Istana Kesultanan Gowa-Makassar di abad ke-19 |
Juru Tulis Karaeng Pattingaloang
Kenalin, saya
adalah juru tulis Karaeng Pattingaloang. Tentu sebagian
besar masbro dan mbaksis asing dengan nama junjunganku ini. Namanya kalah
populer oleh Sultan Hasanuddin Makassar dan Arung Palakka, padahal beliau kenal
dekat dengan kedua orang legendaris tersebut, karena karaeng-ku ini adalah perdana menteri Kerajaan Makassar pada
pertengahan abad ke-17. Jujur—bukan karena anakbuahnya—saya bangga pernah
mengabdi padanya. Otak beliau itu di atas rata-rata para bangsawan Makassar,
Bugis, dan bangsawan lainnya di Sulawesi, bahkan mungkin dengan aristokrat
se-Nusantara di zamannya. Mengapa?
Makassar merupakan kerajaan
dwitunggal atau gabungan Gowa dengan Tallo. Jika Karaeng Tallo jadi perdana menteri, maka
Karaeng Gowa menjadi rajanya. Kata karaeng
setara dengan kata pangeran, gusti, atau panembahan di Pulau Jawa dan Bali, atau
rakryan di zaman Jawa Kuno. Di zaman Sultan Hasanuddin di mana karaengku itu mengabdi, Makassar sedang
berada dalam masa kejayaannya—jika kejayaan salah satunya ditandai dengan percepatan
ekonomi uang. Pelbagai kapal asing dari Inggris, Denmark, Prancis, Belanda,
Portugis, India, Cina, Persia, Arab, dan pulau-pulau lain di Nusantara kerap
buang jangkar di Sombaopu, pelabuhannya. Setelah Malaka dikuasai Belanda tahun
1644, orang Portugis, yang telah menguasai kota itu seabad lebih, banyak yang
hengkang ke pelbagai kota pesisir, salah satu ke Makassar. Dari Makassar pula,
salah satunya, orang Portugis pergi ke Manila, jajahan Spanyol, untuk membawa
uang real Spanyol alias ringgit yang
kemudian disalurkan ke Cina, Makao, India, Jawa, Sumatra, termasuk ke Banten
dan tentu ke Makassar sendiri. Dengan
uang perak tersebut, mulai tersisihlah uang semacam tahil, mas, gobog, picis,
namun di pihak lain tiang-tiang perdagangan maritim malah dijadikannya lebih
tegak—walau kapal-kapal VOC Belanda mengintai di sana-sini. Di zaman inilah
Karaeng Pattingaloang menghirup udara semesta, bersamaan dengan degup kosmopolitan
dan gairah perdagangan bebas di Makassar.
Gowa-Tallo sendiri
saat itu malah belum setengah abad resmi menjadi kerajaan Islam. Raja Tallo
pertama yang mualaf adalah I Malingkang Daeng Manyonri Karaeng Katangka atas tuntunan Datuk ri
Bandang, ulama Minang. Itu tahun 1605 Masehi. Langkahnya lalu diikuti Raja
Gowa, I Mangngarangi I Daeng Manrabia (kemudian bergelar Sultan Alauddin).
Sebelum mereka berdua, yang jadi mualaf adalah penguasa Luwu, kerajaan yang
dianggap paling tua dan luhur wibawa keilahiannya dalam masyarakat Bugis, juga atas peranan Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro. Jadi, walau di
pesisir barat Sulawesi sudah hidup pedagang Melayu-Muslim, tapi dibanding orang
Ternate, Tidore, Ambon, Jawa, apalagi Sumatra, orang Sulawesi terhitung baru
menjadi Muslim. Sementara itu, Bone merupakan kerajaan terakhir yang memeluk
Islam setelah ditaklukkan Gowa.
Sebelum memeluk Islam, kerajaan-kerajaan di Bugis dan Makassar, konon
menurut orang Portugis abad ke-16, kerap bertikai. Memperebutkan jumlah
pengikut atau warga? Memperebutkan tanah subur atau yang lebih subur? Ataukah untuk
menguasai tambang besi yang begitu menguntungkan untuk dijual terutama kepada
saudagar asing yang kekurangan stok besi tuk buat senjata dan bajak? Silakan dikira-kira
jawabannya. Yang jelas, peperangan itu terus berlangsung setelah mereka memeluk
Islam, tentu dengan dorongan baru yang menjanjikan taman elok dan sungai-sungai
di surga: menegakkan pilar-pilar Islam setinggi mungkin. Sebelum
menyembah Allah, orang Gowa dan Tallo, juga Bone, Luwu, Wajo, Toraja, Sidenreng, Soppeng,
Suppa’, Lamuru, Bajeng, Gantarang, Maros, Siang, Bantaeng, dan wilayah lain di
Bugis menyembah Dewata Sisine yang berarti ‘Tuhan Yang Esa’. Dari Sang
Dewatalah, begitu yang kubaca dari naskah I
La Galigo yang suci itu, muncul tujuh
lapis langit atau dunia atas, bumi atau dunia tengah, dan tujuh lapis dunia
bawah, lalu kemudian mentari dan bulan. Selanjutnya muncul sejumlah pasangan
dewa-dewi penguasa langit, bumi, dan bawah tanah, sampai Batara Guru , putra
sulung Datuk Patoto (Dewa Langit Penentu Nasib), turun ke dunia tengah dan memerintah
di Luwu—karena itu dianggap cikal bakal masyarakat di Tana Ugi a alias Tanah Bugis.
Sebagai jurutulis
Sang Karaeng, tentu aku bisa menulis dengan Jawi (huruf Arab untuk bahasa
Melayu), huruf Makassar, huruf Latin,
dan huruf Bugis (walau kadang kedua huruf terakhir ini harus masih aku
eja). Juga kadang aku menulis surat berbahasa Melayu atas titah Karaeng yang
diperuntukkan bagi orang VOC di Batavia. Pada Juli 1644, misalnya, Karaeng
menitahkan aku mengirimkan surat ke seorang kapten kapal Kompeni yang berada di
Makassar, berikut sebelas bahar kayu
cendana seharga 60 real per bahar sebagai uang muka dari Karaeng yang meminta
dikirimi dua bola dunia. Bola dunia itu kelilingnya 157-160 inci, terbuat dari
kayu atau tembaga, agar beliau dapat menentukan letak Kutub Utara-Selatan. Bayangkan!
Di saat kaum elit pribumi lain menceburkan diri dalam telaga tasawuf, lautan fikih,
wacana syariat, dan kisah-kisah hikayat yang fantastis, bosku itu sudah
menggilai sains Barat! Di samping itu, beliau memesan peta dunia yang besar
dengan keterangan bahasa Spanyol, Portugis atau Latin; lalu sebuah atlas yang
keterangannya ditulis dalam bahasa Latin, Spanyol atau Portugis; terus dua
teropong berkualitas terbaik dengan tabung logam ringan serta sebuah suryakanta
besar dan bagus. Belum terhitung duabelas prisma segitiga guna mendekomposisikan
cahaya. 30-40 tongkat baja kecil, serta sebuah bola dari tembaga atau dari
baja. Setelah hampir 4 tahun menunggu, barang-barang pesanan tersebut tiba di
Makassar, dan Karaeng yang gemar akan ilmu bumi dan aljabar itu pun gembira
ria. Seterusnya, beliau memesan kepada Kompeni barang-barang “aneh” lain untuk
dipelajarinya.
Tak cuma itu, aku
pun jadi sibuk saat Sang Karaeng membangun perpustakaan besar berisi kitab
Melayu serta kitab buatan orang Eropa dengan bahasa aslinya. Bahkan beliau membimbing
penerjemahan ikhtisar siasat perang dari bahasa Ispanya dan Rum ke bahasa
Makassar. Malah tak sungkan-sungkan belajar pada pendeta Prancis saat sang pendeta
berkunjung ke Makassar. Bahasa Portugis Karaeng pun tak ada cela, seperti orang
yang lahir dan besar di Lisbon. Padaku, ia khusus menitahkan menulis sejarah
Tanah Melayu dan Ambon. Subhanallah, bukan main!
Sayang seribu
sayang, masbro dan mbaksis. Makassar kerap bersitegang dengan Bone. Tahun 1660 Al Masih, Arung Palakka Raja
Bone perang melawan Sultan Hasanuddin, pengganti Sultan Alaudin, dan meminta uluran
tangan VOC. Benteng Panakkukang di Makassar pun dimeriam Kompeni.
Kampung-kampung di sekitar benteng dibumihanguskan. Setelah 7 tahun berperang, VOC akhirnya mampu menghancurkannya. Setelah diakui
sebagai Raja Bone, Arung Palakka beserta rakyatnya malah dibawa Kompeni ke
Batavia, diberi pinjam uang dan ditempatkan di sebuah kampung di sana. Sementara
itu, banyak pejuang Makassar pergi ke Banten dan Jawa guna membantu Sultan
ageng Tirtayasa dan Trunajaya yang berseteru dengan VOC. Karaeng Pattingaloang
sendiri? Entahlah, karena saya sendiri tewas oleh mesiu senapan Kompeni saat
hendak mengikuti Karaeng Galesong ke Tanah Jawa guna bersekutu dengan Trunajaya
dalam melawan Mataram yang mulai mesra-mesraan dengan VOC. Tak ada yang tahu ke
mana bangsawan cendekia-cerdas itu pergi setelah Makassar dikuasai Belanda,
tewas atau masih hidup.
Lantas, bila sudah
mati kenapa saya bisa bercerita seperti ini? Perlu diketahui, masbro juga
mbaksis, bahwa yang hancur itu hanya jasad saya, sementara ruh saya tetap
abadi, karena itu saya bisa mengisahkan semua kesaksian saya saat hayat masih
dikandung raga. Dan andaikata juraganku itu masih hidup hingga kini, tentu Sang
Karaeng akan geleng-gelengkan kepala melihat keadaan sekarang. Kaum ulamanya,
mau yang dipanggil kiai haji, habib, syekh, ustad, dan ustadzah, sebagian besar
masih tetap berkutat pada fikih dan syariat, masih gemar mempertentangkan Syiah
vs Sunni. Perpustakaan mereka kebanyakan berisi buku-buku tafsir Quran dan
hadis, sejarah Islam, tokoh-tokoh Islam, dan para reformis Muslim abad ke-19.
Padahal dulu, menurut Karaeng kita ini, di zaman keemasan Islam justru kaum
intelektual Muslim berusaha mempertemukan intisari keislaman dengan filsafat
Yunani Kuno. Zaman tersebut berantakan dikarenakan pemahaman agama yang
menyempit, selain akibat pertikaian antardinasti, kudeta berdarah, serta sultan
yang tak senang dengan ilmu-sekuler dan malah rakus akan kekuasaan dengan
memakai senjata ayat-ayat suci. Umat tak lagi cerdas dalam mempergunakan logos, kalah oleh ketakutan akan neraka
dan azab Tuhan.
Lihatlah,
Karaeng—jika engkau mendengar di atas langit sana. Di abad ini, empat abad
setelah zamanmu, umat jadi cenderung fatalis, senang mengkambinghitamkan ajaran
lain, gampang disulut oleh fanatisme edan. Ilmu pengetahuan Barat dianggap
momok menyesatkan. Filsafat dan pandangan hidup yang non-Islam dinilai tak
patut dipelajari walau untuk sekadar dipahami, bukan diimani. Sebagian malah jadi
tak percaya negara, sebaliknya memperjuangkan kekhalifahan tanpa lelah, seolah bumi,
dunia tengah ini, takkan damai-tentram jika sistem tersebut belum
tercapai. Ada pula yang gemar
memperdebatkan dengan kaum agama lain bahwa yang dimakan Adam-Hawa itu jelas
buah koldi, bukan apel. Mereka lupa, bahwa pencipta lampu itu orang Inggris,
kreator Facebook itu berdarah Yahudi, pembuat mobil-motor-lokomotif itu orang
Barat, termasuk pencipta pengeras suara—yang mana digunakan oleh umat Muslim
dalam kumandangkan azan. Yang dibaca hanya kisah kepahlawanan Rasul dan para
sahabat saat angkat senjata melawan kafirun Qurais, kegagahan Salahuddin
panglima Muslim dalam Perang Salib, fllsuf-filsuf Muslim zaman Kordoba dan
Baghdad, atau Wali Sanga. Karenanya mereka jadi tak tahu apa itu Perang Pailir,
Perang Pagarage, Perang Paregreg, dan seabreg peperangan di Nusantara baik di
darat atau di laut (walau menurutku kisah peperangan merupakan sisi sejarah
manusia yang sering membosankan). Mereka lebih paham sejarah Islam atau
Islam-Nusantara ketimbang sejarah Nusantara secara menyeluruh.
Dan yang tak kalah
kacau, Karaeng, pengkritik pasti dianggapnya penyerang. Mereka tak bisa bedakan
arti kritik dengan makna serang.
Jangan-jangan, secara tak sadar mereka sudah memodifikasi arti kritik sesuai selera dan mentalitas yang
klasik itu. Duh!
Ojel SY
7-8 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar