“Rainha de Japara, Senhora Poderosa e Rica de
Kranige Dame”
Sejarah
kerap menempatkan kegagahan lelaki sebagai subjek perkasa—karena itu disebut history—sementara wanita seringnya di
belakang layar, di dapur kehidupan. Tapi, begitu sesosok wanita tampil di atas
panggung sejarah sebagai anomali, ia pun dikenang lebih agung oleh sang waktu.
Itu pula yang ditorehkan Ratu Kalinyamat, wanita kelahiran Jepara—empat abad
sebelum Kartini ada—pada lembaran sejarah Nusantara.
Sepak
terjang Sang Ratu memang tak terlepas dari sosok Adipati Unus yang pernah
menyerang Portugis di Malaka dua kali dan gagal semua. Rupanya, jiwa pemberani
Sang Dipati yang gugur setelah kapalnya terkena meriam Portugis ketika di
pantai Malaka, “menitis” padanya. Tahun 1550, 19 tahun setelah kematian Dipati
Unus, Sang Ratu, yang selama bertahun-tahun mengerahkan rakyat Jepara untuk bikin
kapal-kapal perang berukuran raksasa, memerintahkan 40 kapal dan 4.000 prajurt ke
Malaka. Sementara ia menunggu kabar di Jawa, armada itu berlayar lalu bergabung
dengan pasukan Persekutuan Melayu. Jumlah kapal pun bertambah jadi 200.
Setiba
di perairan Malaka, pertempuran pun pecah. Mereka berhasil merebut sebagian pinggiran
Malaka, tapi berhasil dihalau Portugis. Pasukan Persekutuan Melayu pun dipukul
mundur, sementara pasukan Jepara bertahan di laut. Baru setelah pemimpinnya
gugur, pasukan Jepara ditarik mundur. Esoknya pertempuran masih terjadi di
pantai dan laut, menewaskan 2.000 prajurit Jepara. Badai terus menerjang hingga
dua kapal Jepara terdampar, menjadi mangsa Portugis. Karena kalah, mereka pulang
dengan tidak lebih dari setengah dari jumlah semula.
Tapi,
kekalahan tersebut tak membikin Sang Ratu jera. Kembali ia perintahkan pembuatan
jong-jong baru. Kehebatannya mendorong Sultan Aceh, Ali Riayat Syah, pengganti
Sultan Alauddin Riayat Syah yang pernah pula menggempur Portugis di Malaka,
kirimkan utusannya ke Demak tahun 1564 guna minta bantuan menyerang Malaka
lagi. Sayang, utusan tersebut malah dihabisi Bupati Demak, Arya Pangiri,
keponakan Sang Ratu, karena Arya Pangiri orangnya gampang curiga. Akhirnya, Aceh menyerang Malaka sendiri dan
kalah juga. Perlakuan buruk sang keponakan terhadap utusan Aceh itu tak
mempengaruhi Sang Ratu. Bahkan, setahun kemudian, ia memenuhi permintaan
orang-orang Hitu di utara Ambon untuk menghadapi Portugis—sang musuh bersama.
Dua puluh empat tahun setelah penyerangan pertama yang gagal, Oktober
1574, Sang Ratu kembali layarkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit pimpinan
Laksamana Ki Demang. Saat pasukan Jepara tiba, pasukan Aceh baru saja dipukul
mundur Portugis. Pasukan Jepara yang terlambat datang, langsung menembaki
Malaka dari laut. Besoknya mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi
pertahanannya dapat ditembus Portugis yang berhasil membakar 30 kapal Jepara.
Portugis mengajak berunding, tapi ditolak. Pertempuran terus berlangsung. Enam
kapal perbekalan yang dikirim Ratu Kalinyamat berhasil direbut. Melihat
perbekalan tak mencukupi, mereka pulang, membawa 100 kapal saja ke Jawa.
Rupanya semangat Sang Ratu,
yang mulai sepuh, menurun, sementara Jawa terus dilanda kemelut perebutan
takhta Demak. Tahun 1579, Sang Ratu
wafat lalu dimakamkan di samping makam suami terkasih, Pangeran Kalinyamat, di
Mantingan. Musuhnya, orang Portugis menyebutnya sebagai “Rainha de Japara,
senhora poderosa e rica, de kranige dame” (ratu dari Jepara yang kaya dan gagah-berani). Sang Ratu telah
buktikan bahwa sejarah dan kepahlawanan tak melulu milik sang lelaki.
Ojel
13 April 2016
Catatan: artikel ini pernah dimuat di viewpaper bulanan Sunday People dalam rubrik "Indonesia Once Upon A Time" bulan Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar