang bergelang emas.

Namun, agama sendiri sebenarnya mudah goyah dan bisa serapuh berhala. Agama adalah politik ketika pajak dijadikan modal berkuasa. Mereka yang tak seiman dibebani pajak lebih besar. Ia bahkan membentengi diri terhadap yang berbeda—kendati seiman. Di tangan manusia, ia adalah teks—seperti undang-undang Pemda dan Tap MPR. Yang mencoba menjembatani agama dengan filsafat dituding bidah. Perempuan berkerudung namun berjins ketat diwajibkan mengganti jins dengan celana longgar. Di tempat yang sama, empat abad silam, puisi dan rebana dilarang.

bintang sila 1 pancasila
Bintang, sebagai lambang Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila,
merupakan benda langit yang nyata namun tak terjangkau oleh pengetahuan manusia,
persis seperti keberadaan Tuhan Yang Absolut

Tapi, kebudayaan pun lahir dari kepercayaan manusia atas Zat Asal. Arsitektur tradisional dan dongeng lisan, misalnya, secara tak langsung membicarakan naluri dan rasa manusia atas Sang Mahagaib itu. Dengan ketundukan yang takzim, mereka simpan kembang warna-warni di puncak punden tinggalan leluhur, menaruh sesajen di altar batu pipih penopang lingga, membakar dupa di bawah beringin. Tuhan kaum ini adalah Tuhan Tak Berfirman, Silent God, tak berkitab—karenanya disebut agama bumi oleh ajaran Ibrahim. Bagi mereka, pohon dan gunung begitu agung dan dari tanahlah semua benda berasal.

Hingga tiba saatnya agama berfirman berkunjung ke tanah mereka. Datuk pun dijadikan raja. Raja pun jadi sultan. Punden disulap jadi candi. Di kabuyutan berdirilah masjid. Hanya mereka yang tak nyaman dengan perubahan mendadak, kembali berdiam di pedalaman, di kaki gunung. Sementara, di pesisir, raja dan sultan berkuasa dan mencetak hukum tertulis seraya membenahi pelabuhan agar dikunjungi kapal-kapal asing. Makin cepat sirkulasi uang beputar; perang pun kapan saja dapat digenderangkan. Di tangan penguasa berkitab ini, sendi-sendi baru dipancangkan. Sebagian menyempurnakan yang lama, sisanya mengganti total. Dari sana, menyusullah percikan dan gesekan antara “agama” dengan “budaya”, yang kadang bisa dilerai, kadang berlanjut hingga mendidih dan mengakibatkan perih.

Dan manusia terus beranak pinak. Sebagai makhluk spiritual, mereka terus berpegang kepada keyakinan. Sebagai makhluk sosial, mereka perlu berperikebudayaan dan bertoleransi. Dan Bung Karno, tanggal 1 Juni 1945 itu, tahu betul bahwa masing-masing hamba Tuhan haruslah menghormati satu sama lain. Dua bulan lebih sebelum proklamasi dibacakan, singa podium yang selalu berpenampilan necis ini angkat bicara:

“Marilah kita ... menyatakan bahwa prinsip kelima dari negara kita ialah Ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau Saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!”

Adat berpangkal ke bumi. Adat berpucuk ke langit.


Ojel 
8 Februari 2014








Tidak ada komentar:

Posting Komentar