Laman

Jumat, 06 Januari 2017


istana Gowa Makassar
Istana Kesultanan Gowa-Makassar di abad ke-19

Juru Tulis Karaeng Pattingaloang


Kenalin, saya adalah juru tulis Karaeng Pattingaloang. Tentu sebagian besar masbro dan mbaksis asing dengan nama junjunganku ini. Namanya kalah populer oleh Sultan Hasanuddin Makassar dan Arung Palakka, padahal beliau kenal dekat dengan kedua orang legendaris tersebut, karena karaeng-ku ini adalah perdana menteri Kerajaan Makassar pada pertengahan abad ke-17. Jujur—bukan karena anakbuahnya—saya bangga pernah mengabdi padanya. Otak beliau itu di atas rata-rata para bangsawan Makassar, Bugis, dan bangsawan lainnya di Sulawesi, bahkan mungkin dengan aristokrat se-Nusantara di zamannya. Mengapa?


Makassar merupakan kerajaan dwitunggal atau gabungan Gowa dengan Tallo. Jika Karaeng Tallo jadi perdana menteri, maka Karaeng Gowa menjadi rajanya. Kata karaeng setara dengan kata pangeran, gusti, atau panembahan di Pulau Jawa dan Bali, atau rakryan di zaman Jawa Kuno. Di zaman Sultan Hasanuddin di mana karaengku itu mengabdi, Makassar sedang berada dalam masa kejayaannya—jika kejayaan salah satunya ditandai dengan percepatan ekonomi uang. Pelbagai kapal asing dari Inggris, Denmark, Prancis, Belanda, Portugis, India, Cina, Persia, Arab, dan pulau-pulau lain di Nusantara kerap buang jangkar di Sombaopu, pelabuhannya. Setelah Malaka dikuasai Belanda tahun 1644, orang Portugis, yang telah menguasai kota itu seabad lebih, banyak yang hengkang ke pelbagai kota pesisir, salah satu ke Makassar. Dari Makassar pula, salah satunya, orang Portugis pergi ke Manila, jajahan Spanyol, untuk membawa uang real Spanyol alias ringgit yang kemudian disalurkan ke Cina, Makao, India, Jawa, Sumatra, termasuk ke Banten dan tentu ke Makassar sendiri.  Dengan uang perak tersebut, mulai tersisihlah uang semacam tahil, mas, gobog, picis, namun di pihak lain tiang-tiang perdagangan maritim malah dijadikannya lebih tegak—walau kapal-kapal VOC Belanda mengintai di sana-sini. Di zaman inilah Karaeng Pattingaloang menghirup udara semesta, bersamaan dengan degup kosmopolitan dan gairah perdagangan bebas di Makassar.

Gowa-Tallo sendiri saat itu malah belum setengah abad resmi menjadi kerajaan Islam. Raja Tallo pertama yang mualaf adalah I Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Katangka atas tuntunan Datuk ri Bandang, ulama Minang. Itu tahun 1605 Masehi. Langkahnya lalu diikuti Raja Gowa, I Mangngarangi I Daeng Manrabia (kemudian bergelar Sultan Alauddin). Sebelum mereka berdua, yang jadi mualaf adalah penguasa Luwu, kerajaan yang dianggap paling tua dan luhur wibawa keilahiannya dalam masyarakat Bugis, juga atas peranan Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro. Jadi, walau di pesisir barat Sulawesi sudah hidup pedagang Melayu-Muslim, tapi dibanding orang Ternate, Tidore, Ambon, Jawa, apalagi Sumatra, orang Sulawesi terhitung baru menjadi Muslim. Sementara itu, Bone merupakan kerajaan terakhir yang memeluk Islam setelah ditaklukkan Gowa.

Sebelum memeluk Islam, kerajaan-kerajaan di Bugis dan Makassar, konon menurut orang Portugis abad ke-16, kerap bertikai. Memperebutkan jumlah pengikut atau warga? Memperebutkan tanah subur atau yang lebih subur? Ataukah untuk menguasai tambang besi yang begitu menguntungkan untuk dijual terutama kepada saudagar asing yang kekurangan stok besi tuk buat senjata dan bajak? Silakan dikira-kira jawabannya. Yang jelas, peperangan itu terus berlangsung setelah mereka memeluk Islam, tentu dengan dorongan baru yang menjanjikan taman elok dan sungai-sungai di surga: menegakkan pilar-pilar Islam setinggi mungkin. Sebelum menyembah Allah, orang Gowa dan Tallo, juga Bone, Luwu, Wajo, Toraja, Sidenreng, Soppeng, Suppa’, Lamuru, Bajeng, Gantarang, Maros, Siang, Bantaeng, dan wilayah lain di Bugis menyembah Dewata Sisine yang berarti ‘Tuhan Yang Esa’. Dari Sang Dewatalah, begitu yang kubaca dari naskah I La Galigo yang suci itu, muncul tujuh lapis langit atau dunia atas, bumi atau dunia tengah, dan tujuh lapis dunia bawah, lalu kemudian mentari dan bulan. Selanjutnya muncul sejumlah pasangan dewa-dewi penguasa langit, bumi, dan bawah tanah, sampai Batara Guru , putra sulung Datuk Patoto (Dewa Langit Penentu Nasib), turun ke dunia tengah dan memerintah di Luwu—karena itu dianggap cikal bakal masyarakat di Tana Ugi a alias Tanah Bugis.

Sebagai jurutulis Sang Karaeng, tentu aku bisa menulis dengan Jawi (huruf Arab untuk bahasa Melayu), huruf Makassar, huruf Latin,  dan huruf Bugis (walau kadang kedua huruf terakhir ini harus masih aku eja). Juga kadang aku menulis surat berbahasa Melayu atas titah Karaeng yang diperuntukkan bagi orang VOC di Batavia. Pada Juli 1644, misalnya, Karaeng menitahkan aku mengirimkan surat ke seorang kapten kapal Kompeni yang berada di Makassar, berikut  sebelas bahar kayu cendana seharga 60 real per bahar sebagai uang muka dari Karaeng yang meminta dikirimi dua bola dunia. Bola dunia itu kelilingnya 157-160 inci, terbuat dari kayu atau tembaga, agar beliau dapat menentukan letak Kutub Utara-Selatan. Bayangkan! Di saat kaum elit pribumi lain menceburkan diri dalam telaga tasawuf, lautan fikih, wacana syariat, dan kisah-kisah hikayat yang fantastis, bosku itu sudah menggilai sains Barat! Di samping itu, beliau memesan peta dunia yang besar dengan keterangan bahasa Spanyol, Portugis atau Latin; lalu sebuah atlas yang keterangannya ditulis dalam bahasa Latin, Spanyol atau Portugis; terus dua teropong berkualitas terbaik dengan tabung logam ringan serta sebuah suryakanta besar dan bagus. Belum terhitung duabelas prisma segitiga guna mendekomposisikan cahaya. 30-40 tongkat baja kecil, serta sebuah bola dari tembaga atau dari baja. Setelah hampir 4 tahun menunggu, barang-barang pesanan tersebut tiba di Makassar, dan Karaeng yang gemar akan ilmu bumi dan aljabar itu pun gembira ria. Seterusnya, beliau memesan kepada Kompeni barang-barang “aneh” lain untuk dipelajarinya.

Tak cuma itu, aku pun jadi sibuk saat Sang Karaeng membangun perpustakaan besar berisi kitab Melayu serta kitab buatan orang Eropa dengan bahasa aslinya. Bahkan beliau membimbing penerjemahan ikhtisar siasat perang dari bahasa Ispanya dan Rum ke bahasa Makassar. Malah tak sungkan-sungkan belajar pada pendeta Prancis saat sang pendeta berkunjung ke Makassar. Bahasa Portugis Karaeng pun tak ada cela, seperti orang yang lahir dan besar di Lisbon. Padaku, ia khusus menitahkan menulis sejarah Tanah Melayu dan Ambon. Subhanallah, bukan main!

Sayang seribu sayang, masbro dan mbaksis. Makassar kerap bersitegang dengan Bone. Tahun 1660 Al Masih, Arung Palakka Raja Bone perang melawan Sultan Hasanuddin, pengganti Sultan Alaudin, dan meminta uluran tangan VOC. Benteng Panakkukang di Makassar pun dimeriam Kompeni. Kampung-kampung di sekitar benteng dibumihanguskan. Setelah 7 tahun berperang, VOC akhirnya mampu menghancurkannya. Setelah diakui sebagai Raja Bone, Arung Palakka beserta rakyatnya malah dibawa Kompeni ke Batavia, diberi pinjam uang dan ditempatkan di sebuah kampung di sana. Sementara itu, banyak pejuang Makassar pergi ke Banten dan Jawa guna membantu Sultan ageng Tirtayasa dan Trunajaya yang berseteru dengan VOC. Karaeng Pattingaloang sendiri? Entahlah, karena saya sendiri tewas oleh mesiu senapan Kompeni saat hendak mengikuti Karaeng Galesong ke Tanah Jawa guna bersekutu dengan Trunajaya dalam melawan Mataram yang mulai mesra-mesraan dengan VOC. Tak ada yang tahu ke mana bangsawan cendekia-cerdas itu pergi setelah Makassar dikuasai Belanda, tewas atau masih hidup.

Lantas, bila sudah mati kenapa saya bisa bercerita seperti ini? Perlu diketahui, masbro juga mbaksis, bahwa yang hancur itu hanya jasad saya, sementara ruh saya tetap abadi, karena itu saya bisa mengisahkan semua kesaksian saya saat hayat masih dikandung raga. Dan andaikata juraganku itu masih hidup hingga kini, tentu Sang Karaeng akan geleng-gelengkan kepala melihat keadaan sekarang. Kaum ulamanya, mau yang dipanggil kiai haji, habib, syekh, ustad, dan ustadzah, sebagian besar masih tetap berkutat pada fikih dan syariat, masih gemar mempertentangkan Syiah vs Sunni. Perpustakaan mereka kebanyakan berisi buku-buku tafsir Quran dan hadis, sejarah Islam, tokoh-tokoh Islam, dan para reformis Muslim abad ke-19. Padahal dulu, menurut Karaeng kita ini, di zaman keemasan Islam justru kaum intelektual Muslim berusaha mempertemukan intisari keislaman dengan filsafat Yunani Kuno. Zaman tersebut berantakan dikarenakan pemahaman agama yang menyempit, selain akibat pertikaian antardinasti, kudeta berdarah, serta sultan yang tak senang dengan ilmu-sekuler dan malah rakus akan kekuasaan dengan memakai senjata ayat-ayat suci. Umat tak lagi cerdas dalam mempergunakan logos, kalah oleh ketakutan akan neraka dan azab Tuhan.

Lihatlah, Karaeng—jika engkau mendengar di atas langit sana. Di abad ini, empat abad setelah zamanmu, umat jadi cenderung fatalis, senang mengkambinghitamkan ajaran lain, gampang disulut oleh fanatisme edan. Ilmu pengetahuan Barat dianggap momok menyesatkan. Filsafat dan pandangan hidup yang non-Islam dinilai tak patut dipelajari walau untuk sekadar dipahami, bukan diimani. Sebagian malah jadi tak percaya negara, sebaliknya memperjuangkan kekhalifahan tanpa lelah, seolah bumi, dunia tengah ini, takkan damai-tentram jika sistem tersebut belum tercapai.  Ada pula yang gemar memperdebatkan dengan kaum agama lain bahwa yang dimakan Adam-Hawa itu jelas buah koldi, bukan apel. Mereka lupa, bahwa pencipta lampu itu orang Inggris, kreator Facebook itu berdarah Yahudi, pembuat mobil-motor-lokomotif itu orang Barat, termasuk pencipta pengeras suara—yang mana digunakan oleh umat Muslim dalam kumandangkan azan. Yang dibaca hanya kisah kepahlawanan Rasul dan para sahabat saat angkat senjata melawan kafirun Qurais, kegagahan Salahuddin panglima Muslim dalam Perang Salib, fllsuf-filsuf Muslim zaman Kordoba dan Baghdad, atau Wali Sanga. Karenanya mereka jadi tak tahu apa itu Perang Pailir, Perang Pagarage, Perang Paregreg, dan seabreg peperangan di Nusantara baik di darat atau di laut (walau menurutku kisah peperangan merupakan sisi sejarah manusia yang sering membosankan). Mereka lebih paham sejarah Islam atau Islam-Nusantara ketimbang sejarah Nusantara secara menyeluruh.

Dan yang tak kalah kacau, Karaeng, pengkritik pasti dianggapnya penyerang. Mereka tak bisa bedakan arti kritik dengan makna serang.  Jangan-jangan, secara tak sadar mereka sudah memodifikasi arti kritik sesuai selera dan mentalitas yang klasik itu. Duh!


Ojel SY
7-8 Desember 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar