Sastra dan Islamisasi
Sudah tak asing kita
ketahui kisah Wali Sanga dalam islamisasi di Jawa. Dari mereka, tongkat
islamisasi dilanjutkan oleh ulama lain di pelbagai pulau. Tiga datuk asal Koto Tengah (Sumatra Barat) berhasil
mengislamkan para raja Bugis seperti Luwu, Gowa, Tallo; dan kemudian dari
raja-raja tersebut penguasa Soppeng, Bone, dan wilayah sekitar Sulawesi Selatan
diislamkan. Raja yang semula bergelar arung
dan karaeng pun memiliki gelar baru: sultan.
Melalui saluran
politik dan ekonomi, kerajaan-kerajaan dan pelabuhan-pelabuhan pesisir dalam
mensyiarkan Islam di Sumatra dan Jawa hingga Maluku, seperti Samudra Pasai,
Aceh, Demak, Cirebon, Banten, Banjar, Makassar, Ternate, dan Tidore, merupakan
kunci utama keberhasilan. Jika raja menyatakan masuk Islam, tak ayal lagi warga
pun mengambil langkah sama. Dari
pesisir, ajaran Rasulallah secara evolusi merembes ke pedalaman, ke dalam
kehidupan masyarakat agraris.
Saluran Islamisasi
di Indonesia memang tak tunggal. Di samping didorong pertimbangan politis-
ekonomis, penerimaan orang Indonesia terhadap Islam ditentukan oleh keadaan
sosiokultural dan perkembangan kesusastraan sebelumnya. Di Jawa, misalnya, para
Sunan memberdayakan wayang dan tembang macapat
dalam rangka islamisasi.
Pengenalan orang
Indonesia terhadap kesusastraan-tulis terjadi sejak diterimanya Hindu dan
Buddha. Sebagai teks keagamaan, kesusastraan dipandang suci karena isinya
mengandung firman Brahman dan sabda dewa serta ditulis oleh seorang maharesi, yang kemudian
digubah oleh para pandita, wiku, dan bujanga/pujangga lokal. Karena
itu, muatan kisah yang ajaib dan mitologis banyak terkandung di dalamnya, dan
itu semua diterima sebagai sebuah kebenaran yang pernah terjadi di suatu tempat
dan di sebuah masa. Mitos mendahului logos.
Jika membaca Babad Tanah Jawi, karya sastra berbahasa
Jawa Tengahan yang digubah (para) pujangga Mataram abad ke-17, kita akan
melihat penulisan sejarah Jawa dalam alam pikiran tradisional. Babad tersebut
bercerita bahwa leluhur raja-raja Jawa hingga Mataram-Islam adalah Nabi Adam, berlanjut
kepada Nabi Sis, Nur Cahya, Nur Rasa, Sang Hyang Wening, Sang
Hyang Tunggal, Bathara Guru, Bathara Sambo, Brama, Mahadewa, Wisnu, Dewi Sri, hingga
bergulir kepada tokoh-tokoh Mahabharata
seperti Arjuna, Abimanyu, Parikesit, lalu kepada Yudayana, Gendrayana, Jayabaya.
Dari Jayabaya Raja Kediri, silsilah berlanjut kepada raja-raja yang bertahkta
di Jawa dan juga Pajajaran hingga masa Majapahit, Demak, Pajang, dan tentu
Mataram. Di sini kita menemukan pertautan (atau ketumpangtindihan?) antara
agama lama (yang diwakili para bathara dan tokoh wayang) dengan agama baru
(yang diwakili Nabi Adam). Di balik teks babad tersebut, ada sebuah pernyataan
implisit bahwa sebenarnya nenek moyang raja Jawa sudah Islam walau perangkat
hukumnya belum Islami.
Penyisipan tokoh-tokoh Islam dalam
khazanah kesusastraan dapat dilihat pula pada teks sastra lain, yakni Carita Waruga Guru yang berbahasa dan
beraksara Sunda. Karya yang ditulis pada abad ke-18 ini menyebutkan bahwa leluhur
raja-raja Galuh adalah Nabi Adam. Dari Adam, silsilah bergulir kepada Nabi
Isis, Kaliyanggin, Malit, Malam, Mahur, Lamak, Nasar, Basar, Nabi Enoh, Betari
Sanglinglang, hingga Darmasiksa, Hariang Banga dan Ciung Manarah (keduanya
berhubungan dengan pendirian Majapahit dan Pajajaran), Lutung Kasarung, Anggalarang, Siliwangi,
hingga Pangeran Mangkunegara dan Pangeran Dipati (keduanya raja Mangkunegara,
pecahan Mataram). Penyertaan nama-nama raja Mataram dan Mangkunegara dalam sarsilah raja-raja Sunda di sini menjelaskan
kapan naskah bersangkutan ditulis dan sejauh mana pengaruh Jawa diserap oleh
bangsawan Sunda.
Mari lihat karya sastra lain
yang juga mengangkat pohon silsilah dan berpangkal dari tokoh Islam. Naskah ini berjudul Sejarah Melayu yang disusun atau digubah abad ke-17 yang, salah
satunya, mengisahkan bahwa leluhur raja Minangkabau, Tanjungpura, dan Palembang
adalah Iskandar Dzulkarnain Raja Maqeduniah. Nama yang terakhir ini malah
menjadi judul hikayat tersendiri yang ditulis oleh pujangga istana Kerajaan
(Samudra) Pasai, yang dikisahkan sebagai pahlawan Islam yang memperoleh ilmu filsafat
dari Aristatalis dan ilmu hikmah dari Nabi Khidir dan berhasil mengislamkan
penduduk negeri-negeri dari Afrika hingga India dan Cina. Walau sebagian ahli
tafsir Al Quran meragukan
identifikasi Iskandar Dzulkarnain sebagai Nabi Dzulkarnain, namun sebagai tokoh
sastra ia, setidaknya dalam Hikayat
Iskandar Dzulkarnain (yang dipengaruhi kesusastraan Persia), dianggap penganut
tauhid.
Selain melalui karya sastra
jenis “sejarah” yang memuat silsilah raja dan sultan, penyebaran Islam
dilakukan melalui karya sastra fiksional serta karya tentang para nabi. Di
Pasai lahir Hikayat Bayan Budiman, di
Aceh lahir Hikayat Si Burung Pingai, yang sarat akan ajaran tasawuf. Sementara
itu, Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Bulan Terbelah, Hikayat Nabi Bercukur, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Abu Samah adalah contoh karya
sastra yang berdasarkan hadis dan perawi sesudah Nabi wafat. Kisah Abu Samah
pun ditemukan dalam khazanah kesusastraan Aceh, Jawa, Sunda, bahkan India.
Untuk di Jawa, kita bisa sebutkan karya-karya pujangga pasca-Mataram-Baru seperti Wirid Hidayat Jati dan Serat
Kalatida karya Ronggowarsito.
Penyebaran ajaran Islam tentu
tak hanya melalui karya-karya tertulis yang beredar di kalangan istana dan
agamawan, namun juga melalui sastra lisan yang dikonsumsi masyarakat awam. Seperti
juga wayang, seni pantun, misalnya, prosa
lisan yang ditembangkan dengan iringan kecapi dan telah berkembang di Jawa
Barat sejak zaman pra-Islam, dijadikan sarana dakwah sederhana di mana para pendengarnya
adalah para petani. Contoh pantun yang disisipi ajaran Islam adalah Sulanjana, yang mengisahkan penciptaan padi
dan tanaman-tanaman lain khas garapan petani—mungkin diilhami kisah Manikmaya di Jawa.
Dikisahkan bahwa atas kehendak
Allah, dari Nur Muhammad tercipta para malaikat, jin, setan, siluman, serta
bumi dan langit. Setelah itu, tersusunlah ketujuh lapis langit. Lapis ketujuh,
teratas, disebut Alam Nikmat tempat bersemayam Allah SWT. Lapis keenam bernama
Bental Mukedas, tempat para malaikat. Lapis kelima bernama Sawarga Pirdaos, tempat bersemayam
sembilan dewa utama (dalam Hindu dikenal sebagai dewata nawa sangha). Lapis keempat bernama Sawarga Suralaya tempat
Manikmaya alias Batara Guru. Lapis ketiga bernama Sawarga Loka Manggung tempat
Sunan Ambu. Lapis kedua bernama Sawarga Bandung tempat berdiam 40 bidadari.
Lapis pertama alias terbawah bernama Sawarga Notaris tempat Rama Adam dan Ibu
Hawa. Tampak sekali susunan kosmologis Hindu bercampur dengan kosmologi Islam. Pantun
ini menempatkan kepercayaan baru di atas kepercayaan lama. Sunan atau Susuhunan
Ambu, yang dalam pantun zaman pra-Islam merupakan ibunda ilahiah, dewi langit
(baca: “basah”) dan karenanya berwenang menurunkan hujan, dalam pantun Sulanjana masih ditampilkan.
Tradisi pantun Sunda yang telah hidup lama sebagai sastra lisan dijadikan alat budaya dalam rangka Islamisasi di Jawa Barat |
Anasir-anasir kepercayaan lama
Sunda juga terbaca dalam kisah penciptaan Adam dan Hawa yang tercipta dari
empat unsur material bumi: air-api dan angin-tanah—paham dualisme semesta
masyarakat purba. Kepercayaan kuno juga terlihat pada penciptaan anak Rama
Adam-Ibu Hawa, yakni Nabi Isis, yang tercipta melalui hubungan aseksual,
berbeda dengan ke-40 anak lainnya sebagai hasil hubungan seksual. Nabi Isis
tercipta dari benih Adam dan benih Hawa yang tersimpan dalam sebuah cupumanik
terpisah. Setelah beberapa waktu, dibukalah cupumanik Rama Adam dan tampak
seorang lelaki di dalamnya, yang lalu dinamai Isis. Sedangkan, dalam cupumanik
Ibu Hawa terdapat 40 orang, terdiri 20 lelaki dan 20 perempuan. Selanjutnya, silsilah bergulir dari Nabi Isis
kepada Nabi Idris, lalu Sayid Anwar, Ajisoka, Sang Hyang Tunggal, dan para
batara—semuanya makhluk transenden dan suci. Sementara, putra-putri yang 40
menurunkan moyang bangsa-bangsa di dunia seperti Belanda, Cina, Jawa, dan
Sunda—semuanya makhluk imanen dan profan.
Satu lagi kepercayaan kuno yang
terlihat pada pantun ini, yakni penciptaan padi itu sendiri. Alkisah, tiga titik air mata Allah jatuh dan
menjelma menjadi lelaki bernama Jaka Sadana, perempuan bernama Sri Sadana, dan
perempuan bernama Rambut Sadana. Ketiga orang ini lalu diturunkan ke Leungsir
Condong Babakan Geger Sunten dan diasuh oleh Aki dan Nina Oma. Setelah akil
balig, Sri Sadana menstruasi dan darahnya jatuh ke bumi menjadi tanaman gadung,
jagung, gandum, dll, yang oleh Aki-Nini Oma lalu dikembangbiakkan. Di bagian
lain dikisahkan Naga Anta, penguasa bawahtanah, menangis karena tak bisa ikut
membantu pembangunan bale mariukpada
gedong sasaka domas, calon istana raja Pajajaran. Tiga titik air matanya
menjelma menjadi tiga butir telur. Dua butir lalu jatuh ke bumi dan menjadi
hama padi dan makhluk antagonis Budugbasu Kalabuat, dan hanya satu butir yang
berhasil diserahkan kepada Batara Guru. Setelah dierami Naga Anta dan menetas,
telur ini menjelma menjadi dua orang: yang lelaki bernama Bangbang Kusiang dan
yang wanita bernama Nyi Pohaci Sanghyang Sri; kedunya diangkat anak oleh Batara
Guru.
Suatu hari, Batara Guru
dirasuki Ki Ta’ud Setanirajim, penjelmaan Idajil Janatulah, Raja Sabrang Ujung Tua,
tempat hama padi tumbuh. Akibatnya, Batara Guru ingin menikahi Sanghyang Sri,
anak angkatnya. Nyi Sri, bersama kakaknya, Bangbang Kusiang, lari dan masuk ke
dalam Alam Nikmat tempat Allah bersemayam. Batara Guru yang telah bernafsu tak
dapat menahan berahinya, air kamanya turun ke bumi dan disambut Ibu Pertiwi.
Setelah 9 bulan, kama itu menjelma menjadi Raden Sulanjana, Talimenar, dan
Talimenir. Di Alam Nikmat, Nyi Sri dan Bangbang Kusiang diperintah Allah untuk
menjada buah kuldi. Karena digoda Ki Ta’ud Setanirajim, kedua saudara ini memakan
kuldi, lalu diusir Allah dan turun ke bumi, ke Leungsir Condong Babakan Geger
Sunten. Mereka diasuh Aki-Nini Oma dan hidup bersama Jaka Sadana, Sri Sadana,
dan Rambut Sadana. Saat haid, darah Nyi Sri jatuh ke bumi dan menjelma menjadi
padi merah. Saat berada di dangau, kembali Nyi Sri dan Bangbang Kusiang digoda
Ki Ta’ud hingga keduanya bersanggama. Batara Guru turun dan memerintahkan raja
Pajajaran untuk membuang Bangbang Kusiang ke Aceh. Nyi Pohaci Sri sedih lalu
wafat dan dimakamkan di Tegal Kahuripan. Dari kuburan Nyi Sri tumbuh padi,
kawung, kelapa, bawah, bambu, sirih, tanaman-tanaman lain yang dibutuhkan
petani.
Pantun tadi—yang kisahnya tak
saya tuntaskan—penuh kisah ajaib dan bertentangan dengan hukum alam, dan tentu
tak tercatat dalam Al Quran dan hadis.
Peristiwa-peristiwa di dalamnya terjadi
bukan karena hukum sebab-akibat, melainkan hukum spontanitas alias kun faya kun. Paham emanasi, kelahiran secara aseksual,
peranan makhluk langit atas kehidupan manusia, mengisyaratkan pandangan dalam
sistem kepercayaan lama. Pantun tadi, yang dibuat saat wilayah Jawa sudah
berada dalam kekuasaan Belanda (terlihat dari pencantuman bangsa Belanda
sebagai keturunan Rama Adam dan Ibu Hawa), bagi masyarakat agraris, merupakan
sarana pemahaman atas kehidupan yang penuh misteri namun menakjubkan. Mereka
mempercayai sepenuhnya kisah tadi seperti umat Muslim sedunia mempercayai Isra Mi’raj,
perubahan tongkat Nabi Musa menjadi ular, dan terbelahnya lautan saat rombongan
Bani Israil dikejar pasukan Firaun.
Kisah jenis Itu pula yang
mendorong rakyat Sulawesi Selatan tertarik menyembah Allah dan melupakan Dewata
Sisine setelah Dato ri Patimang menyamakan Adam-Hawa dengan pasangan dewa-dewi
dalam teologi Bugis. Sawerigading, tokoh sentral epik La Galigo, dikisahkan merupakan seorang nabi yang meramalkan akan
turunnya Al Quran setelah ia wafat;
sementara Batara Guru dan para dewa penghuni Boting Langi’ atau kahyangan akan
pindah menuju timur di mana mentari terbit. Melalui “ramalan” tersebut, para
ulama berhasil meraih simpati lebih banyak warga setempat dan menyisihkan
saingan mereka, para pendeta Portugis yang sebelumnya telah berhasil membaptis
sejumlah bangsawan Makassar di abad ke-16.
Melalui sastra, baik tulisan
maupun lisan, ajaran Islam dapat tersalurkan dan diserap oleh orang Indonesia
zaman dulu lebih humanis. Saluran kesusastraan merupakan pilihan tepat untuk
menghindari konflik sosial dalam masyarakat awam yang cenderung tak punya prasangka keagamaan. Ia mampu
menjelaskan secara bernas bahwa Tuhan umat Islam memang Maha Pengasih, bukan
Pilih Kasih.
Ojel
24 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar