Laman

Minggu, 05 Maret 2017

ANUGERAH KISWAH KEPADA RAJA BANTEN 4 ABAD LALU


Anugerah kain kiswah merupakan sesuatu banget bagi sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, termasuk Indonesia. Penganugerahan “kain suci” tersebut oleh Raja Salman kepada Presiden RI merupakan pengulangan dari apa yang terjadi empat abad lampau di Banten.

Tahun itu, 1638 M, menurut Sajarah Banten, Pangeran Ratu Raja Banten alias Pangeran Abdullah Kadir, beserta anaknya, memperoleh gelar sultan pemberian Sultan Mekah. Gelarnya: Sultan Abulmafakir Mahmud Abdulkadir, sementara anaknya: Sultan Abul Ma’ali Akhmad (ayah Sultan Ageng Tirtayasa). Penganugerahan ini diperoleh setelah dua utusan Banten, Lebe Panji dan Tisnajaya, pergi menunakan haji ke Mekah lantas kembali dengan membawa surat dari Sultan Mekah berikut kain kiswah. 

Begitu kapal yang membawa pulang kedua utusan tersebut tiba di Teluk Banten, maka perahu Ki Pekih dan sejumlah mantri Banten menuju kapal di mana para utusan dari Mekah itu menunggu. Setelah mendekat, Ki Pekih dan para mantri segera naik ke atas kapal. Dentuman meriam tanpa peluru ditembakkan dari kapal, hingga sebelas kali. Gelegar yang sama sebelas kali dari arah kubu-kubu tembok Kota Banten menyahuti sebelas dentuman dari kapal di lepas pantai itu. Selang berapa lama, perahu itu kembali ke dermaga. Setelah mendarat, Ki Pekih dan para mantri yang masing-masing membawa nampan-nampan perak indah berisi surat dan hadiah dari Sultan Mekah, memasuki kereta kuda yang telah didandani elok dengan kawalan prajurit. Lebe Panji dan Tisnajaya, dua utusan Banten yang baru pulang dari Mekah, ikut turun bersama Ki Pekih dan para mantri, memasuki kereta kuda yang berbeda. 

Di sekitar alun-alun Kota Banten yang dikelilingi pepohonan kenari dan beringin, di sisi selatan sebelah kiri alun-alun berdiri balai Sri Manganti di mana Raja Banten duduk dengan kuluk di kepala, berbaju sikapan lengan panjang dari beludru hitam, serta kaki berwiron, di singgasana, ditemani sanak keluarga yang bersila. Di samping Sri Manganti, duduk di atas tikar para mantri dan pemain gamelan. Di selatan alun-alun berdiri istana megah Surasowan. Di barat alun-alun berdiri Masjid Agung Banten beratap limas susun lima. Di utara alun-alun terlihat perumahan yang dipisahkan anak kali yang membelah Kota. Di sebelah timur berdiri gedung syahbandar di tepi barat terusan anak sungai Cibanten, sungai pembelah kota.

Ki Pekih (dari kata fiqih; semacam ketua pengurus Masjid Agung Banten), semua mantri, serta Lebe Panji dan Tisnajaya turun dari kereta, berjalan menuju Sri Manganti, terus bersila lalu menyembah sang raja. Setelah diberi restu, Ki Pekih berdiri dan menyerahkan baki kepada seorang pejabat, lalu mengambil surat dari baki dan membukanya, berdiri menghadap warga. Sementara Lebe Panji dan Tisnajaya duduk di antara Kiai Tumenggung Wirautama, menteri yang ditugasi mengatur jalannya upacara, dan para mantri yang membawa baki-baki. Ki Pekih membacakan surat dengan lantang, menyatakan penghargaan Sultan Mekah kepada Raja Banten atas keingintahuan Sang Raja mengenai tiga buah kitab tarekat yang dimiliki istana Surasowan (satu di antaranya Al Muntahi karya Syaikh Hamzah Fansuri). Juga bahwa Sultan Mekah, Sarip Jahed, menganugerahi Raja Banten nama dan gelar baru: Sultan Abul Mafakir Mahmud Abdulkadir; juga gelar bagi anaknya yang berusia 20-an, yakni Sultan Abul Ma’ali Akhmad (ayah Sultan Ageng Tirtayasa). Setelah pembacaan selesai, alunan gamelan kembali ramai. Penganugerahan ini bermakna penting bagi Banten. Dengannya, Banten makin percaya diri dan sungguh telah layak disejajarkan dengan Aceh. 

Ki Pekih melanjutkan pidato dalam Jawa (campur Sunda?), menyatakan bahwa Sultan Mekah belum berkenan mengirimkan seorang ahli fikih ke Banten guna menjelaskan isi ketiga kitab tersebut sesuai permintaan Raja Banten. Namun Sultan Mekah telah anugerahkan bendera suci peninggalan Kanjeng Nabi Ibrahim dan kiswah penutup Kabah kepada Kanjeng Sultan Banten.
Banten, kerajaan yang didirikan Maulana Hasanuddin (anak Sunan [Gunung] Jati), di zaman Sultan Abul Mafakir Mahmud Abdulkadir masih berstatus merdeka. Selain merupakan tujuan kapal-kapal Nusantara dan asing berlabuh, Banten merupakan salah satu pusat kegiatan umat Muslim termasuk tarekat di Indonesia saat itu. Ada dua kelompok tarekat di Banten, yakni Qadariyah dan Rifaiyah (yang ditandai dengan pameran debus). 

Pangeran Ratu alias Sultan Abul Mafakir Mahmud Abdulkadir sendiri naik takhta pada Januari 1624. Dia adalah putra mahkota yang naik takhta saat berusia 28 tahun, menggantikan Pangeran Arya Ranamanggala yang menjadi walinya. Ayahnya sendiri, Maulana Muhammad, wafat di Palembang tahun 1598. Ada pun turunnya Pangeran Arya Ranamanggala dari takhta Banten, menurut pendapat orang Inggris dan Prancis sezaman, akibat desakan para pedadang asing, terutama orang Pecinan Banten yang ingin menjadikan Banten sebagai pelabuhan bebas kembali. Persaingan antara “pedagang bebas” dengan “pedagang feodal” telah terjadi di Banten saat itu. Komoditas seperti lada dan gula pasir memang menjadi primadona bagi para pedagang asing.

Mengenai perdagangan gula putih di Banten banyak ditulis oleh orang Eropa yang punya loji di Banten kala itu. Seperti catatan orang Inggris bahwa pada Februari 1638, pembelian gula oleh orang loji Inggris di Banten dari orang Cina di Kelapadua (belasan km di selatan Kota Banten) dilaksanakan dan kontraknya ditulis dalam bahasa Jawa. Dinyatakan, 8 orang Cina produsen gula tebu di Kelapadua dan enam keluarga setuju untuk menjual seluruh produksi gula mereka selama tiga tahun kepada kepala loji Inggris saja di bawah pengawasan Pangeran Ratu. Tiga tahun sebelumnya, Desember 1635, pedagang loji Inggris di Banten pergi ke Kelapadua untuk membeli sebanyak mungkin gula tebu untuk dimuat di atas kapal mereka, dengan izin Pangeran Ratu Banten yang saat itu sering tinggal di Banten Girang (ibukota lama zaman pra-Islam). Orang Inggris sendiri sebelumnya mendirikan markas dagang di Pulau Lagundi di Selat Sunda setelah pindah dari Batavia sejak tahun 1623 akibat pembunuhan besar-besaran orang Inggris di Ambon oleh orang Belanda. Tahun 1928 merea memutuskan pindah kembali ke Banten. 

Pada tanggal 26 Agustus 1640, , dilaksanakan kembali kontrak-dagang antara orang loji Inggris di Banten dengan 8 orang serta enam keluarga penghasil gula di Kelapadua, Banten, juga di bahwa pengawasan Raja Banten. Di dalam kontrak dinyatakan: kepala loji Inggris akan membeli dari setiap keluarga 100.000 batang tebu setiap tahun, jadi 600.000 batang seluruhnya, yang kemudian diproses menjadi gula oleh orang-orang Cina bersangkutan. Dinyatakan pula oleh orang-orang Cina tersebut bahwa 100.000 batang tebu akan menghasilkan 450 pikul (2,8 ton) gula pasir yang bermutu tinggi. Disebutkan pula bahwa orang-orang Cina tersebut bersedia membantu Sultan Banten untuk menggarap tanahnya ketika diperlukan, menyediakan satu-dua kati gula kepada Sultan untuk konsumsi pribadi. Sebagai informasi, akhir tahun 1620-an, warga Banten lebih suka menanam tebu ketimbang lada yang di zaman Pangeran Atya Ranamanggala dilarang ditanam walau di tahun 1631 produksi gula di Banten masih sedikit. 

Tentang perdagangan lada, tahun 1636, Sultan Banten, Pangeran Ratu, memerintah warganya untuk menanam lada kembali—sebelumnya lada sengaja tak ditanam dengan alasan kerap terjadi persaingan antara bangsa-bangsa Eropa dalam memperoleh hak untuk membelinya melalui restu Raja Banten. Barulah setelah Perang Pailir di awal abad ke-17 usai, Banten memutuskan untuk kembali mempraktiikkan “perdagangan bebas”. Menurut Sajarah Banten, mengingat para bangsawan Banten juga memiliki lahan-lahan sawah, Pangeran Ratu menghapuskan kewajiban yang dibebankan kepada para pejabat Banten untuk menghadapnya ke istana (seba, sowan) setiap hari selama bulan Kapat (September-Oktober) agar mereka bisa mengawasi penggarapan sawah-sawah mereka. 

Empat tahun kemudian, 1640, mengetahui wilayah-wilayah jajahannya di Sumatra, seperti Lampung, Bengkulu, dan Silebar, menjual lada langsung ke pedagang-pedagang asing, Banten mengirimkan ekspedisi militer dan berhasil menangkap pengusa Bengkulu yang kemudian dipenjara di Banten. Setahun kemudian, dua kepala pemberontakan di Lampung masuk ke penjara Banten, sedangkan syahbandar Silebar diturunkan jabatannya secara tak terhormat. 
Lada, gula, kapal-kapal dagang, dan anugerah kiswah dari Sultan Mekah kepada Raja Banten, merupakan jejaring yang menggiurkan sekaligus bisa mengancam keutuhan Banten. Indikator sebuah kerajaan itu besar salah satunya adalah luasnya jejaring perdagangan, selain pengakuan (yang diikuti anugerah) negara lain terhadap negara yang mayoritas warganya memeluk agama yang sama. 


Ojel
4 Maret 2017

Kamis, 23 Februari 2017

cisanti hulu citarum
Danau kuno Cisanti yang kini masih ada, hulu Citarum

CITARUM, SELAYANG PANDANG SEJARAH


Apakah Citarum sudah ada sejak Pulau Jawa tercipta beradab-abad sebelum Masehi? Saya belum tahu. Keberadaan sungai ini baru tertulis begitu Tanah Sunda atau Priangan memasuki abad sejarah; maksudnya, ketika nama sungai ini tertulis dalam aksara—bukan hanya terpendam dalam ingatan kolektif hasil penuturan lisan. 

Minggu, 12 Februari 2017

Tawuran


Halow, sobat, kenalin, saya adalah ruh dari seorang warga Batavia yang hidup di pertengahan abad ke-17. Selagi hidup, ane dipanggil Bang Amin. Asli dari Kampung Jawa, di luar tembok Batavia, kota metropolitan di zamannya. Ada tiga kampung yang ditempati oleh orang Jawa saat itu. Sebagian besar tinggal di sekitar Benteng Jaccatra di hulu Kali Krukut. Sisanya di luar gerbang Utrecht barat Kota, dan di luar gerbang Diest selatan Kota di mana saya sendiri tinggal. Saya hidup di saat Kompeni Belanda alias VOC tengah bersitegang dengan Banten dan Makassar—dua kerajaan Islam pesisir nan tangguh; satu di barat Pulau Jawa, satu di selatan Sulawesi, yang masing-masing merupakan kerajaan yang giat berniaga secara internasional. Juga di sebuah masa di mana perbudakan adalah hal lazim dan manusiawi. 

Minggu, 05 Februari 2017

Serangan Fajar "Orang-orang Hitam", Persahabatan Palsu, 
dan Wanita Cantik dari Portugis 


Badai sering datang tak terduga dan tak pandang bulu. Tiupan puting beliungnya menghantam kapal siapa saja, tak peduli itu bahtera dari seberang yang tengah menuju tujuan yang sama sekali berbeda. Itulah yang terjadi pada sebuah kapal Portugis yang berlayar menuju Goa di India tapi di tengah perjalanan terdampar di dekat pantai barat Sumatra tahun 1561.

Rabu, 01 Februari 2017

prajurit batak tempo dulu abad ke-19
Prajurit Batak abad ke-19. Beginilah mungkin sosok prajurit Batak
saat berperang dengan Aceh di abad ke-16

“Cinta Segitiga” antara Aceh, Portugis, dan Batak


Semua dapat dijadikan alasan untuk mengarahkan ujung tombak pada siapa pun yang dianggap tak sepaham. Tak peduli yang dituding itu tetangga sebelah. Dan alasan itu? Bisa kepentingan ekonomi, politik, atau agama. Atau ketiganya sekaligus. Maka, pekik dan gendering perang adalah jalan keluar yang paling sah untuk memancakkan kekuasaan yang seringnya angkuh dan egoistik. Dan perang semacam itulah yang lima abad lampau disaksikan oleh seorang Portugis bernama Fernao Mendez Pinto, negara yang telah punya koloni di Malaka dan juga ikut dalam kancah perseteruan itu—walau tak langsung.

Minggu, 29 Januari 2017

Ibnu Battutah image
Gambaran Battutah sedang mengendarai unta dalam sebuah naskah

Ketika Ibnu Battutah Dijamu oleh Sultan Pasai


Suatu hari di tahun 1345, seorang penjelajah asal Tangier, Maroko, bersama rombongannya tiba di Pasai. Memakai jubah dan serban, pria Muslim asal Magribi bernama Ibnu Battutah tak berencana sama sekali untuk singgah di ujung Pulau Sumatra itu sebelumnya. Lho, kok bisa?

Rabu, 25 Januari 2017

Gerakan Nyi Aciah, Sumedang (1870 – 1871) 


Kolonialisasi melahirkan harapan akan datangnya keajaiban, dan keajaiban di abad ke-19 itu bernama "Ratu Adil". Harapan itu pula yang menyelimuti benak masyarakat Sumedang sezaman saat seorang wanita setempat memperlihatkan keajaiban dalam dirinya. Ya, Ratu Adil bernama Nyi Aciah itu sudah berada di antaranya mereka.

Selasa, 24 Januari 2017

lukisan diri raden saleh
Lukisan diri Raden Saleh

Raden Saleh, Pelukis Modern Pertama Indonesia


Siapa tak kenal nama lelaki yang dijuluki “bapak seni lukis” ini? Ialah pelukis Indonesia pertama yang secara sistematis menggunakan cat minyak dan mengambil teknik-teknik lukis Barat. Di tangannya, lukisan tak lagi simbolis semacam bentuk wayang atau suluran seperti dalam batik yang sejak berabad-abad dilakukan seniman Indonesia. Realisme pada potret, pencairan gerak, perspektif serta komposisi berbentuk piramidalah yang ia terapkan; dan itu semua merupakan ilmu seni rupa Barat.

Senin, 23 Januari 2017

budaya mudik
Mudik, salah satu tradisi primordial orang Indonesia

Mudik


Sejak kapan orang Indonesia suka mudik menjelang Lebaran? Saya kurang begitu tahu. Sejak orang Indonesia pertama sekali memeluk Islam? Kemungkinan iya. Yang jelas, tradisi mudik memang fenomena khas Indonesia, konon di Jawa zaman kolonial. Kini, saat masyarakat Indonesia banyak memilih jadi makhluk industri di kota-kota besar ketimbang jadi petani di desa-desa miskin atau setengah miskin, jaringan aktivitas mudik pun meluas, bahkan lintas negara. Mudik adalah budaya.

Sabtu, 21 Januari 2017

Prajurit Estri Mataram


Dunia kemiliteran ternyata tak cuma milik lelaki. Di Indonesia, keberadaan prajurit perempuan sudah lama ada. Itulah kesaksian laksamana Prancis, Augustin de Beaulieu, saat berkunjung ke istana Aceh dan menyaksikan sendiri keberadaan prajurit perempuan di sana di abad ke-17. Kesaksian lain datang dari Rijklof van Goens dan Valentijn tentang prajurit-estri di Mataram. 
rumah dinas gubernur jenderal VOC di Kastil Batavia abad ke-17
Rumah dinas para gubernur jenderal VOC di Kastil Batavia abad ke-17,
tempat dirumuskannya kebijakan sosial-politik-ekononi oleh gubernur jenderal

Masalah Perizinan Mendirikan Masjid di Batavia Abad ke-17


Masalah perizinan mendirikan tempat beribadah kerap jadi masalah di sebuah wilayah yang pemerintahannya berbeda keyakinan. Seperti yang terjadi di medio abad ke-17 di Batavia. Sejak berdirinya, Batavia, kota ala Eropa ciptaan Jan Pieterszoon Coen tahun 1619 ini, memang diperuntukkan sebagai koloni orang-orang Belanda dan Eropa lain yang harus patuh pada kebijakan VOC-Belanda. “Orang-orang asing” seperti Cina, India, Arab, Portugis, dan “Moor” serta Hindia lain semisal Jawa, Melayu, Bugis, Makassar, Bali, Ambon, dan Maluku, pun harus taat pada kebijakan Pemerintah Agung Batavia yang resminya beragama Protestan. 

Rabu, 18 Januari 2017

 
Ratu Kalinyamat Jepara
Seorang wanita memerankan tokoh Ratu Kalinyamat saat kirab
merayakan Hari Jadi Kota Jepara

“Rainha de Japara, Senhora Poderosa e Rica de Kranige Dame”


Sejarah kerap menempatkan kegagahan lelaki sebagai subjek perkasa—karena itu disebut history—sementara wanita seringnya di belakang layar, di dapur kehidupan. Tapi, begitu sesosok wanita tampil di atas panggung sejarah sebagai anomali, ia pun dikenang lebih agung oleh sang waktu. Itu pula yang ditorehkan Ratu Kalinyamat, wanita kelahiran Jepara—empat abad sebelum Kartini ada—pada lembaran sejarah Nusantara. 
Airlangga dan Nazar Politiknya

Penguasa yang baik pasti berusaha menepati janjinya. Apalagi janji tersebut ditujukan kepada rakyat yang tak kenal lelah membantunya saat berupaya menggulingkan kekuasaan lama agar dirinya bisa marak jadi penguasa baru. Itu pula yang dilakukan Airlangga di tahun 952 Saka (1030 M). 

Selasa, 17 Januari 2017

sawah korupsi pajak
Sawah, "lahan basah" untuk dikorupsi oleh oknum pejabat di masa Jawa Kuno

Korupsi Pajak di Zaman Jawa Kuno

Power tends to corrupt. Di mana dan kapan pun. Termasuk di Indonesia zaman baheula. Buktinya adalah Prasasti Palepangan yang dikeluarkan seorang penjabat tinggi di Jawa sebelas abad silam.

Senin, 16 Januari 2017

Ketuhanan Yang Berkebudayaan


Tuhan dan budaya. Sejarah mencatat, pemahaman manusia atas kedua kutub ini acap melahirkan ketegangan. Bahkan menerbitkan luka. Firman mewajibkan manusia tunduk dan sumerah. Namun manusia, sejak turun ke bumi, selalu saja tak pernah puas, bahkan melawan. Mereka merasa, kitab suci tak bisa menjawab semua fenomena dan tantangan hidup. Di seberang jalan, mereka yang percaya bahwa firman adalah jalan lurus, memandang budaya sebagai pahatan manusia yang pasti hancur oleh hunjaman air dari langit.

Minggu, 15 Januari 2017

mentalitas pedagang indonesia
Foto soerang pedagang pikulan di Batavia abad ke-19

Pedagang Indonesia


23 Juni 1596, empat kapal Belanda mendarat di pelabuhan Banten. Sang kapten armada, Cornelis de Houtman, lega, setelah 13 bulan berlayar dari kampung halamannya, bisa selamat di tujuan—inilah kali pertama orang Belanda mendarat di Indonesia. Baru saja kapal-kapalnya membuang sauh, ia melihat sejumlah pedagang Portugis naik ke kapalnya sebagai penghormatan dan segera menjelaskan kondisi perdagangan di Jawa serta memuji kesuburan dan kekayaan alam pulaunya. Setelah itu, orang-orang Portugis itu turun.

Rabu, 11 Januari 2017

Nyi Roro Kidul Basoeki Abdullah
Imaji Nyi Roro Kidul yang dilukis oleh Basoeki Abdullah

Pembantu Kanjeng Nyi Roro Kidul


Kenalin, kakangku dan mbokku, aku ini seorang pembantu Kanjeng Nyi Roro Kidul yang bersemayam di Laut Selatan.

Iiih, bikin bulu roma dan bulu kuduk berdiri tegang! Bagaimana tidak? Nama Kanjeng Nyi Roro selalu dikaitkan dengan klenik, Kejawen, yang suka disuguhi sesajen pada hari-hari tertentu. Sebagian besar, mungkin termasuk kalian, yang hidup di zaman ini, menganggap Nyi Roro hanya legenda atau mitos yang cuma cocok untuk telinga bocah-bocah ingusan. Padahal dulu, sebelum penduduk negeri ini benar-benar berpikiran modern ala Barat, sosoknya dianggap sebagai pelindung raja-raja Jawa sepanjang masa, sejak beliau berkuasa atas Segara Kidul.

Selasa, 10 Januari 2017

Ramalan


Setiap zaman yang resah melahirkan ramalan yang menggugah. Jangka Jayabaya di Jawa, Uga Siliwangi di Sunda, Mesiah dan Imam Mahdi di Timur Tengah, yang menawarkan Sang Ratu Adil. Ratu itulah, begitu kata mereka yang yakin, yang kelak membawa masyarakat di mana peramal berasal menuju keadaan yang serba sempurna tanpa cela dan minus petaka di zaman kemudian

Senin, 09 Januari 2017

Saya Temannya Bang Malinkundang


Kawan-kawan tentu tahu siapa dia. Sejak kecil, dari cerita bergambar dan buku kumpulan cerita legenda, kita sudah tahu siapa itu Bang Malin: seorang anak kanduang yang durhaka pada bundo kanduangnyo.

Sabtu, 07 Januari 2017


Sastra dan Islamisasi

Sudah tak asing kita ketahui kisah Wali Sanga dalam islamisasi di Jawa. Dari mereka, tongkat islamisasi dilanjutkan oleh ulama lain di pelbagai pulau. Tiga datuk asal Koto Tengah (Sumatra Barat) berhasil mengislamkan para raja Bugis seperti Luwu, Gowa, Tallo; dan kemudian dari raja-raja tersebut penguasa Soppeng, Bone, dan wilayah sekitar Sulawesi Selatan diislamkan. Raja yang semula bergelar arung dan karaeng pun memiliki gelar baru: sultan.
perang bharatayuddha
Imaji perang Bharatayuddha, di mana Pandawa yang protagonis
melawan Kurawa yang antagonis, sebuah peperangan legendaris yang
kerap dijadikan "ilham" negara-negara kuno di Nusantara dulu
dalam menaklukkan lawan-lawannya


Nasionalisme Konfrontatif


“Ganyang Malaysia!” dan “Ganyang Nekolim!” adalah dua dari banyak seruan patriotik nan riuh-rendah yang begitu mengharu biru di zaman Demokrasi Terpimpin. Presiden Soekarno, di tengah situasi Perang Dingin yang memanas serta pertarungan partai-partai ideologis dalam negeri yang tak kalah panas saat itu, begitu gemar membakar gelora nasionalisme orang Indonesia yang untuk menghancurkan neokolonialisme seperti di Malaya. Sang Presiden ingin buktikan pada PBB dan Amerika Serikat bahwa Indonesia bukanlah budak mereka, karena itu politik luar negeri Indonesia cenderung menoleh pada Soviet dan RRC. Ia makin percaya diri setelah Papua Barat jatuh ke dalam pelukan Indonesia dari Belanda yang sebelumnya enggan menyerahkan wilayah itu sejak KMB ditandatangani di Den Haag akhir 1949.
jan pieterszoon coen aka murjangkung
Dalam Serat Sakender dikisahkan bahwa Murjangkung (Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia) dilahirkan dari seorang putri keturunan raja Pajajaran, sementara ayahnya adalah Sukmul, keponakan Raja Spanyol.

Korupsi Sejarah

Bagi masyarakat yang melandaskan segala aktivitasnya berdasarkan sistem religi, maka mitologi dan dongeng adalah fakta sekaligus acuan hidup. Kenyataan fiksi adalah kenyataan sosial yang tak terbantah. Kisah-kisah yang tertera dalam kakawin, kidung, carita, serat, kemudian hikayat, babad, sajarah, dan wawacan, banyak mengandung alam pikiran seperti itu, yang bagi kita manusia modern akan menimbulkan kerutan di kening seraya setengah menyanggahnya. Terlalu banyak kisah mitos dan peristiwa sejarah yang bercampur aduk di dalam karya-karya tulis tersebut, membuat kita kesulitan mengurai dan memisahkannya satu dari yang lain. Dan inilah korupsi sejarah, tatkala fakta dan fiksi saling-silang begitu erat dan membentuk realitias baru yang tak mudah dimengerti bagi kita di zaman sekarang. 

Jumat, 06 Januari 2017


istana Gowa Makassar
Istana Kesultanan Gowa-Makassar di abad ke-19

Juru Tulis Karaeng Pattingaloang


Kenalin, saya adalah juru tulis Karaeng Pattingaloang. Tentu sebagian besar masbro dan mbaksis asing dengan nama junjunganku ini. Namanya kalah populer oleh Sultan Hasanuddin Makassar dan Arung Palakka, padahal beliau kenal dekat dengan kedua orang legendaris tersebut, karena karaeng-ku ini adalah perdana menteri Kerajaan Makassar pada pertengahan abad ke-17. Jujur—bukan karena anakbuahnya—saya bangga pernah mengabdi padanya. Otak beliau itu di atas rata-rata para bangsawan Makassar, Bugis, dan bangsawan lainnya di Sulawesi, bahkan mungkin dengan aristokrat se-Nusantara di zamannya. Mengapa?
biudak di batavia indonesia
Lukisan pelukis Belanda tentang suasana di samping Stadhuis
(kini Museum Fatahillah) di Batavia abad ke-17.
Tampak seorang budak berjalan menanggung pikulan di belakang seekor anjing

Moses van Bengale, Seorang Budak di Batavia 


Abang dan None. Kenalin, gue Moses van Bengale, seorang budak di sebuah kota kosmopolitan bernama Batavia di abad ke-17.

Tahu kan Batavia? Kota yang didirikan di atas puing-puing Kota Jayakarta tahun 1619 oleh Jan Pieterszoon Coen alias Si Murjangkung, Gubernur Jenderal VOC. Olehnya Batavia dijadikan kantor pusat baru VOC yang sebelumnya berada nun jauh di Ambon, dengan alasan simpel saja: karena berada di jalur perdagangan rempah-rempah. Sangat strategis untuk bisa memonopoli distribusi cengkih, pala, dan merica, yang saat itu jadi komoditas primadona perdagangan global. Dari Batavialah, imperialisme Belanda atas Nusantara sesungguhnya dimulai.
nusantara - indonesia buffalo

Nusantara

Sejak kapan manusia Indonesia mengenal istilah Nusantara? Siapa pula yang menciptakannya dan di abad ke berapakah? Setahu saya, istilah itu tercantum dalam Desawarnana (lebih dikenal dengan Nagarakrtagama) buah tangan Prapanca abad ke-14. Apakah istilah itu telah tertulis dalam pustaka yang lebih tua? Saya belum tahu.