Laman

Rabu, 18 Januari 2017

 
Ratu Kalinyamat Jepara
Seorang wanita memerankan tokoh Ratu Kalinyamat saat kirab
merayakan Hari Jadi Kota Jepara

“Rainha de Japara, Senhora Poderosa e Rica de Kranige Dame”


Sejarah kerap menempatkan kegagahan lelaki sebagai subjek perkasa—karena itu disebut history—sementara wanita seringnya di belakang layar, di dapur kehidupan. Tapi, begitu sesosok wanita tampil di atas panggung sejarah sebagai anomali, ia pun dikenang lebih agung oleh sang waktu. Itu pula yang ditorehkan Ratu Kalinyamat, wanita kelahiran Jepara—empat abad sebelum Kartini ada—pada lembaran sejarah Nusantara. 


Sepak terjang Sang Ratu memang tak terlepas dari sosok Adipati Unus yang pernah menyerang Portugis di Malaka dua kali dan gagal semua. Rupanya, jiwa pemberani Sang Dipati yang gugur setelah kapalnya terkena meriam Portugis ketika di pantai Malaka, “menitis” padanya. Tahun 1550, 19 tahun setelah kematian Dipati Unus, Sang Ratu, yang selama bertahun-tahun mengerahkan rakyat Jepara untuk bikin kapal-kapal perang berukuran raksasa, memerintahkan 40 kapal dan 4.000 prajurt ke Malaka. Sementara ia menunggu kabar di Jawa, armada itu berlayar lalu bergabung dengan pasukan Persekutuan Melayu. Jumlah kapal pun bertambah jadi 200.

Setiba di perairan Malaka, pertempuran pun pecah. Mereka berhasil merebut sebagian pinggiran Malaka, tapi berhasil dihalau Portugis. Pasukan Persekutuan Melayu pun dipukul mundur, sementara pasukan Jepara bertahan di laut. Baru setelah pemimpinnya gugur, pasukan Jepara ditarik mundur. Esoknya pertempuran masih terjadi di pantai dan laut, menewaskan 2.000 prajurit Jepara. Badai terus menerjang hingga dua kapal Jepara terdampar, menjadi mangsa Portugis. Karena kalah, mereka pulang dengan tidak lebih dari setengah dari jumlah semula.

Tapi, kekalahan tersebut tak membikin Sang Ratu jera. Kembali ia perintahkan pembuatan jong-jong baru. Kehebatannya mendorong Sultan Aceh, Ali Riayat Syah, pengganti Sultan Alauddin Riayat Syah yang pernah pula menggempur Portugis di Malaka, kirimkan utusannya ke Demak tahun 1564 guna minta bantuan menyerang Malaka lagi. Sayang, utusan tersebut malah dihabisi Bupati Demak, Arya Pangiri, keponakan Sang Ratu, karena Arya Pangiri orangnya gampang curiga. Akhirnya, Aceh menyerang Malaka sendiri dan kalah juga. Perlakuan buruk sang keponakan terhadap utusan Aceh itu tak mempengaruhi Sang Ratu. Bahkan, setahun kemudian, ia memenuhi permintaan orang-orang Hitu di utara Ambon untuk menghadapi Portugis—sang musuh bersama.

Dua puluh empat tahun setelah penyerangan pertama yang gagal, Oktober 1574, Sang Ratu kembali layarkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit pimpinan Laksamana Ki Demang. Saat pasukan Jepara tiba, pasukan Aceh baru saja dipukul mundur Portugis. Pasukan Jepara yang terlambat datang, langsung menembaki Malaka dari laut. Besoknya mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi pertahanannya dapat ditembus Portugis yang berhasil membakar 30 kapal Jepara. Portugis mengajak berunding, tapi ditolak. Pertempuran terus berlangsung. Enam kapal perbekalan yang dikirim Ratu Kalinyamat berhasil direbut. Melihat perbekalan tak mencukupi, mereka pulang, membawa 100 kapal saja ke Jawa.

Rupanya semangat Sang Ratu, yang mulai sepuh, menurun, sementara Jawa terus dilanda kemelut perebutan takhta Demak. Tahun 1579, Sang Ratu wafat lalu dimakamkan di samping makam suami terkasih, Pangeran Kalinyamat, di Mantingan. Musuhnya, orang Portugis menyebutnya sebagai “Rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige dame” (ratu dari Jepara yang kaya dan gagah-berani). Sang Ratu telah buktikan bahwa sejarah dan kepahlawanan tak melulu milik sang lelaki.


Ojel 
13 April 2016


Catatan: artikel ini pernah dimuat di viewpaper bulanan Sunday People dalam rubrik "Indonesia Once Upon A Time" bulan Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar