Mudik, salah satu tradisi primordial orang Indonesia |
Mudik
Sejak kapan
orang Indonesia suka mudik menjelang Lebaran? Saya kurang begitu tahu. Sejak
orang Indonesia pertama sekali memeluk Islam? Kemungkinan iya. Yang jelas,
tradisi mudik memang fenomena khas Indonesia, konon di Jawa zaman kolonial.
Kini, saat masyarakat Indonesia banyak memilih jadi makhluk industri di
kota-kota besar ketimbang jadi petani di desa-desa miskin atau setengah miskin,
jaringan aktivitas mudik pun meluas, bahkan lintas negara. Mudik adalah budaya.
Kata mudik sendiri asli kosakata bangsa ini.
Bahasa Sunda dan Jawa mengenalnya, sementara bahasa Melayu mengenal kata udik; yang mana kedua kata ini sudah ada
semenjak Islam belum dipeluk bangsa ini. Jonathan Rigg, penyusun kamus A Dictionary of the Sunda Language of Java,
tahun 1862, sudah memasukkan entri mudik
sebagai kata kerja, yakni “to ascend a
river; to proceed up a river towards the interior”. Uniknya, menurut Rigg, orang Sunda (saat itu)
memakai kata girang (bukan mudik) sebagai padanan kata udik dalam Melayu sebagai kata benda.
Udik sendiri berarti “kampung”, “kampungan”, “ndeso”; dan kampung atau desa
bisa berarti pedalaman yang jauh dari hiruk-pikuk kota-kota besar di
pesisir—wilayah kosmopolitan nan riuh-rendah akibat beragam identitas.
Jelaslah, sebelum
dimaknai “pulang kampung menjelang Lebaran”, mudik bermakna “naik ke hulu
sungai atau pedalaman” dan hulu itu tentu berada di gunung, di pedalaman, yang
kerap dipeluki sang kabut kedamaian. Lawannya adalah hilir, yakni muara sungai, pantai, atau pesisir. Karena itu, kita
suka memakai kata hilir-mudik untuk
mengungkapkan aktivitas yang linear, sebagai pengganti ungkapan naik-turun atau wara-wiri. Dengan begitu, hilir-mudik menandakan gerak vertikal,
dari bawah ke atas. Lebih khususnya: dari muara yang penuh limbah-kotoran
menuju dataran tinggi yang berudara sejuk-bersih serta bebas polusi duniawi.
Hulu sungai
sendiri, atau katakanlah gunung, dalam alam pikiran orang Indonesia pra-Islam,
sangatlah suci. Gunung dipercaya sebagai kediaman roh leluhur dan para
dewa-dewi. Di lereng gununglah kebanyakan candi dan mandala (perguruan para
petapa) berdiri. Dan hulu sungailah yang pertama diberi sesaji untuk “dinetralkan”
dari daya-daya negatif oleh kaum adat sebelum merayakan suatu ritus suci. Di
saat raja dan bupati sini memeluk Islam, makam-makam mereka tetap di bukit atau
pinggang gunung sebagaimana candi-candi moyangnya dahulu. Gunung adalah mula,
asal, cikal-bakal, nenek moyang; sementara hulu sungai itulah sumber kehidupan
dari mana manusia minum, mandi, bersuci, mengairi sawah, dan berperahu untuk berniaga
dengan orang pesisir.
Karena itu,
mudik bukan cuma perkara silaturahmi kepada orangtua dan kerabat yang masih
hidup. Ia lebih dari itu: mengembalikan kita ke masa lalu kita, kepada sejarah
si badan ini, ke kampung asal kakek-nenek atau buyut kita dilahirkan. Kita, takzim
atau tidak, tetap berziarah ke makam si mbah yang cuma segundukan tanah dan
dijambangi setahun sekali. Mudik adalah cara bangsa ini memaknai kembali akar
keberadaannya, guna melupakan sejenak kehidupan sehari-hari di hilir, di kota,
yang terlanjur hitam penuh busa-busa dosa serta buih-buih kemunafikan.
Ojel
Catatan: esai ini pernah dimuat di rubrik "History" pada viewpaper Sunday People edisi Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar