Laman

Sabtu, 07 Januari 2017


Sastra dan Islamisasi

Sudah tak asing kita ketahui kisah Wali Sanga dalam islamisasi di Jawa. Dari mereka, tongkat islamisasi dilanjutkan oleh ulama lain di pelbagai pulau. Tiga datuk asal Koto Tengah (Sumatra Barat) berhasil mengislamkan para raja Bugis seperti Luwu, Gowa, Tallo; dan kemudian dari raja-raja tersebut penguasa Soppeng, Bone, dan wilayah sekitar Sulawesi Selatan diislamkan. Raja yang semula bergelar arung dan karaeng pun memiliki gelar baru: sultan.


Melalui saluran politik dan ekonomi, kerajaan-kerajaan dan pelabuhan-pelabuhan pesisir dalam mensyiarkan Islam di Sumatra dan Jawa hingga Maluku, seperti Samudra Pasai, Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Banjar, Makassar, Ternate, dan Tidore, merupakan kunci utama keberhasilan. Jika raja menyatakan masuk Islam, tak ayal lagi warga pun mengambil langkah sama. Dari pesisir, ajaran Rasulallah secara evolusi merembes ke pedalaman, ke dalam kehidupan masyarakat agraris.

Saluran Islamisasi di Indonesia memang tak tunggal. Di samping didorong pertimbangan politis- ekonomis, penerimaan orang Indonesia terhadap Islam ditentukan oleh keadaan sosiokultural dan perkembangan kesusastraan sebelumnya. Di Jawa, misalnya, para Sunan memberdayakan wayang dan tembang macapat dalam rangka islamisasi.

Pengenalan orang Indonesia terhadap kesusastraan-tulis terjadi sejak diterimanya Hindu dan Buddha. Sebagai teks keagamaan, kesusastraan dipandang suci karena isinya mengandung firman Brahman dan sabda dewa serta ditulis oleh seorang maharesi, yang kemudian digubah oleh para pandita, wiku, dan bujanga/pujangga lokal. Karena itu, muatan kisah yang ajaib dan mitologis banyak terkandung di dalamnya, dan itu semua diterima sebagai sebuah kebenaran yang pernah terjadi di suatu tempat dan di sebuah masa. Mitos mendahului logos.

Jika membaca Babad Tanah Jawi, karya sastra berbahasa Jawa Tengahan yang digubah (para) pujangga Mataram abad ke-17, kita akan melihat penulisan sejarah Jawa dalam alam pikiran tradisional. Babad tersebut bercerita bahwa leluhur raja-raja Jawa hingga Mataram-Islam adalah Nabi Adam, berlanjut kepada Nabi Sis, Nur Cahya, Nur Rasa, Sang Hyang Wening, Sang Hyang Tunggal, Bathara Guru, Bathara Sambo, Brama, Mahadewa, Wisnu, Dewi Sri, hingga bergulir kepada tokoh-tokoh Mahabharata seperti Arjuna, Abimanyu, Parikesit, lalu kepada Yudayana, Gendrayana, Jayabaya. Dari Jayabaya Raja Kediri, silsilah berlanjut kepada raja-raja yang bertahkta di Jawa dan juga Pajajaran hingga masa Majapahit, Demak, Pajang, dan tentu Mataram. Di sini kita menemukan pertautan (atau ketumpangtindihan?) antara agama lama (yang diwakili para bathara dan tokoh wayang) dengan agama baru (yang diwakili Nabi Adam). Di balik teks babad tersebut, ada sebuah pernyataan implisit bahwa sebenarnya nenek moyang raja Jawa sudah Islam walau perangkat hukumnya belum Islami.

Penyisipan tokoh-tokoh Islam dalam khazanah kesusastraan dapat dilihat pula pada teks sastra lain, yakni Carita Waruga Guru yang berbahasa dan beraksara Sunda. Karya yang ditulis pada abad ke-18 ini menyebutkan bahwa leluhur raja-raja Galuh adalah Nabi Adam. Dari Adam, silsilah bergulir kepada Nabi Isis, Kaliyanggin, Malit, Malam, Mahur, Lamak, Nasar, Basar, Nabi Enoh, Betari Sanglinglang, hingga Darmasiksa, Hariang Banga dan Ciung Manarah (keduanya berhubungan dengan pendirian Majapahit dan Pajajaran),  Lutung Kasarung, Anggalarang, Siliwangi, hingga Pangeran Mangkunegara dan Pangeran Dipati (keduanya raja Mangkunegara, pecahan Mataram). Penyertaan nama-nama raja Mataram dan Mangkunegara dalam sarsilah raja-raja Sunda di sini menjelaskan kapan naskah bersangkutan ditulis dan sejauh mana pengaruh Jawa diserap oleh bangsawan Sunda.

Mari lihat karya sastra lain yang juga mengangkat pohon silsilah dan berpangkal dari tokoh Islam. Naskah ini berjudul Sejarah Melayu yang disusun atau digubah abad ke-17 yang, salah satunya, mengisahkan bahwa leluhur raja Minangkabau, Tanjungpura, dan Palembang adalah Iskandar Dzulkarnain Raja Maqeduniah. Nama yang terakhir ini malah menjadi judul hikayat tersendiri yang ditulis oleh pujangga istana Kerajaan (Samudra) Pasai, yang dikisahkan sebagai pahlawan Islam yang memperoleh ilmu filsafat dari Aristatalis dan ilmu hikmah dari Nabi Khidir dan berhasil mengislamkan penduduk negeri-negeri dari Afrika hingga India dan Cina. Walau sebagian ahli tafsir Al Quran meragukan identifikasi Iskandar Dzulkarnain sebagai Nabi Dzulkarnain, namun sebagai tokoh sastra ia, setidaknya dalam Hikayat Iskandar Dzulkarnain (yang dipengaruhi kesusastraan Persia), dianggap penganut tauhid.

Selain melalui karya sastra jenis “sejarah” yang memuat silsilah raja dan sultan, penyebaran Islam dilakukan melalui karya sastra fiksional serta karya tentang para nabi. Di Pasai lahir Hikayat Bayan Budiman, di Aceh  lahir Hikayat Si Burung Pingai, yang sarat akan ajaran tasawuf. Sementara itu, Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Bulan Terbelah, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Abu Samah adalah contoh karya sastra yang berdasarkan hadis dan perawi sesudah Nabi wafat. Kisah Abu Samah pun ditemukan dalam khazanah kesusastraan Aceh, Jawa, Sunda, bahkan India. Untuk di Jawa, kita bisa sebutkan karya-karya pujangga pasca-Mataram-Baru seperti Wirid Hidayat Jati dan Serat Kalatida karya Ronggowarsito.

Penyebaran ajaran Islam tentu tak hanya melalui karya-karya tertulis yang beredar di kalangan istana dan agamawan, namun juga melalui sastra lisan yang dikonsumsi masyarakat awam. Seperti juga wayang, seni pantun, misalnya, prosa lisan yang ditembangkan dengan iringan kecapi dan telah berkembang di Jawa Barat sejak zaman pra-Islam, dijadikan sarana dakwah sederhana di mana para pendengarnya adalah para petani. Contoh pantun yang disisipi ajaran Islam adalah Sulanjana, yang mengisahkan penciptaan padi dan tanaman-tanaman lain khas garapan petani—mungkin diilhami kisah Manikmaya di Jawa.  

Dikisahkan bahwa atas kehendak Allah, dari Nur Muhammad tercipta para malaikat, jin, setan, siluman, serta bumi dan langit. Setelah itu, tersusunlah ketujuh lapis langit. Lapis ketujuh, teratas, disebut Alam Nikmat tempat bersemayam Allah SWT. Lapis keenam bernama Bental Mukedas, tempat para malaikat. Lapis kelima  bernama Sawarga Pirdaos, tempat bersemayam sembilan dewa utama (dalam Hindu dikenal sebagai dewata nawa sangha). Lapis keempat bernama Sawarga Suralaya tempat Manikmaya alias Batara Guru. Lapis ketiga bernama Sawarga Loka Manggung tempat Sunan Ambu. Lapis kedua bernama Sawarga Bandung tempat berdiam 40 bidadari. Lapis pertama alias terbawah bernama Sawarga Notaris tempat Rama Adam dan Ibu Hawa. Tampak sekali susunan kosmologis Hindu bercampur dengan kosmologi Islam. Pantun ini menempatkan kepercayaan baru di atas kepercayaan lama. Sunan atau Susuhunan Ambu, yang dalam pantun zaman pra-Islam merupakan ibunda ilahiah, dewi langit (baca: “basah”) dan karenanya berwenang menurunkan hujan, dalam pantun Sulanjana masih ditampilkan.

pantun sunda islamisasi
Tradisi pantun Sunda yang telah hidup lama sebagai sastra lisan
dijadikan alat budaya dalam rangka Islamisasi di Jawa Barat

Anasir-anasir kepercayaan lama Sunda juga terbaca dalam kisah penciptaan Adam dan Hawa yang tercipta dari empat unsur material bumi: air-api dan angin-tanah—paham dualisme semesta masyarakat purba. Kepercayaan kuno juga terlihat pada penciptaan anak Rama Adam-Ibu Hawa, yakni Nabi Isis, yang tercipta melalui hubungan aseksual, berbeda dengan ke-40 anak lainnya sebagai hasil hubungan seksual. Nabi Isis tercipta dari benih Adam dan benih Hawa yang tersimpan dalam sebuah cupumanik terpisah. Setelah beberapa waktu, dibukalah cupumanik Rama Adam dan tampak seorang lelaki di dalamnya, yang lalu dinamai Isis. Sedangkan, dalam cupumanik Ibu Hawa terdapat 40 orang, terdiri 20 lelaki dan 20 perempuan.  Selanjutnya, silsilah bergulir dari Nabi Isis kepada Nabi Idris, lalu Sayid Anwar, Ajisoka, Sang Hyang Tunggal, dan para batara—semuanya makhluk transenden dan suci. Sementara, putra-putri yang 40 menurunkan moyang bangsa-bangsa di dunia seperti Belanda, Cina, Jawa, dan Sunda—semuanya makhluk imanen dan profan.

Satu lagi kepercayaan kuno yang terlihat pada pantun ini, yakni penciptaan padi itu sendiri.  Alkisah, tiga titik air mata Allah jatuh dan menjelma menjadi lelaki bernama Jaka Sadana, perempuan bernama Sri Sadana, dan perempuan bernama Rambut Sadana. Ketiga orang ini lalu diturunkan ke Leungsir Condong Babakan Geger Sunten dan diasuh oleh Aki dan Nina Oma. Setelah akil balig, Sri Sadana menstruasi dan darahnya jatuh ke bumi menjadi tanaman gadung, jagung, gandum, dll, yang oleh Aki-Nini Oma lalu dikembangbiakkan. Di bagian lain dikisahkan Naga Anta, penguasa bawahtanah, menangis karena tak bisa ikut membantu pembangunan bale mariukpada gedong sasaka domas, calon istana raja Pajajaran. Tiga titik air matanya menjelma menjadi tiga butir telur. Dua butir lalu jatuh ke bumi dan menjadi hama padi dan makhluk antagonis Budugbasu Kalabuat, dan hanya satu butir yang berhasil diserahkan kepada Batara Guru. Setelah dierami Naga Anta dan menetas, telur ini menjelma menjadi dua orang: yang lelaki bernama Bangbang Kusiang dan yang wanita bernama Nyi Pohaci Sanghyang Sri; kedunya diangkat anak oleh Batara Guru.

Suatu hari, Batara Guru dirasuki Ki Ta’ud Setanirajim, penjelmaan Idajil Janatulah, Raja Sabrang Ujung Tua, tempat hama padi tumbuh. Akibatnya, Batara Guru ingin menikahi Sanghyang Sri, anak angkatnya. Nyi Sri, bersama kakaknya, Bangbang Kusiang, lari dan masuk ke dalam Alam Nikmat tempat Allah bersemayam. Batara Guru yang telah bernafsu tak dapat menahan berahinya, air kamanya turun ke bumi dan disambut Ibu Pertiwi. Setelah 9 bulan, kama itu menjelma menjadi Raden Sulanjana, Talimenar, dan Talimenir. Di Alam Nikmat, Nyi Sri dan Bangbang Kusiang diperintah Allah untuk menjada buah kuldi. Karena digoda Ki Ta’ud Setanirajim, kedua saudara ini memakan kuldi, lalu diusir Allah dan turun ke bumi, ke Leungsir Condong Babakan Geger Sunten. Mereka diasuh Aki-Nini Oma dan hidup bersama Jaka Sadana, Sri Sadana, dan Rambut Sadana. Saat haid, darah Nyi Sri jatuh ke bumi dan menjelma menjadi padi merah. Saat berada di dangau, kembali Nyi Sri dan Bangbang Kusiang digoda Ki Ta’ud hingga keduanya bersanggama. Batara Guru turun dan memerintahkan raja Pajajaran untuk membuang Bangbang Kusiang ke Aceh. Nyi Pohaci Sri sedih lalu wafat dan dimakamkan di Tegal Kahuripan. Dari kuburan Nyi Sri tumbuh padi, kawung, kelapa, bawah, bambu, sirih, tanaman-tanaman lain yang dibutuhkan petani.

Pantun tadi—yang kisahnya tak saya tuntaskan—penuh kisah ajaib dan bertentangan dengan hukum alam, dan tentu tak tercatat dalam Al Quran dan hadis. Peristiwa-peristiwa di dalamnya  terjadi bukan karena hukum sebab-akibat, melainkan hukum spontanitas alias kun faya kun.  Paham emanasi, kelahiran secara aseksual, peranan makhluk langit atas kehidupan manusia, mengisyaratkan pandangan dalam sistem kepercayaan lama. Pantun tadi, yang dibuat saat wilayah Jawa sudah berada dalam kekuasaan Belanda (terlihat dari pencantuman bangsa Belanda sebagai keturunan Rama Adam dan Ibu Hawa), bagi masyarakat agraris, merupakan sarana pemahaman atas kehidupan yang penuh misteri namun menakjubkan. Mereka mempercayai sepenuhnya kisah tadi seperti umat Muslim sedunia mempercayai Isra Mi’raj, perubahan tongkat Nabi Musa menjadi ular, dan terbelahnya lautan saat rombongan Bani Israil dikejar pasukan Firaun.

Kisah jenis Itu pula yang mendorong rakyat Sulawesi Selatan tertarik menyembah Allah dan melupakan Dewata Sisine setelah Dato ri Patimang menyamakan Adam-Hawa dengan pasangan dewa-dewi dalam teologi Bugis. Sawerigading, tokoh sentral epik La Galigo, dikisahkan merupakan seorang nabi yang meramalkan akan turunnya Al Quran setelah ia wafat; sementara Batara Guru dan para dewa penghuni Boting Langi’ atau kahyangan akan pindah menuju timur di mana mentari terbit. Melalui “ramalan” tersebut, para ulama berhasil meraih simpati lebih banyak warga setempat dan menyisihkan saingan mereka, para pendeta Portugis yang sebelumnya telah berhasil membaptis sejumlah bangsawan Makassar di abad ke-16.

Melalui sastra, baik tulisan maupun lisan, ajaran Islam dapat tersalurkan dan diserap oleh orang Indonesia zaman dulu lebih humanis. Saluran kesusastraan merupakan pilihan tepat untuk menghindari konflik sosial dalam masyarakat awam yang cenderung  tak punya prasangka keagamaan. Ia mampu menjelaskan secara bernas bahwa Tuhan umat Islam memang Maha Pengasih, bukan Pilih Kasih. 


Ojel 
24 Februari 2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar